Beberapa ulama menafsirkan maksud lahwal hadits ini sebagai nyanyian, musik atau lagu, di antaranya al-Hasan, al-Qurthubi, Ibnu AbbasdanIbnu Mas’ud. Ayat-ayat lain yang dijadikan dalil pengharaman nyanyian adalah QS. an-Najm: 59-61; dan QS. al-Isrâ’: 64(Abi Bakar Jabir al-Jazairi, Haramkah Musik Dan Lagu? (al-I’lam bi Anna al-‘Azif wa al-Ghina Haram), hal. 20-22).
HR. Bukhari, Shahih Bukhari, Hadits no. 5590.
HR. Ibnu Abi Dunya dan al-Baihaqi, (Hadits mauquf).
Terdapat juga beberapa hadits yang intinya membolehkan nyanyian seperti hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dari Aisyah ra, bahwa Ruba’i Binti Mu’awwidz Bin Afra berkata: “Nabi Saw mendatangi pesta perkawinanku, lalu beliau duduk di atas dipan seperti dudukmu denganku, lalu mulailah beberapa orang hamba perempuan kami memukul gendang dan mereka menyanyi dengan memuji orang yang mati syahid pada perang Badar. Tiba-tiba salah seorang di antara mereka berkata: “Di antara kita ada Nabi Saw yang mengetahui apa yang akan terjadi kemudian.” Maka Nabi Saw bersabda: “Tinggalkan omongan itu. Teruskanlah apa yang kamu (nyanyikan) tadi.” [HR. Bukhari, dalam Fâth al-Bârî, juz. III, hal. 113, dari Aisyah ra]. Dan dari Abu Hurairah ra, sesungguhnya Umar melewati shahabat Hasan sedangkan ia sedang melantunkan syi’ir di masjid. Maka Umar memicingkan mata tidak setuju. Lalu Hasan berkata: “Aku pernah bersyi’ir di masjid dan di sana ada orang yang lebih mulia daripadamu (yaitu Rasulullah Saw)” [HR. Muslim, Juz II, hal. 485].
Imam Asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul Ila Tahqiq Al-Haq min ‘Ilm Al-Ushul.(Beirut : Darul Fikr, tth.), hal. 275
Muhammad Husain Abdullah,. Al-Wadhih fi Ushul Al-Fiqh. Cetakan II. (Beirut: Darul Bayariq, 1995). hal. 390