Mohon tunggu...
Imam Muhayat
Imam Muhayat Mohon Tunggu... Dosen - Karakter - Kompetensi - literasi

menyelam jauh ke dasar kedalaman jejak anak pulau

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pendampingan Pasca Gempa di Pidie Jaya, Aceh

21 Oktober 2018   06:05 Diperbarui: 21 Oktober 2018   07:19 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya  akhirnya paham dengan sistem operasional yang dilakukan MUI Kabupaten Badung dengan bentangan jarak yang sedemikian jauh. Belakangan akhirnya saya ketahui memang ada semacam tim tersendiri untuk mengoperasikan proyek yang digagas atas dasar MoU tersebut, sehingga memungkinkan semua perencanaan tersebut dapat diselesaikan dengan baik. 

Pemahaman saya selama ini tentang MoU penekanannya pada masalah-masalah teknis sebuah program. Sejauh ini berdasarkan pengalaman saya ibarat hubungan timbal balik antarlembaga atau antarstakeholders yang memungkinkan terjadinya sinergisme suatu kegiatan untuk perencanaan berjangka, baik jangka pendek maupun jangka panjang. MoU pembangunan masjid di Pidie Aceh Jaya waktu yang diperlukan berjangka 150 hari sampai finishing. Tentu suatu kegiatan yang sangat membanggakan bahwa MUI Kabupaten Badung dapat berperan serta dalam proses rekonstruksi sarana dan prasarana yang luluh lantak karena gempa bumi.

Kerjasama semacam ini merupakan media pembelajaran yang berharga bagi generasi mendatang, bahwa jarak yang jauh bukan halangan untuk melakukan sesuatu yang dapat diambil banyak manfaatnya, baik terkait silaturahim, hubungan sosial-ekonomi, hubungan memperoleh ridha Allah SWT. Ada beberapa manfaat yang telah MUI Kabupaten Badung laksanakan seperti sekarang ini di Pidie Jaya, Aceh. Pertama tentang aktualisasi program MUI Kabupaten Badung; kedua tentang silaturrahim; ketiga tentang sikap dan prilaku yang luhur. Rasulullah saw bersabda: "Akan datang suatu masa pada kalian, pada masa itu tidak ada yang lebih agung daripada tiga perkara, yaitu dirham yang halal, saudara yang dapat menentramkan, dan sunnah yang diamalkan." (HR. Ath-Thabrani). Insya-Allah semua yang kita lakukan sekarang ini merupakan bagian dari yang dimaksud hadits di atas.

Kemudian terdengar pengumuman dari pilot. Bahwa beberapa menit lagi pesawat akan mendarat di Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda. Mendengar dan menyaksikan tulisan yang terpampang di gate bandara, mengingatkan saya pada para pahlawan Aceh yang gagah berani untuk membela bangsanya demi kemerdekaan sejati dari kolonialisme. Terbukti Aceh selama masa kolonial belum pernah dijajah oleh bangsa mana pun. Sehingga pada saat kemerdekaan Indonesia, maka Aceh telah ditetapkan sebagai Daerah Istimewa Aceh seperti halnya Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Ketika kaki menginjakkan tanah Rencong, Aceh, 12.45 WIB ... rasanya seperti bergetar. Tergetar bersama tapak-tapak kaki Sultan Iskandar Muda, Teuku Umur, Tjik Di Tiro, Tjut Nyak Dien, Tjut Mutia, Panglima Polim, Pocut Baren, Laksamana Kumalayahati, Teuku Nyak Arief, Tengku Fakinah, Tengku Chik Di Tunong, dll... Mereka itu adalah pahlawan Nasional Indonesia yang berasal dari Aceh. Ia pejuang sejati. Perlu dicatat di sini, bahwa orang Aceh tidak asing dengan perang sabil, karena telah lama dipahami masyarakat Aceh tentang perang sabil itu lewat karya besarnya, Chik Pantee Kulu. Dengan perang sabil dalam rangka mempertahankan kebenaran telah tertulis pada Hikayat perang sabil berbunyi: "Berbahagialah tuan pahlawan kami. Rasalah pahala wahai mahkota. Hadiah jihad mujahid berani puteri menanti di dalam surga," (L.K. Ara: 2014, 22).

Dengan perang sabil, ia hidup dan mati karena ekspresi syukur atas eksistensi wilayah yang telah diberikan olehNya. Tanah Air yang besar, Bangsa yang besar, budaya yang adiluhung, dan agama yang yang dijunjung tinggi sebagai sumber manifestasi hidup. Persepsi para pahlawan kita adalah negara dan negeri adalah anugerah nikmat dari Allah swt. Setiap nikmat harus disyukuri. Syukur artinya menggunakan nikmat tertentu sesuai dengan fungsinya seperti yang dikehendaki oleh pemberiNya. Mensyukuri nikmat yang bernama negara dan negeri ialah sebagai berikut:

(1) Menjaga, memelihara, serta membela negeri dan negara terhadap penjajahan bangsa lain, terhadap penjajahan bangsa sendiri, dan terhadap penjajahan umat lain; (2) menggunakan negara dan negeri ini sesuai dengan kehendak Allah swt. yang telah berkenan memberikannya. Demikianlah hidup dan mati umat Islam semata-mata bagi Allah swt. Hidup dan mati untuk selain daripada Allah adalah syirik. Oleh karena itu, termasuk syirik pula untuk berkata dan beritikad hidupku dan matiku untuk negara dan negeriku. Bagi umat Islam, hidup dan mati adalah semata-mata bagi Allah yang telah menganugerahkan negara dan negeri ini kepada kita, (Endang Saefuddin Anshari: 2004, 177-178).

Mencermati konsep di atas teringat peringatan terakhir saat mau shafar ke Pidie Jaya, Aceh yang disampaikan oleh ketua Majelis Ulama Kabupaten Badung, Drs. H. Masrur Makmur, M.Pd.I., sebagai berikut ini: "Don't forget, Dhuhur berjamaah siang ini di Nurul Huda. Sesudah itu meeting kecil buat SAFAR DZILZALAH di Pidie."

Kata yang tersirat pada safar dzilzalah Pidie Jaya memuat makna kepedulian atas derita kemanusiaan. Seperti diketahui bersama dengan gempa bumi yang terjadi di Pidie Jaya secara nyata mempunyai dampak yang tak tergolong ringan. Simpati pun datang dari berbagai elemen masyarakat dan bangsa di belahan bumi di dunia ini. Diyakini kondisi kerusakan pun tak lama akan cepat pulih kembali.

"Tak menyangka akhirnya sampailah kita di Aceh," kata H. A. Shoim. Kedatangan kami dijemput oleh tour leader, rasanya menguasai informasi tentang seluk-beluk Aceh. Karena saat kedatangan pertama hari Jumat, maka rombongan mendirikan sholat jumat dulu di masjid dekat Bandara Sultan Iskandarmuda. 

Selesai melaksanakan sholat Jumat dilanjutkan perjalanan menuju Banda Aceh dan saatnya makan bersama di restaurant Hasan -2 yang luar biasa menunya dapat menggugah selera apalagi perut memang sudah menanti untuk secepatnya diisi agar dapat memulihkan tenaga yang cukup terkuras karena perjalanan panjang dari Denpasar sampai Aceh tidak kurang dari 7 jam perjalanan yang harus ditempuhnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun