Sisi lain yang juga diajarkan dalam syariat Islam bahwa jual beli (perdagangan) yang dilakukan sesuai dengan ketentuan syariat akan mendapatkan rezeki yang barakah, dan bahkan dijanjikan pahala akhirat kepada para pelaku bisnis yang jujur, yakni akan bersama para Nabi, para Shaddiqin, dan para Syuhada, kelak di Surga. Tentu saja pahala dan janji transenden yang seperti inilah yang tidak ditemukan dalam ajaran hukum posistif yang lebih bersifat spekulatif, relatif, dan kontemporer.
Rukun dan Syarat Jual Beli Syariah
Syariat islam sangat menekankan agar dalam proses jual beli para pihak memperhatikan syarat dan rukun yang telah ditentukan, karena apabila salah satunya tidak terpenuhi berpotensi jual beli tidak sah atau batal demi hukum.
Rukun jual beli ada tiga, yakni akad (ijab-kabul), pihak-pihak yang berakad (paling tidak ada dua: pejual dan pembeli), dan ma’kud alaih (objek akad). Menurut jumhur ulama, rukun jual beli bukan tiga, namun empat, yaitu orang yang berakad (penjual dan pembeli), sighat (ijab dan Kabul), ada barang (objek) yang dibeli, dan ada nilai tukar pengganti barang. Berbeda dengan Madzab Hanafi, orang yang berakad (pihak-pihak), barang (objek) yang dibeli, dan nilai tukar barang itu tidak termasuk rukun jual beli bukanlah rukun, tetapi syarat jual beli.
Akad sebagaimana telah dibahas di bagian lain buku ini ialah ikatan antara penjual dan pembeli, karena jual beli belum dikatakan sah sebelum ijab kabul dilakukan. Bukanlah ijab dan kabul merupakan ekspresi kerelaan dari seseorang yang merupakan cermin dari perasaannya. Karena itu kerelaan orang dapat ditangkap melalui penampakan lahiriyahnya. Dalam hubungan ijab dan kabul sebagai salah satu rukun jual beli, Rasulullah SAW bersabda:
Dari Abi Hurairah ra. Dari Nabi SAW bersabda: “janganlah dua orang yang jual beli berpisah, sebelum saling meridhai.” (Riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi).
Dalam sabdanya lain:
Rasulullah SAW bersabda: “sesungguhnya jual beli hanya sah dengan saling merelakan.” (Riwayat Ibn Hibban dan Ibn Majah.)
Ada sebuah pertanyaan yang mendasar, apakah jual beli yang sudah mentradisi dalam kehidupan sehari-hari masih disyaratkan adanya ijab dan kabul? Menurut jumhur ulama, tidak disyaratkan adanya ijab dan kabul. Tetapi menurut ulama Syafi’iyah melakukan jual beli barang sekecil apapun tetap harus dilakukan ijab dan kabul. Tidak demikian menurut Imam al-Nawawi dan ulama Muta’akhirin dari kalangan Syafi’iyah, mereka berpendapat boleh saja tanpa ijab dan kabul dalam hal jual beli barang-barang yang kecil.
Namun menurut hemat penulis yang dimaksud kecil bendanya adalah di samping kecil zatnya, juga kecil nilainya. Karena bisa jadi jual beli sebuah benda yang memang kecil dari aspek zatnya, namun besar dari aspek nilai atau harganya. Contoh: yang sederhana nilai harga satu kilogram emas jelas beda dengan satu kilogram bebatuan biasa, dan lain sebagainya. Dari segi ukuran wujud bendanya, tentu saja emas lebih kecil dibanding bebatuan biasa untuk ukuran yang sama. Dengan demikian yang menjadi ukuran perlu tidaknya adanya ijab dan kabul antara lain adalah nilai barang yang diperjual belikan.
Selanjutnya yang berkaitan dengan syarat kekuatan hukum akad jual beli, ulama fikih sepakat bahwa suatu jual beli baru bersifat mengikat, apabila jual beli itu terbebas dari segala macam khiyar, yaitu hak pilih untuk meneruskan atau membatallkan jual beli. Artinya, jika jual beli masih mempunyai hak khiyar, maka jual beli itu belum mengikat dan masih ada peluang untuk dibatalkan.