Mohon tunggu...
Imam Muhayat
Imam Muhayat Mohon Tunggu... Dosen - Karakter - Kompetensi - literasi

menyelam jauh ke dasar kedalaman jejak anak pulau

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pendampingan Pasca Gempa di Pidie Jaya, Aceh

21 Oktober 2018   06:05 Diperbarui: 21 Oktober 2018   07:19 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jumat, 6 Januari 2017, sebagaimana telah kami persiapkan bersama akan mengadakan perjalanan menuju Pidie Jaya, Aceh. Perjalanan ke tempat, di mana saya khususnya, belum pernah sama sekali menapaki pojok kotanya. 

Berawal dari peristiwa yang menyayat hati terjadinya gempa bumi di Pidie Jaya, Aceh dengan kekuatan 6,5 SR, Selasa (7/12/2016) pada pukul 05.03 WIB selama 15 detik. 

Dampak gempa Pidie Jaya selain merenggut 104 orang meninggal dunia, juga membuat berbagai kerusakan fasilitas umum yang luar biasa. Kerusakan menjadikan berbagai kendala bagi yang tertimpa musibah. Hal itu mengingatkan kami terkait saat tsunami Aceh 26 Desember 2004 yang menelan korban sebanyak 227.898 jiwa.

Jumat pagi pada pukul 07.00 wita sesuai rencana sebelumnya, kami bersama berkumpul di Bandara Ngurah Rai, Tuban, Bali. Diantara mereka yang berangkat yaitu: (1) H. Masrur Makmur; (2) H. Yurnal; (3)  H. Ahmad Shoim; (4) H. Imam Muhayat; (5) H. Qomari; (6) H. Abdurrohman; (7) H. Henry;  (8) H. Abdul Halik; dan (9) H. Yudho Dwi Harsono, serta, (10) bapak H. Faishal. 

Catatan penting di sini mereka berangkat atas biaya sendiri. Kecuali dua orang yang official yang muallaf, istilah pak H. Ahmad Shoim. Sebelum berangkat kami diajak makan di restaurant Bandara. 

Perjalanan dengan memakai penerbangan Lion Air dengan Nomor penerbangan 737H (new generation) keberangkatan 09.09,  kedatangan di Batam 11.20 wita/10.20 WIB. Pesawat tersebut dipiloti oleh Widia disertasi awak pesawat. Penerbangan antara Bali sampai Batam berdasarkan manifes tiket memakan waktu 2 jam perjalanan, selisih waktu satu jam antara WITA dan WIB. 

Kami bersembilan mengadakan penerbangan dalam satu pesawat, sedangkan saya duduk dengan pak H. Ahmad Shoim dan H. Abdul Halik. Selama penerbangan banyak yang kami perbincangkan diantaranya: 1. Tentang eksistensi MUI Kabupaten Badung dan kiprahnya dalam umat muslim dan non-muslim di Badung khususnya dan Bali umumnya; (2) tentang pemetakan dakwah di Badung yang sesuai dengan cita-cita Catur Program MUI Bali dakwah Islam berbasis Masjid, sosial ekonomi berbasis syariah, pemberdayaan pendidikan lewat lembaga Islam, dan tentang nilai-nilai kebangsaan dan sinergisme umat terhadap sosial budaya setempat.

Barusan yang penulis sebut tentang Catur Program tersebut mungkin MUI Kabupaten Badung terasa lebih dioptimalkan action-nya. Misalnya tentang penguatan aqidah, ibadah dan akhlak berbasis masjid terasa masih berjalan sendiri-sendiri dan masih minimnya koordinasi yang dapat memberikan feed back yang signifikan terhadap out put yang dimaksud. 

Banyaknya permasalahan-permasalahan umat muslim terkait kependudukan, pendidikan agama Islam bagi para anak muslim , dan masih banyaknya anak-anak kita yang sekolah di lembaga pendidikan umum yang tidak mendapatkan pendidikan agama menjadi keprihatinan tersendiri. 

Tentu MUI sangat berkepentingan tentang masalah tersebut hingga harus ada semacam gerakan realisasi pemetakan lingkungan yang cermat hingga tak satu pun anak-anak muslim tidak mendapatkan pendidikan agama. Karena itu pendidikan agama berbasis masjid merupakan jalan keluar yang ditawarkan kepada umat muslim untuk mensikapi keadaan yang selama ini terjadi.

