"Ya, kota yang telah melemparmu dan keluarga besar kita ke sini. Kota yang begitu asing namun kau kawini juga, kau senggama juga dengan sangat liar. Sekujur tubuhmu menegang menyaksikan ia meronta-ronta lalu ekornya yang berujung runcing, terbakar api, mengoyak wajah dan dadamu."
"Kota yang selalu, tidak pernah sekalipun tidak, seolah-olah; kota yang selalu pura-pura. Gunung emas di ketiak serigala. Istana megah di pinggir jurang yang menganga. Apa pun akan berjangkit kelaparan sesaat setelah mencecap bacin udaranya. Siapa pun akan semakin haus sesaat setelah menetes air liurnya. Jika kepuasan sudah tidak mungkin dtemukan, pastilah sebaliknya yang terus berseliweran. Ya, kebuasan. Itu dua hal yang selalu bermusuhan tanpa dapat dinasehati."
"Dan engkau bersama keluarga besar kita, suatu hari hendak mencuri emas itu. Engkau menjinijit meredam suara. Serigalanya lebih dulu mengaum. Engkau tidak mengenal takut. Engkau bahkan semakin tertarik, semakin beringas. Engkau sorongkan mulutmu, dan begitu kemewahan besar itu sudah kau baui lidahmu pun kau julurkan."
"Cakar serigala telah lebih dulu merobek dadaku bahkan sebelum niat itu dapat kulafalkan. Suaraku diterbangkan angin hingga jauh. Sangat jauh dan tak mungkin kukejar lagi. Aku terkapar."
"Maka segeralah berdatang sembah. Ia telah menunggu demikian lama."
"Hari ini, Anakku. Bukanlah awal dari semua kekacauan ini yang memilukanku."
"Aku tahu. Harga-harga semakin memalukan. Sayangnya terkecuali harga diri."
"Rupanya, engkau benar-benar sudah tahu. Sudah sangat tahu."
"Apalah aku tanpa engkau terus membisikiku."
-000-
Kudengar, oh kudengar