Tren dari bentuk kejahatan yang muncul selama masa krisis bencana terjadi dapat beragam bergantung pada jenis bencana yang terjadi. Namun ada lebih banyak literatur yang berfokus mengaitkan bencana dengan kejahatan properti. Pilihan kejahatan properti sangat tepat untuk memeriksa hubungan antara bencana dan kejahatan karena efek dari bencana dibatasi secara geografis dan kejahatan properti melekat pada target dengan lokasi spasial yang tetap. Dengan menghancurkan barang dan properti, bencana mengubah ketersediaan barang "tahan lama" dan "mahal" yang membuatnya menjadi target kejahatan properti yang sesuai (Cohen & Felson, 1979, hlm. 595).
Selain kejahatan properti bentuk kejahatan lain yang mungkin muncul saat kondisi krisis bencana adalah kejahatan korupsi. Hal ini tentunya berkaitan dengan upaya pemulihan yang dilakukan oleh pemerintah pasca terjadinya bencana terhadap kerusakan infrastruktur dan pemberian bantuan terhadap korban terdampak bencana. Sebagaimana yang Eiji Yamamura (2013) kemukakan bahwa bencana alam dapat membuat pejabat publik menjadi korup. Selain itu, tingkat potensi korupsi juga dilihat dari seberapa besar dampak bencana yang terjadi. Selain itu, dana bantuan asing merupakan aliran uang bantuan bencana yang menyebabkan korupsi, dan lebih banyak uang menyebabkan lebih banyak korupsi. (Leeson & Sobel 2008)
Meski demikian masih seringkali terjadi miskonsepsi terkait prediksi perilaku kriminal yang terjadi selama masa bencana. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Tatsuya Nogami (2015, hlm. 301) dalam artikelnya yang berjudul “The myth of increased crime in Japan: A false perception of crime frequency in post-disaster situations” menemukan bahwa orang beranggapan bahwa hanya pencurian, penipuan, dan penjarahan, yang akan meningkat setelah bencana, sementara mereka tampaknya tidak berpikir bahwa pelanggaran seks, penyerangan, dan pembunuhan, akan meningkat. Demikian juga, banyak peneliti bencana telah mengklaim bahwa media massa adalah sumber utama mitos bencana, karena perilaku bencana yang digambarkan oleh media dalam banyak kasus berlebihan, mungkin menyebabkan kesalahpahaman orang tentang perilaku tersebut.
Diskursus miskonsepsi oleh peran media ini akan sangat erat kaitannya dengan diskursus kriminologi konstitutif dimana Henry & Milovanovic (2000, hlm. 271) mengatakan bahwa ahli teori konstitutif berpendapat bahwa reproduksi hubungan yang berbahaya terjadi melalui struktur dan budaya masyarakat, karena ini digerakkan oleh manusia yang aktif subyek tidak hanya sebagai pelanggar, tetapi juga sebagai kategori sosial seperti korban, praktisi peradilan pidana, akademisi, komentator, reporter media dan produser film dan acara kriminal TV, dan paling umum, sebagai investor, produser, dan konsumen dalam bisnis kejahatan. Mereka melihat matrix psiko-sosial-budaya kejahatan untuk membentuk diskursif apa yang media sediakan melalui yang agen manusia membangun "makna" dari merugikan orang lain.
Pengendalian Sosial Kejahatan dalam Constitutive Criminology
Henry dan Milanovic dalam Mustofa (2010, hlm.162) mengatakan bahwa mengurangi kejahatan akan menghasilkan pengurangan investasi manusia dalam ideologi produksi kejahatan. Refleksi rekonseptualisasi kejahatan membutuhkan pengembangan wacana penggantinya, daripada menentangnya, yaitu wacana peacemaking dan bukan wacana konflik. Kejahatan menurut Henry dan Milanovic (2000, hlm.270) adalah kekuasaan untuk mengabaikan yang lain, dan merupakan produksi yang berulang. Kejahatan berakar secara materialistik, wacana tentang kejahatan menjadi koordinat tindakan sosial yang merupakan titik tempat pelaku-pelaku kejahatan tidak lebih dari sekedar merupakan investor yang berlebihan dalam akumulasi ekspresi kekuasaan dan pengendalian. Menurut Martin Dinges, pengendalian sosial merupakan segala bentuk interaksi dan komunikasi sosial antara individu ataupun kelompok dalam mendefinisikan perilaku menyimpang dan bereaksi terhadap individu yang melanggarnya (Roodeberg, 2006, hal.222). Selain itu dalam buku “Understanding social control, crime and social order in late modernity” pengendalian sosial dijelaskan sebagai usaha yang dilakukan oleh masyarakat guna mengatur tingkah laku masyarakat lainnya yang memiliki indikasi menyimpang, kriminal, dan mengancam (Innes, 2003).