Yang kedua diskusi kami di pesawat terkait pemberdayaan ekonomi muslim lewat ekonomi syariah. Mungkin hal ini perlu adanya regulasi MUI Kabupaten Badung yang harus diterapkan secara konsisten. Misalnya paling tidak setiap masjid itu harus bisa menunjukkan secara real kontribusinya untuk membesarkan ekonomi syariah itu sendiri. Tanpa langkah-langkah itu sangat riskan bisa mengaktualisasikan Catur Program yang sudah digagas selama sepuluh tahun terakhir. Selebihnya terkait dengan pendidikan. 

Pendidikan anak-anak kita sangat penting. Selagi masjid tidak berperan serta membesarkan lembaga pendidikan akan menjadi kendala juga untuk merealisasikan pemberdayaan lembaga pendidikan Islam di Kabupaten Badung. Diantara sekian banyak tentang program MUI yang masih mendapatkan kendala tentang konsep pemikiran kebangsaan kita. 

Produk UU dan regulasi dalam berbangsa dan bernegara tentu akan ditentukan oleh kekuasaan. Dalam hal ini umat muslim belum banyak menyentuh pola tersebut sehingga dampaknya pada berbagai keputusan tidak ada satu pun wakil kita yang dapat memberikan gambaran real terkait dengan kebutuhan keumatan di Badung khususnya dan Bali umumnya. Koordinasi yang intens masih perlu ditingkatkan lagi.

Begitu asyiknya ngobrol, tak terasa saya sudah berada di atas angkasa jauh. Mungkin satu jam lagi akan sampai di Batam. Terbang dengan pesawat Lion Air dengan pesawat bebadan besar terasa lebih nyaman. Tidak goyang dan anteng. Perjalanan menuju tanah Rencong ini semoga dimotivasi nilai-nilai islam sebagaimana yang telah dituntunkan oleh Rasulullah SAW sebagai berikut:

Artinya: "Senyummu (bermuka manis) pada saudaramu adalah sedekah, dan amar makrufmu serta nahi mungkarmu juga sedekah dan petunjukmu kepada seseorang yang ada di bumi yang sedang sesat, bagimu merupakan sedekah. Dan menyingkarkan batu atau duri atau tulang-tulang yang mengganggu jalan juga merupakan sedekah bagimu (HR. Bukhari).

Menyimak hadits di atas tentang sedekah menurut Al-Jurjani ialah segala pemberian kita mengharapkan pahala dari Allah SWT. Pemberian yang dimaksud dapat diartikan secara luas, baik itu pemberian yang berupa harta maupun pemberian yang berupa perbuatan atau sikap baik dan benar. Hadits tersebut juga mengindikasikan tentang sikap dan prilaku. 

Kompetensi tentang sikap adalah suatu kesiapan dan kesediaan kita tentang tugas dan profesinya. Misalnya menghargai pekerjaannya, mencintai dan memiliki perasaan senang terhadap apa yang dilakukannya, sikap toleran terhadap sesama teman profesinya, memiliki kemauan yang keras untuk meningkatkan hasil pekerjaannya yang diwujudkan dalam prilaku. Misalnya meningkatkan kemampuan berbagai ketrampilan, membimbing, menilai, dan berkomunikasi serta menumbuhkan semangat kepada yang lain hingga dapat mencapai produk yang lebih baik (Nana Sujana: 2005, 18).

