Pengunjung yang datang tidak lebih dari sepuluh orang, itu pun mereka yang ingin bernostalgia dengan lagu-lagu lawas.
Tiba-tiba jantungnya berhenti berdetak, lidahnya kelu saat padangan ini jatuh pada sosok yang duduk di sudut ruangan bergaun merah pulkadot. Rambut lurus pendek, wajah oval, bermata bulat dan tersenyum manis padanya. Tatapan itu---- tatapan dari sepasang mata yang ia rindukan. Membisu. Matanya terpaku.
Dua buah lagu yang dia bawakan terasa begitu lama. Ia ingin segera berlari mendekati perempuan itu untuk memastikan bahwa dialah yang selama ini mengisi malam-malam sepinga dengan chat-chat serta video call yang penuh kehangatan.
***
Perempuan itu menyerup kopi pahit yang ia pesan, tapi matanya tak pernah lepas memandang laki-laki yang sedang bernyanyi di atas panggung.
Kini dia benar-benar melihat laki-laki secara nyata, bukan sekedar khayalan. Sepuluh bulan mereka saling kenal tanpa pernah bertatap muka.
Badannya tegap dan kekar, akibat latihan keras di gym yang sering ia ceritakan. Berkacamata kotak serta berkulit putih.
Keberaniannya untuk datang dan bertemu secara langsung sungguh di luar nalarnya. Karena dia tipe perempuan yang tidak mau hati lebih menguasai dirinya. lebih baik baginya  menggunakan logika daripada hati jika nanti terluka lagi, sakitnya tidak akan parah.
Tapi kali ini dia melanggar semua prinsip yang telah ia bangun demi sosok yang ada di depannya, dia biarkan hatinya saat ini bertindak.
Teringat semua percakapan yang sering mereka lakukan. Ya, mereka adalah dua menusia yang memiliki banyak kesamaan: kesedihan, kemiskinan yang memeluk erat hidup mereka semasa kecil, Â serta kekecewaan akan sebuah hubungan cinta.
Tak hanya itu mereka lebih menyukai gunung, hutan, sawah, daun-daun yang basah oleh embun. Alunan musik dalam rintik hujan yang membuat kesepian terasa membahagiakan.