Sayyid sabiq, mendefinisikan jual beli “saling menukar harta dengan harta atas dasar suka sama suka.” Pendapat lain mendefinisikan “menukar barang dengan barang atau barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik dari yang satu kepada yang lain atas dasar saling merelakan.” Pendapat lain menyatakan “jual beli adalah saling tukar harta, saling menerima, dapat dikelola (tasharruf) dengan ijab dan qabul, dengan cara yang sesuai syara’.”
Akad jual beli dikatakan mengikat (mun’aqid) apabila mempunyai kepastian hokum (lazim). Pada prinsipnya, suatu akad berlaku secara pasti apabila telah memenuhi rukun dan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh syara’. Begitupula sebaliknya, akad dikatakan tidak mengikat (ghair mun’aqid) apabila belum ada kepastian hukumnya (ghairu lazim). Misalnya membeli sesuatu yang belum pernah dilihat, maka jual beli masih bersifat belum pasti disebabkan berlakunya hak khiyar.
Menurut Pasal 1457 KUH Perdata, jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak lain untuk membayar harga yang diperjanjikan.
Hikmah Alllah SWT mensyariatkan akad jual beli kepada hamba-hambaNya adalah sebagai sarana (wasilah) untuk mencari sumber penghidupan (rezeki) dalam rangka memenuhi kebutuhan. Karena melalui akad jual beli, memungkinkan seseorang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya setelah melakukan pertukaran harta benda untuk tujuan kepemilikan.
Allah SWT telah menjadikan kepemilikan harta benda sebagai sarana pendukung guna terciptanya kemaslahatan. Untuk mendapatkan hak kepemilikan terhadap harta benda tersebut, Allah SWT telah mensyariatkan akad jual beli kepada hamba-hambaNya melalui ayat-ayat yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai berikut: “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al-Baqarah[2]:275). “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku ridha sama ridha diantara kamu (QS.An-Nisa[4]:29).
Dalam suatu riwayat ketika Rasulullah ditanya oleh sahabat tentang usaha yang paling utama, kemudian beliau bersabda: Seseorang yang bekerja dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang mabrur (HR. Ahmad). Maksud mabrur dalam hadist tersebut adalah jual beli yang terhindar dari sesuatu yang dapat merusak keridhaan. Karena Rasulullah SAW bersabda: “Jual beli harus dipastikan saling meridhai” (HR. Baihaqi dan Ibnu Majah).
Akad jual beli disyariatkan oleh Allah untuk kemudahan bagi para hambaNya dalam mencari rezeki sebagai sumber penghidupan. Bahkan sebagai gambaran keutamaan, dalam sebuah atsar dinyatakan bahwa sembilan dari sepuluh pintu rezeki berasal dari kegiatan usaha jual beli.
Dasar Hukum Jual Beli Syariah
Adapun dalam syariat Islam dasar hukum jual beli bisa ditemukan di dalam banyak ayat al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad SAW. Antara lain:
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (QS. Al-Baqarah, 2:275)
“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu”. (QS. Al-Baqarah, 2:198)