Perjalanan bersama ini juga penting artinya bagi kami menjadi bagian dari misi Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Badung dalam mendekatkan pada tiga hal yang sesuai dengan program MUI Badung yang selama ini menjadi perhatian bersama. Tiga hal tersebut adalah tentang ikhtiar: (1) Mendekatkan umat pada kitab sucinya; (2) Mendekatkan umat pada tempat ibadah, dan ; (3) Mendekatkan umat pada ulamanya. Jika ketiga hal tersebut dimaknai sebagai sumber yang jernih (baca: guru dalam semua kehidupan), Imam Suprayoga memberikan kesaksian pada bukunya yang berjudul, Pengembangan Pendidikan Karakter (2011: XX) sebagai berikut ini:

"Guru harus memiliki mindset guru. Mereka adalah bagaikan sumber atau mata air yang selalu mengeluarkan air jernih untuk memberikan minuman kepada siapa saja. Selain itu, sebagai air yang bersih dan selalu mengalir akan menghilangkan semua kotoran yang terkena olehnya. Dengan pandangan seperti itu, maka pendidikan (baca: gerakan -ed) akan dijalankan secara ikhlas, sabar, penuh rasa syukur, tawakkal sebagaimana yang dijalankan oleh para nabi."

Dalam kutipan tersebut menyimpan kata kunci seorang guru yang dikiaskannya sebagai mata air. Layaknya mata air ia datang dari kedalaman. Ia jernih dapat diminum siapa saja. Ia dapat menghilangkan kotoran. Peran MUI Kabupaten Badung dalam mencermati konsep yang demikian itu mencoba memahami sikap dan prilaku psikologis umatnya dengan cermat, dan tidak selayaknya menjauhkan diri dari diskursus pengetahuan.  Apalagi menanggalkan dari makna-makna keyakinan yang bersifat teologikal, literal dan sosial (Imam Muhayat: 2016, 4).

Misalnya, sebelum berangkat ke Pidie, Aceh Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Badung yang diwakili sekretaris umumnya (01/01/2017) menyempatkan menelisik apa yang dirasakan tetangga dekat kita, Muslim Serangan. Kemudian sehari kemudian terjadi penggusuran dampaknya adalah umat muslim dari 250 jiwa dari  36 KK kehilangan tempat tinggal. 

Peristiwa tersebut banyak mengundang simpati gerakan masjid dan mushola berusaha meringankan beban mereka. Tak ketinggalan MUI Kabupaten Badung (4/01: 16.30) berupaya mengambil sikap dan tindakan yang cukup menyejukkan datang bersama rombongan H. Masrur Makmur, H. Ahmad Shoim, H. Qomari, dan H. A. Halik datang membawa berbagai keperluan untuk meringankan beban mereka. Tak ketinggalan H. Yurnal dalam WA-nya mengungkapkan:

"Bismillah...saran... Ayo MUI bergerak. Mereka butuh tempat tinggal. Berapa lama mereka akan bertahan di tenda. Bergerak MUI menjadi koordinator pembangunan rumah bagi mereka yang tergusur. Ajak elemen Islam, sebagaimana bergeraknya 212, kumpulkan informasi tanah wakaf yang bisa dibangun sebagai tempat tinggal mereka, kumpulkan elemen masjid dan galang donatur satu masjid satu rumah... insyaallah bisa selesai."

Hal ini saya ungkapkan dan saya tulis saat perjalanan peduli Aceh yang dilakukan di tempat yang jauh dari kantor MUI Kabupaten Badung agar ada gambaran bahwa sesungguhnya sikap dan tindakan MUI Kabupaten Badung sudah sesuai konteks dakwah islamiyah terukur dan komprehensif. Ia menyimak, memperhatikan, menggerakkan, menganalisa, dan menyelaraskan sesuai keadaan psikologis umat untuk keumatan. Karena itu semuanya dapat berjalan beriringan untuk mencapai tujuan. Jika kami jalan untuk kepedulian di tempat yang jauh, kemudian ada tetangga dekat yang butuh pertolongan kami mengabaikan, tentu akan menjadi aib bagi kami semua. Insyaallah semua itu atas kehendak Allah SWT semata. Peristiwa Pidie Jaya lebih dulu dan Serangan belakangan, tapi semuanya mendapat perhatian yang cukup.