Bencana tidak hanya menghasilkan permasalahan kemanusiaan maupun kerugian ekonomi, melainkan juga dapat menggiring ke arah kejahatan. Mereka yang berada di daerah bencana beralih ke kegiatan anti-sosial, termasuk kejahatan. Kerjasama memang meningkat di lingkungan masyarakat, tetapi demikian juga dengan penjarahan dalam konteks kejahatan properti; kekerasan seksual serta tindak kekerasan dalam rumah tangga (kejahatan berbasis gender), dan penipuan (Scholars Strategy Network, 2016). Mengingat bahwa dasar kejahatan (as harm) adalah pelaksanaan kekuasaan yang dikonstruksi secara sosial dan secara diskursif melalui perbedaan, maka subjek manusia yang investasinya dalam hubungan kekuasaan dapat merugikan orang lain memiliki potensi untuk menyusun kembali penggunaan status mereka atas agen manusia agar tidak terlalu berbahaya melalui hubungan interaktif dengan budaya atau struktur yang lebih luas. Pemegang kekuasaan tidak boleh memanfaatkan kekuasaan yang dipegangnya untuk memanfaatkan suatu keadaan dalam rangka mendominasi masyarakat dalam segi apapun. Melakukan kerjasama untuk dekonstruksi dan rekonstruksi menuju arah yang positif dengan menentukan kebijakan yang tepat untuk membangun kembali relasi hubungan positif dengan masyarakat merupakan hal yang penting untuk mendorong penurunan tingkat kriminalitas dalam segala kondisi.
Sebagai contoh, Monica Escaleras and Charles Register (2016) menjelaskan bahwa kecenderungan korupsi pada peristiwa bencana alam berkaitan dengan berbagai proyek rekonstruksi. Karena sifat konstruksi yang melibatkan proses pengembalian bentuk fisik, dan terdapat potensi mengambil keuntungan dengan menurunkan spesifikasi yang seharusnya. Dari kasus tersebut diketahui bahwa proses rehabilitasi Lombok melibatkan proyek rekonstruksi sekolah-sekolah terdampak bencana. Sejalan dengan pemaparan literatur sebelumnya, potensi korupsi dapat terbuka lebar saat ada proyek bantuan dengan anggaran cukup besar. Dalam literatur yang ditulis oleh Quang Nguyen (2016) menjelaskan bahwa pengaruh transparansi pemerintah dalam menangani bencana alam dapat mempengaruhi tingkat korupsi. Bencana mungkin dapat mempengaruhi tata kelola pemerintah lokal, membuatnya lebih sulit untuk memantau distribusi bantuan. Kaitan antara bencana alam dan tata kelola menunjukkan perlunya peran yang lebih aktif dari pemerintah pusat dalam memantau pejabat lokal dan bantuan kemanusiaan di komune yang terkena dampak. Perlunya peran yang lebih aktif dari pemerintah pusat dalam memantau pejabat lokal dan bantuan kemanusiaan di wilayah yang terkena dampak merupakan hal yang penting untuk mencegah terjadinya pemanfaatan keadaan yang dilakukan oleh pemerintah atau pejabat pada wilayah tersebut. Selain itu diperlukan tindakan anti korupsi dengan meningkatkan koordinasi antara institusi yang terlibat dalam penanganan bencana alam. Koordinasi merupakan salah satu kelemahan yang dapat menjadi celah terjadi tindak korupsi.
Referensi
Arrigo B.A., Bersot H.Y. (2014) Postmodern Criminology. In: Bruinsma G., Weisburd D. (eds) Encyclopedia of Criminology and Criminal Justice. Springer, New York, NY. https://link.springer.com/referenceworkentry/10.1007%2F978-1-4614-5690-2_315
Colvin, M. (1997). Constitutive Criminology: Beyond Postmodernism. By Stuart Henry and Dragan Milovanovic. Thousand Oaks, Calif. American Journal of Sociology, Vol. 102 (5), 1448-1449