Dari beberapa definisi diatas dapat dipahami bahwa perkataan jual beli menunjukan adanya perbuatan (aktivitas) dari satu pihak yang dinamakan “menjual”, sedangkan dari pihak lain dinamakan “membeli”. Adapun barang atau apa yang akan menjadi objek perjanjian jual beli dengan sendirinya harus tertentu (jelas), setidak-tidaknya dapat ditentukan wujud dan jumlahnya pada saat akan diserahkan kepada si pembeli.
Termasuk juga jelas secara hukum kepemilikan atas barang yang akan diperjual belikan. Karena kalau tidak jelas atau tidak sah secara hukum, dan jika hal ini dilanjutkan maka jelas berpotensi menimbulkan masalah hukum dikemudian hari. Penyebanya adalah karena jual beli yang dilakukan itu dianggap cacat hukum, di mana penjual menjual barang yang bukan miliknya atau masih dalam status sengketa yang masih dalam proses hukum.
Perlu dipahami pula bahwa inti jual beli adalah suatu perjanjian tukar-menukar benda atau barang yang mempunyai nilai (manfaat) yang dilakukan atas dasar secara sukarela di antar kedua belah pihak, yang satu menyerahkan barang, sedangkan yang lain menerima sesuai perjanjian. Semuanya ini harus sesuai pula dengan ketentuan hukum yang berlaku, baik hukum syara’ maupun hukum positif yang berlaku.
Yang dimaksud sesuai dengan hukum adalah terpenuhinya persyaratan, rukun, dan hal-hal lainnya yang ada kaitanya dengan jual beli sehingga apabila syarat dan rukunnya tidak terpenuhi sama halnya dengan tidak memenuhi ketentuan syara’. Sebagai konsekuensinya, maka jual beli yang dilakukan tidak sah atau tidak mempunyai akibat hukum.
In the analysis of the bargaining process between potential buyers and sellers of commodities, economic theory assumes that preferences are not affected by ownership. Thus, when income effects and transaction costs are minimal, the willingness to pay for a certain good should equal the willingness to accept.
Jual beli pada dasarnya merupakan kegiatan yang saling bantu antara yang satu dengan yang lain dengan prinsip saling menguntungkan sesuai syariat dan peraturan perundangan yang berlaku. Dalam KUHPdt jual beli diatur dalam buku ketiga tentang perikatan. Dalam perikatan ini antara lain diatur segala hal yang berkaitan dengan jual beli, membentang mulai dari pasal 1457 sampai dengan 1540. Adapun bunyi pasal 1457 sebagaimana telah dikutip dibagian lain sebelum ini.
Perlu diperhatikan pula Pasal 1235 BW yang mengatakan: Si penjual/si berutang barang wajib sebagaimana seorang bapak rumah yang baik untuk menjaga/merawat barang yang dijual sebelum barang itu diserahkan ke si pembeli. Lalu, Pasal 1235 BW menyatakan; Si penjual barang/si berutang barang wajib memberikan ganti rugi kepada si berpiutang barang bila si berutang telah membawa dirinya dalam keadaan tidak mampu myerahkan kebendaanya, atau tidak merawatnya sepatutnya guna guna menyelamatkanya.
Jadi, penjual wajib memiliki iktiqad (niat) baik dalam menjual barangnya yang ditandai dengan sikap menjaga atau memelihara kondisi barang yang sudah dibeli pihak lain sebelum barang itu diserahkan ke pembeli. Berikut ini dua gambaran mengenai substansi transaksi perjanjian jual beli barang yang membutuhkan surat perjanjian karena nilai transaksinya dianggap besar:
Pertama, jual-beli kapal. Dalam surat perjanjian dimuat mengenai identitas para pihak (penjual dan pembeli), ukuran kapal dan segala fasilitasnya, harga, uang muka (down payment), jangka waktu pelunasan, dan waktu menyerahkan kapal kepada pihak pembeli. Selain itu, kesepakatan bea balik nama, penyerahan dokumen-dokumen kapal, ongkos penyerahan kapal, segala hal yang berkaitan dengan pajak, dan biaya-biaya lainya, serta penanggungan atas risiko yang mungkin terjadi.
Disepakati pula cara penyelesaian jika terjadi sengketa. Jika musyawarah tidak tercapai maka sengketa bisa disepakati ke pengadilan negeri setempat. Misalnya; kontrak jual-beli kapal perang jenis strategic sealift vessel (SSV) antara PT PAL Indonesia (Persero) dengan pemerintah Filipina. Proyek pengadaan kapal ini dimulai sejak tahun 2014 hingga tahun 2016. Nilai kontraknya skitar Rp 1,1 Triliun.