Langit begitu cerah. Cuaca terang. Perjalanan penuh kenangan. Terpetik dari banyak cerita yang mengagumkan. Berasal dari tatapan air muka yang sejuk dan dingin. Terpendar di antara celah-celah jendela cakrawala yang terbentang luas. Tepat pukul 11.05 wita, pilot Lion Air mengumumkan bahwa sebentar lagi pesawat akan mendarat. Seperti biasa standar aturan penerbangan, ia mengingatkan agar tetap memakai sabuk pengaman sampai pesawat mendarat dengan sempurna, larangan mengambil barang-barang untuk keselamatan penerbangan, membawa narkoba dan barang-barang terlarang akan ditindak tegas. Narkoba, mengambil sabuk pengaman dan pelampung yang ada di jok pesawat untuk oleh-oleh. "Lebbay dan dosa, bisikku," senyum tipis. Menyimak UU No. 1 Tahun 2009 tentang penerbangan  pasal 54 dan pasal 412 menganggu selama penerbangan: (1) menyalakan telepon genggam; (2) memindahkan dan merusak alat-alat penerbangan; (3) dan pengrusakan peralatan lainnya adalah sebagai tindakan kriminal dan akan diproses sesuai hukum.

Hentakan roda pesawat yang menganvas bandara Hang Nadim. Mengingatkan saya pada kedatangan yang kedua kalinya di Batam pada saat  2013 lalu. Bandara Hang Nadim adalah sebagai terminal internasional Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Nama bandara ini diambil dari nama Laksamana Hang Nadim Sultan Malaka yang termasyhur saat itu. 

Landasan pacu sepanjang 4.025 meter, menjadikan bandara ini mendapat sebutan pacuan landasan terpanjang di Indonesia dan kedua se-Asia Tenggara setelah Bandara KLIA. 

Adapun kapasitas Bandara Hang Nadim dapat menampung 18 pesawat berbadan lebar dengan jenis Boeing 767. Jika dibandingkan dengan Bandara Ngurah Rai pada pelataran parkir pesawat kapasitas pelataran parkir pesawat adalah 7 posisi pewawat kelas B 747-400,6 Posisi pesawat kelas A 320, dan 25 posisi untuk kelas B 737, dalam waktu bersamaan dan untuk pendaratan helikopter, tersedia tiga buah helipad. Sedangkan Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda terletak di Blang Bintang, Aceh Besar. Setelah Tsunami pada 26 Desember 2004 Bandara ini direnovasi landasan pacunya menjadi 3000 meter, sehingga dapat menampung pesawat berbadan lebar. Berdasarkan fakta pada 9 Oktober 2011 sebuah Boeing 747-400 berhasil melakukan take off  dan landing,  sehingga memungkinkan sebagai tempat transit bagi penerbangan internasional. Nama bandara ini disematkan dengan nama pahlawan nasional yang berasal dari Aceh.

Layaknya bandara internasional, Hang Nadim terlihat megah dan menawan. Berbagai fasilitas bandara terlihat lengkap dan mewah. Sembari menunggu keberangkatan menuju Aceh, kami sempatkan untuk bincang ringan dengan rombongan. 

Keberangkatan dari dini hari hingga siang tentu terasa perut kosong. Alhamdulillah kami berangkat dengan orang-orang yang betul-betul peduli. Sehingga selama perjalanan kami tidak merasa kekurangan makanan dan minuman. Mereka benar-benar siap menjamu kami dan selalu siap menjaga asupan hieginis kami dan kesehatan kami selama perjalanan dan dalam berbagai tempat kunjungan hingga di pelosok-pelosok desa hingga di ujung pegunungan sekali pun.

Jarum jam menunjuk pukul 12.05  Wita/11.05 WIB kami melanjutkan perjalanan dari Hang  Nadim menuju Aceh dengan pesawat yang sama. Perjalanan akan ditumpuh selama dua jam dan sampai tempat tujuan pada 13.00 WIB. 

Pesawat dipiloti seorang kapten bernama Oemar dan beberapa crew pesawat. Perjalanan kami manfaatkan sebaik mungkin sehingga saya memilih selalu terjaga untuk dapat memberikan keterangan secukupnya selama perjalanan ini.  Dapat saya gambarkan bahwa perjalanan dari Hang Nadim sampai Aceh sesekali saya manfaatkan untuk komunikasi dengan  beberapa rombongan  dan perbincangan ini sengaja saya arahkan yang lebih menukik pada kunjungan kerja peduli Aceh. 

Mengingat skema awal keberangkatan ke Pidie Jaya dengan konsep mengadakan kegiatan MoU dengan bupati Pidie Jaya terkait dengan pembangunan satu masjid yang sudah rata dengan tanah di desa Jimjim, Bandar Baru, Pidie Jaya, Aceh. 

