Mohon tunggu...
Ilhanisya Shevafuxiana
Ilhanisya Shevafuxiana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga (20107030045)

likes to watch movies and read novels.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Percaya Diri, Lawan Imposter Syndrome

10 Juni 2021   22:26 Diperbarui: 10 Juni 2021   23:13 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber : parapuan.co)

"Orang lain sudah sukses, kok aku belum ya? Jadi minder."

"Pengen deh cepet lulus kayak dia, tapi rasanya kok aku gak bisa."

Pernah berpikiran seperti kalimat-kalimat di atas? Hati-hati, perasaan dan pemikiran seperti itu termasuk ke dalam imposter syndrome, lho. Jadi, sebenarnya apa sih imposter syndrome ini?

Imposter syndrome atau dalam bahasa Indonesianya adalah sindrom penipu merupakan kondisi psikologis di mana seseorang merasa tidak pantas meraih kesuksesan yang telah dicapainya. 

Orang dengan sindrom ini justru akan merasa cemas, rendah diri, seolah-olah suatu saat orang akan tahu bahwa dia hanya seorang penipu dan tidak berhak mengakui semua pencapaian dan kesuksesannya.

Fenomena imposter syndrome pertama kali dikenal pada tahun 1970-an oleh seorang psikolog bernama Pauline R. Clance dan rekannya yang bernama Suzzane A. Imes. Istilah ini juga muncul pertama kali dalam sebuah artikel yang ditulis oleh mereka, yang mengamati bahwa wanita berprestasi tinggi mempercayai bahwa diri mereka tidak cerdas, atau bahwa mereka terlalu dinilai tinggi oleh orang lain.

Saat konsep imposter syndrome diperkenalkan, pada awalnya hanya dianggap berlaku untuk wanita yang berprestasi. Tetapi sejak saat itu fenomena ini kemudian dimaknai dengan pengertian yang lebih luas.

Imposter syndrome bisa muncul dalam berbagai cara. Berikut adalah beberapa jenis imposter syndrome yang telah teridentifikasi adalah :

1. Perfeksionis

Orang yang merasa tidak pernah puas dan akan selalu merasa pekerjaannya bisa lebih baik lagi. Mereka cenderung terpaku pada kekurangan atau kesalahan apa pun yang sebelumnya mereka lakukan.

2. Solois

Mereka akan cenderung sangat individualis dan lebih senang bekerja sendiri. Harga diri mereka biasanya berasal dari produktivitas, sehingga mereka sering menolah untuk dibantu. Mereka cenderung melihat mencari bantuan sebagai tanda kelemahan atau ketidakmampuan.

3. Jenius Alami

Orang-orang ini menetapkan sebuah ekspetasi yang terlalu tinggi untuk diri mereka sendiri. Jika mereka gagal dalam percobaan pertama, mereka akan merasa hancur dan tidak berdaya.

4. Ahli

Orang-orang ini selalu berusaha untuk belajar lebih banyak dan tidak akan pernah puas dengan tingkat pemahaman mereka. Meskipun mereka biasanya sangat terampil, mereka meremehkan keterampilan mereka sendiri.

Sebenarnya, kondisi psikologis ini tidak tergolong ke dalam penyakit jiwa. Tetapi, dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa sindrom ini sering dan umum ditemui dalam masyarakat. 

Seseorang yang mengalami sindrom ini biasanya saat mencapai sesuatu yang baik, akan merasa bahwa itu cuma keberuntungan. Sebaliknya, saat waktunya mencapai sesuatu yang buruk, akan langsung merasa bahwa hidupnya diisi dengan kegagalan.

Ada pun gejala yang dialami oleh mereka yang terkena imposter syndrome diantaranya adalah akan merasa sebagai seorang penipu, gampang cemas, tidak percaya diri dan ragu pada kemampuan diri sendiri, serta cenderung perfeksionis karena menuntut kesempurnaan.

Lalu, apa saja sih dampak dan akibat dari imposter syndrome ini?

1. Burnout

Bisa dibayangkan kan, kalau seseorang terus-terusan mengkritik diri sendiri tanpa ada apresiasi sama sekali pasti akan capek sendiri. Kalau terus berlanjut, hal ini bisa menyebabkan burnout atau stres berat.

2. Cenderung Individualis

Orang-orang dengan imposter syndrome bisa saja merasa bahwa meminta bantuan orang lain adalah tanda bahwa mereka lemah. Akibatnya, mereka akan cenderung mau mengerjakan segala sesuatunya sendiri, yang kemudian bisa berujung lelah dan overwork.

3. Takut Mencoba

Karena takut gagal dan tidak bisa memenuhi ekspetasi diri sendiri, mereka dengan imposter syndrome ini biasanya menjadi takut untuk mencoba. Apalagi, mencoba hal-hal yang baru atau suatu hal yang belum pernah mereka lakukan berakibat banyak kesempatan berharga lewat begitu saja.

Terdapat beberapa faktor-faktor tertentu yang bisa menyebabkan seseorang mengalami imposter syndrome, antara lain yaitu pola asuh orang tua yang mengutamakan pencapaian dan prestasi, lingkungan yang kompetitif, sifat yang perfeksionis, serta peran baru (seperti sebagai mahasiswa atau pekerja).

Sindrom ini biasanya ditemukan pada seseorang yang tumbuh besar dalam keluarga yang menekankan pentingnya prestasi. Jika terus menerus terjadi, dikhawatirkan akan muncul depresi dan kecemasan.

Lantas bagaimana cara untuk mengatasi imposter syndrome? Coba simak cara-cara berikut ini :

1. Jujur dengan Diri Sendiri

Akui perasaan dan jujurlah dengan diri sendiri tentang apa yang dirasakan. Kemudian, cari tahu mengapa bisa merasakan hal-hal itu. Seperti misalnya, sering kali saat pikiran negatif muncul karena overthinking terhadap hal-hal yang sebenarnya tidak terjadi. Dengan mengakui perasaan itu, bisa dengan bercerita atau menulis maka akan bisa membantu mengurai pikiran negatif diri sendiri.

2. Tak Ada yang Sempurna di Dunia Ini

Orang dengan imposter syndrome harus belajar untuk tidak terlalu terobsesi dengan standar yang tinggi atau kesempurnaan yang mereka tetapkan untuk diri mereka sendiri. Sadarilah bahwa setiap orang tidak harus sempurna.

3. Apresiasi Hal Kecil

Dalam kehidupan sehari-hari, pasti ada kemajuan yang kita buat, sekecil apapun itu. Nah, tugas kita adalah untuk mengapresiasi diri atas kemajuan tersebut, seperti bisa dengan self reward atau me time.

4. Beritahu Teman

Orang di sekitar kita juga bisa membantu dalam mengingatkan diri kita tentang sisi positif maupun sisi negatif dalam diri kita. Mereka juga bisa sharing pengalaman serupa yang mereka alami dan bagaimana cara mengatasinya.

Jadi, cobalah untuk menerapkan berbagai cara-cara di atas untuk menghadapi imposter syndrome. Namun, kalau masih tetap ada keraguan serta kekhawatiran yang berlebih dan makin mengganggu, jangan ragu untuk berkonsultasi dengan psikolog atau psikiater, ya!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun