Suaramu yang parau ditelan kebisingan
Riuh rendah, tepuk tangan dan kaki yang terus menghentak di lantai dansa
Lampu-lampu yang berseliweran adalah jaringan urat syaraf yang tak berhenti menegang
Bersitegang dengan keadaan, menutup lubang hidung dan telinga
Dan mata yang dibiarkannya semakin nyalang memangsa dosa
Adalah gambar yang tidak alpa dari cacat
Surat-surat berharga telah kau keremus, kau lemparkan ke dalam api yang menyala
Sawah dan gunung telah kau singkirkan, Gedung-gedung pencakar langit telah kau pindahkan
Ke kesepian yang tak punya ujung. Ikan dan teripang di laut telah kau bom
Seperti decit gerahammu yang menahan pilu, engkau berteriak-teriak : Adakah yang melebihi buasnya kota? Maukah engkau tertelungkup di antara gigi-gigi taringnya? Sengajakah engkau mengusap payudaranya untuk kali kesekian? Â
"Siapa lagi yang berjalan gontai menuju tiang gantungan?"