Saya  akhirnya paham dengan sistem operasional yang dilakukan MUI Kabupaten Badung dengan bentangan jarak yang sedemikian jauh. Belakangan akhirnya saya ketahui memang ada semacam tim tersendiri untuk mengoperasikan proyek yang digagas atas dasar MoU tersebut, sehingga memungkinkan semua perencanaan tersebut dapat diselesaikan dengan baik. 

Pemahaman saya selama ini tentang MoU penekanannya pada masalah-masalah teknis sebuah program. Sejauh ini berdasarkan pengalaman saya ibarat hubungan timbal balik antarlembaga atau antarstakeholders yang memungkinkan terjadinya sinergisme suatu kegiatan untuk perencanaan berjangka, baik jangka pendek maupun jangka panjang. MoU pembangunan masjid di Pidie Aceh Jaya waktu yang diperlukan berjangka 150 hari sampai finishing. Tentu suatu kegiatan yang sangat membanggakan bahwa MUI Kabupaten Badung dapat berperan serta dalam proses rekonstruksi sarana dan prasarana yang luluh lantak karena gempa bumi.

Kerjasama semacam ini merupakan media pembelajaran yang berharga bagi generasi mendatang, bahwa jarak yang jauh bukan halangan untuk melakukan sesuatu yang dapat diambil banyak manfaatnya, baik terkait silaturahim, hubungan sosial-ekonomi, hubungan memperoleh ridha Allah SWT. Ada beberapa manfaat yang telah MUI Kabupaten Badung laksanakan seperti sekarang ini di Pidie Jaya, Aceh. Pertama tentang aktualisasi program MUI Kabupaten Badung; kedua tentang silaturrahim; ketiga tentang sikap dan prilaku yang luhur. Rasulullah saw bersabda: "Akan datang suatu masa pada kalian, pada masa itu tidak ada yang lebih agung daripada tiga perkara, yaitu dirham yang halal, saudara yang dapat menentramkan, dan sunnah yang diamalkan." (HR. Ath-Thabrani). Insya-Allah semua yang kita lakukan sekarang ini merupakan bagian dari yang dimaksud hadits di atas.

Kemudian terdengar pengumuman dari pilot. Bahwa beberapa menit lagi pesawat akan mendarat di Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda. Mendengar dan menyaksikan tulisan yang terpampang di gate bandara, mengingatkan saya pada para pahlawan Aceh yang gagah berani untuk membela bangsanya demi kemerdekaan sejati dari kolonialisme. Terbukti Aceh selama masa kolonial belum pernah dijajah oleh bangsa mana pun. Sehingga pada saat kemerdekaan Indonesia, maka Aceh telah ditetapkan sebagai Daerah Istimewa Aceh seperti halnya Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Ketika kaki menginjakkan tanah Rencong, Aceh, 12.45 WIB ... rasanya seperti bergetar. Tergetar bersama tapak-tapak kaki Sultan Iskandar Muda, Teuku Umur, Tjik Di Tiro, Tjut Nyak Dien, Tjut Mutia, Panglima Polim, Pocut Baren, Laksamana Kumalayahati, Teuku Nyak Arief, Tengku Fakinah, Tengku Chik Di Tunong, dll... Mereka itu adalah pahlawan Nasional Indonesia yang berasal dari Aceh. Ia pejuang sejati. Perlu dicatat di sini, bahwa orang Aceh tidak asing dengan perang sabil, karena telah lama dipahami masyarakat Aceh tentang perang sabil itu lewat karya besarnya, Chik Pantee Kulu. Dengan perang sabil dalam rangka mempertahankan kebenaran telah tertulis pada Hikayat perang sabil berbunyi: "Berbahagialah tuan pahlawan kami. Rasalah pahala wahai mahkota. Hadiah jihad mujahid berani puteri menanti di dalam surga," (L.K. Ara: 2014, 22).

Dengan perang sabil, ia hidup dan mati karena ekspresi syukur atas eksistensi wilayah yang telah diberikan olehNya. Tanah Air yang besar, Bangsa yang besar, budaya yang adiluhung, dan agama yang yang dijunjung tinggi sebagai sumber manifestasi hidup. Persepsi para pahlawan kita adalah negara dan negeri adalah anugerah nikmat dari Allah swt. Setiap nikmat harus disyukuri. Syukur artinya menggunakan nikmat tertentu sesuai dengan fungsinya seperti yang dikehendaki oleh pemberiNya. Mensyukuri nikmat yang bernama negara dan negeri ialah sebagai berikut:

(1) Menjaga, memelihara, serta membela negeri dan negara terhadap penjajahan bangsa lain, terhadap penjajahan bangsa sendiri, dan terhadap penjajahan umat lain; (2) menggunakan negara dan negeri ini sesuai dengan kehendak Allah swt. yang telah berkenan memberikannya. Demikianlah hidup dan mati umat Islam semata-mata bagi Allah swt. Hidup dan mati untuk selain daripada Allah adalah syirik. Oleh karena itu, termasuk syirik pula untuk berkata dan beritikad hidupku dan matiku untuk negara dan negeriku. Bagi umat Islam, hidup dan mati adalah semata-mata bagi Allah yang telah menganugerahkan negara dan negeri ini kepada kita, (Endang Saefuddin Anshari: 2004, 177-178).

Mencermati konsep di atas teringat peringatan terakhir saat mau shafar ke Pidie Jaya, Aceh yang disampaikan oleh ketua Majelis Ulama Kabupaten Badung, Drs. H. Masrur Makmur, M.Pd.I., sebagai berikut ini: "Don't forget, Dhuhur berjamaah siang ini di Nurul Huda. Sesudah itu meeting kecil buat SAFAR DZILZALAH di Pidie."

Kata yang tersirat pada safar dzilzalah Pidie Jaya memuat makna kepedulian atas derita kemanusiaan. Seperti diketahui bersama dengan gempa bumi yang terjadi di Pidie Jaya secara nyata mempunyai dampak yang tak tergolong ringan. Simpati pun datang dari berbagai elemen masyarakat dan bangsa di belahan bumi di dunia ini. Diyakini kondisi kerusakan pun tak lama akan cepat pulih kembali.

"Tak menyangka akhirnya sampailah kita di Aceh," kata H. A. Shoim. Kedatangan kami dijemput oleh tour leader, rasanya menguasai informasi tentang seluk-beluk Aceh. Karena saat kedatangan pertama hari Jumat, maka rombongan mendirikan sholat jumat dulu di masjid dekat Bandara Sultan Iskandarmuda. 

Selesai melaksanakan sholat Jumat dilanjutkan perjalanan menuju Banda Aceh dan saatnya makan bersama di restaurant Hasan -2 yang luar biasa menunya dapat menggugah selera apalagi perut memang sudah menanti untuk secepatnya diisi agar dapat memulihkan tenaga yang cukup terkuras karena perjalanan panjang dari Denpasar sampai Aceh tidak kurang dari 7 jam perjalanan yang harus ditempuhnya. 

Dalam perjalanan memasuki kota, sang tour leader banyak memberikan keterangan tentang kondisi kota sebelum dan sesudah tsunami 2004 lalu. Sebelum memutuskan ceck ini di Hermes Palace Hotel singgah sejenak di Ring Road Coffee untuk melepas lelah dan rehat sejenak sambil menikmati berbagai rasa kepulan aroma kopi khas aceh yang tersohor itu. 

Puas dengan ngopi dan menikmati camilan sejenak rombongan mengabadikan keahlihan penyajian kopi.  Berlanjut menuju Hotel dan menyelamatkan barang-barang bawaan serta sejenak istirahat dengan kesepakatan sebelum akan melaksanakan sholat berjamaah di masjid Raya Baiturrahman yang menjadi simbol religiusitas umat muslim Aceh.

Sesuai rencana, maka kami, rombongan menuju masjid Baiturrahman hingga selesai melaksanakan sholat Isya. Rombongan dibuat terkagum-kagum semaraknya jamaah dan kondosi bangunan fisik masjid Baiturrahman yang dibangun sejak abat XVII itu. 

Perjalanan kunjungan dilanjutkan di lembaga pendidikan Dar Maryam yang didirikan pada awal tahun 2007 untuk menampung anak-anak yakim/piatu korban tsunami dan pada saat kunjungan jumlah santri telah mencapai 176 santri terdiri dari tingkat SMP dan SMA. Para santri mereka sudah ada yang tahfid 5 sampai dengan 10 juz. Sambutan disampaikan oleh pengasuhUstadz Kholil Akbar, S.Pd.I, Ketua MUI Kabupaten Badung Drs. H. Masrur Makmur, M.Pd., H. Qomari, SE, sebagai bendahara, pembina MUI Kabupaten Badung, Ir. H. Yurnal, MM, dan selintas diisi oleh Drs. H. Imam Muhayat, MA.

Dalam acara tersebut telah diberikan sumbangan berupa uang tunai dan gerakan sentuhan motivatif kepada para santri yang sudah tahfid diberikan apa yang diinginkannya. Mereka dengan malu-malu menyampaikan permintaannya, HP Oppo, Android dan lap top. 

Menjelang saat mengakhiri kunjungan di daerah Pidie Jaya, mereka telah mendapat HP dan lap top bagi santri yang sudah hafal 5 dan 10 juz sebagaimana yang telah disampaikan oleh Ir. H. Yournal, MM sebelumnya yang dikoordinasikan kepada rombongan yang dikomandoi oleh H. Halik dan H. Qomari, S.E..

Acara tersebut berlangsung hingga pukul 11. 05 WIB. Selesai acara tersebut, rombongan mengadakan ramah-tamah di kantor Dar Maryam dan mohon pamit dan terima kasih sambutan pada kedatangan rombongan dari MUI Kabupaten Badung, Bali. 

Suasana sudah cukup malam rombongan langsung menuju tempat penginapan dan terasa wajah-wajah lelah tergambar jelas pada setiap langkah dan raut muka mereka. Alhamdulillah hari pertama telah dilewati rombongan dengan kegiatan yang sangat padat dan melelahkan, namun tetap semangat semoga mendapat ridhoNya, amin. 

Hari pertama kunjungan di Aceh melegakan rombongan dan menyentuh langsung suasana batin generasi muslim kita yang bersemangat melaksanakan taklim dan ta'dib untuk menjelang masa depan yang lebih cermerlang. Rombongan langsung menuju penginapan agar dapat menjelang pagi keduanya di Tanah Rencong itu bersubuh jamaah di Masjid Baiturrahman yang monumental dan inspiratif bagi umat Islam Aceh khususnya dan Islam umumnya.

Saya terenyuh menyaksikan semangat rombongan pada hari kedua, sebagian besar rombongan dapat mendirikan sholat subuh bersama di Masjid Baiturrahman ditengah-tengah penatnya pelawatan. Sedangkan saya bersama H. Shoim berjamaah di penginapan karena lelahnya persiapan yang harus kami laksanakan sebelum keberangkatan dalam menyusun detilnya agenda rencana kunjungan yang dijadikan pedoman selama perjalanan tersebut. 

Usai sholat subuh mereka semua berkumpul di ruang sarapan pagi di Hermes Palace Hotel, Aceh dan mempersiapkan keberangkatan lawatan lanjutan di wilayah Pidie Jaya. Tepat pukul 07.30 waktu setempat rombongan bergerak dipandu oleh bapak Noval, beliau ini sebagai ketua REI Pidie Jaya karib bapak Ir. H. Yournal, MM. Perjalanan ke desa Jimjim, Bandar Baru melewati liku-likunya ngarai, lembah, dan pegunungan yang berkelok-kelok jalannya di ujung bukit.

Bapak Noval paham betul wilayah ini. Saat konflik Aceh daerah ini merupakan basis kekuatan GAM, yang memang berdasarkan kontur tanah dan hutan yang lebat memudahkan persembunyian layaknya konflik yang terjadi. 

Bapak Noval termasuk orang yang dapat ngemong dari kedua belah pihak. Sehingga ia tidak merasa menjadi musuh kedua belah pihak. Tentu kami semua bisa banyak belajar dari sosok beliau ini sebagai pengusaha dan tokoh masyarakat dan bagaimana ia dapat menempatkan diri agar dapat melaksanakan tugasnya tetap saja mempunyai peluang untuk keberlangsungan kehidupan dalam keseharian bagi keluarga dan masyarakatnya dengan baik.

Melihat dan merasakan gerak alamiah secara langsung di wilayah Pidie Jaya, terasa ada getaran magis langkah-langkah para pejuang kemanusiaan di wilayah ini. Dulu, jauh sebelum penandatanganan MoU damai konflik Aceh di Swedia banyak catatan harianku mengulas tentang konflik di wilayah ini sebatas informasi dan imajinasi yang terkemas dari berita media cetak dan elektronik. 

Dengan menyaksikan wilayah ini secara langsung terasa lebih mendekatkan hasil analisis saya kala itu dan dari serpihan-serpihan cerita kala itu memberikan petunjuk langsung betapa kedamaian Aceh mesti terus dipelihara dan dipertahankan selamanya agar dapat memberikan pencapaian secara nyata impian cita-cita masyarakat Aceh yang baik dan berkeadaban tinggi sebagaimana yang telah mereka capai dari generasi ke generasi. 

Cita-cita itu sebagaimana dikisahkan oleh seorang penulis Aceh bernama Teuku Abdullah Sulaiman yang dikenal dengan nama penanya T.A Sakti. Ia lahir di Gampong Becue, Kecamatan Skti, Kabupaten Pidie dan pernah memperoleh Bintang Budaya Parama Dharma yang disematkan Presiden Megawati di Istana Negara, Jakarta. Berikut ini karyanya (terjemahan dari Bahasa Aceh):

"Aceh ini wahai Teungku/Tiap pelosok harapkan damai/Masyarakat yang beragam suku/Semua dibantu sejahtera bersama/masyarakat yang hidup di dalam negeri/Tamsil lebah ramai sekali/Laki perempuan suami isteri/Anak ribuan dalam rumah tangga/Semua ada kerja jika dikaji/Kecuali yang uzur yang sudah renta/Kecuali anak-anak yang belum baliq/Itulah mereka yang bekerja/" ( L.K. Ara: 2014, 75).

Dari pemikiran di atas dapat disimpulkan bahwa masyarakat Aceh berasal dari berbagai ragam suku dan latarbelakang yang mendambakan masyarakat damai penuh kesejahteraan. Suatu suku bangsa yang dapat melindungi semua komponen bangsa baik bagi anak-anak dan orang-orang yang tidak berdaya, dalam kehidupan yang diridhai Allah SWT. Begitulah masyarakat Aceh dengan segudang harapan dan cita-cita pencapaian yang dilaksanakan secara tulus dan penuh perjuangan yang tak pernah surut lapuk dimakan arus zaman yang silih berganti itu.

Sepanjang perjalanan terasa betul dampak gempa bumi Aceh. Di sana-sini banyak rumah penduduk dan fasilitas umum meninggalkan sisi-sisa reruntuhan yang masih banyak berserakan. Tenda-tenda penampungan pengungsian masih berdiri dan penghuninya mengadakan kegiatan seadanya di tempat penampungan tersebut. 

Tempat yang kami kunjungi  berdasarkan pemaparan Bapak Noval berada di ujung bukit. Sebelum melanjutkan perjalanan rombongan istirahat sejenak di warung kopi sekadar menghilangkan kepenatan. Di tempat tersebut banyak orang-orang yang duduk memakai atribut partai Aceh. Kami disambut hangat oleh mereka. Saat saya mengajak komunikasi dengan memuji peci khas yang dipakai mereka,  malah dibagikan peci tersebut kepada semua rombongan.  

Rombongan dikawal mobil berlabel partai Aceh. Belakangan kami ketahui mereka adalah para tokoh GAM saat masih terjadi konflik. Selama 3, 5 jam perjalanan, kami sampai di tempat tujuan disambut hangat tokoh masyarakat, pimpinan desa, bapak sekda Pidie Jaya. Acara dimulai dan berakhir dengan penandatanganan MoU antara Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Badung dengan tokoh masyarakat untuk membangun masjid di Jimjim, Bandar Baru, Pidie Jaya. Dari program kerja tersebut, alhamdulillah masjid berdiri megah pada akhir 2017.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun