Postmodernisme dalam Kriminologi
Posmodernisme lebih dari sekadar teori, namun gerakan. Lebih dari sekadar kejahatan, sistem peradilan pidana, dan kriminologi itu sendiri (Kraidy 2002). Cakupannya luas, termasuk seni, arsitektur, literatur, dan gerakan sosial yang melibatkan kejahatan dan pengendalian sosial kejahatan. Konsep posmodernisme ini abstrak, luas, dan multifaceted. Dalam kriminologi, postmodernis tidak hanya melihat kejahatan dalam definisi hukum namun juga melihat masyarakat keseluruhan, khususnya diskursusnya sebagai sumber kejahatan. Definisi kejahatan posmodernis mencakup skala kerugian yang lebih besar dari sekadar definisi hukum dan sosiologis. Ini termasuk kerugian yang diciptakan oleh praktik rutin dari berbagai institusi masyarakat yang ada, pekerjaan, birokrasi, pemerintahan, hukum, dan juga keluarga. Posmodernisme melihat penyebab kejahatan dalam interplay seluruh elemen ini yang diekspresikan melalui diskursus, suatu cara untuk mendeskripsikan dunia. Implikasi kebijakan untuk teori posmodernis tidak melibatkan perubahan individu, institutsi, atau fitur struktur. “Policy”, kata yang bukan digunakan oleh para posmodernis, melibatkan perubahan seluruh praktik sosial dan diskursus yang ada saat ini dan menggantinya dengan diskursus lain yang kurang merugikan (less harmful) (Lanier & Henry, 2010, hlm. 358).
Aliran pemikiran posmodern adalah hasil kritik terhadap pemikiran kriminologi kritis yang mendefinisikan kejahatan secara ideologis hanya sebagai definisi yang diciptakan oleh penguasa. Menurut Quinney (1977), pemikiran kriminologi kritis mengabaikan realitas kejahatan konvensional atau jalanan yang menimbulkan korban beserta rasa takut yang ditimbulkannya terhadap kejahatan. Khususnya perempuan dan juga mengabaikan pengendalian kejahatan (Rock, 1992). Kriminologi posmodern melihat perlunya reformasi teori yang sudah ada dan metode penelitian yang selama ini dilakukan sekaligus membangun tatanan baru masyarakat (Mustofa, 2010, hlm. 145-146).
Salah satu fitur pemikiran posmodern utama adalah power atau kekuasaan. Menurut Deleuze (1988) dan Foucault (1977), konsep kekuasaan hadir dalam seluruh relasi yang ada. Kejahatan, menurut Henry dan Milovanovic (1996, p. x) “is an expression of energy to make a difference over others, to the exclusion of those others who, in the instant, are rendered powerless to make [and be] their own difference.” Kekuasaan di sini dilegitimasi melalui sistem pemikiran yang diajarkan dalam berbagai disiplin. Disiplin ini kemudian dilembagakan dengan cara agen yang diindoktrinasi (Arrigo & Bersot, 2014, hlm. 3847).
Perkembangan posmodernisme dalam kriminologi turut menstimulasi Henry dan Milovanovic untuk mengembangkan apa yang mereka kemudian sebut sebagai “constitutive criminology” atau kriminologi konstitutif. Pemikiran Henry dan Milovanovic justru memberikan kritik kepada pemikiran dan konsepsi-konsepsi modernis sebelumnya (Colvin, 1997, hlm. 1448). Pemikiran utama tersebut menolak nihilisme, subjektivisme, keputusasaan, dan anarkhi pengetahuan yang meliputi posmodernisme skeptis. Mereka juga menolak pandangan dekonstruksi sebagai teknik dan komponen mendasar dari perubahan sosial dan lebih memilih menggunakan terminologi posmodernisme afirmatif yang mengedepankan rekonstruksi (Colvin, 1997, hlm. 1448).
Kriminologi konstitutif menawarkan pendekatan yang holistik dan interdisipliner untuk studi-studi mengenai kejahatan. Istilah konstitutif merujuk pada pandangan bahwa subjek manusia adalah koproduser dan koproduksi dari agensi mereka sendiri dan agensi yang lain. (Kanduc, 1997, hlm. 170). Menurut Henry dan Milovanovic, kejahatan tidak begitu banyak disebabkan karena dibangun secara diskursif, melainkan salah satunya oleh proses manusia. Proses-proses tersebut terdiri dari hubungan yang tidak deterministik, melainkan dialektis. Dialektika mengasumsikan perkembangan non linear dan sarat pergerakan, melalui agensi manusia menuju ketidakstabilan bentuk sosial. Kejahatan muncul melalui proses yang dilembagakan secara institusional dan secara diskursif, ketika orang-orang kehilangan pandangan tentang kemanusiaan dan integritas orang-orang yang saling berhubungan dan yang dipengaruhi oleh tindakan dan interaksinya. Hal tersebut merupakan resultan dari bahasa dan proses pemikiran yang menjadikan orang lain sebagai entitas yang terpisah dan tidak manusiawi (Colvin, 1997, hlm.1449).
Sebagai sebuah karya intelektual, kriminologi konstitutif merupakan sebuah sintesis kompleks dari radikalisme, interaksionisme simbolis, dekonstruksionisme, sosiologi fenomenologis, dan filsafat bahasa. Penekanan yang tidak kalah penting dari konsepsi yang dibangun dalam kriminologi konstitutif memperhatikan dengan seksama interpretasi dan reinterpretasi dari realita. Teori ini menyediakan basis argumen yang memadai untuk mengevaluasi berbagai aspek kehidupan, termasuk pelanggar seks, tunawisma, agen hukum, hingga persepsi terhadap kejahatan. Hal tersebut dapat dilakukan, mengingat teori ini berlandaskan pada argumen bahwa kebenaran dapat direstrukturisasi dan kejahatan perlu untuk dievaluasi menggunakan seluruh konteks budaya yang mempengaruhi proses interaksi sosial (Henry & Milovanovic, 1999, hlm.322).
Henry dan Milovanovic (1991, hlm. 293) menjelaskan bahwa untuk mereduksi kejahatan, langkah yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan pengurangan investasi oleh agen manusia dalam ideologi produksi kejahatan yang selama ini diterima sebagai sebuah realitas konkrit. Tulisan mereka juga menjelaskan bahwa kriminologi konstitutif menekankan pada refleksi dan pengembangan wacana pengganti, bukan wacana oposisi, dan wacana perwujudan perdamaian, bukan wacana yang bertentangan. Sehingga, aspek yang perlu diperhatikan dalam aplikasi kriminologi konstitutif adalah diperlukannya sebuah wacana yang mampu menggantikan praktik-praktik lama dengan langkah yang baru untuk mencapai tujuan sosial pengurangan kejahatan di masyarakat.
Peningkatan Kejahatan Saat Situasi Bencana
Saat ini, ada kelangkaan literatur di bidang kriminologi yang menjelaskan perilaku kriminogenik selama bencana alam (Teh, 2008, hlm.201). Hal ini mengindikasikan bahwa masih sedikit sekali literatur-literatur kriminologi yang berfokus menjelaskan unsur-unsur kriminogenik termasuk di dalamnya elemen atau faktor seseorang terlibat dalam kejahatan atau melakukan tindak kejahatan. Namun meski demikian telah ada beberapa tulisan yang berusaha menjelaskan sedapat mungkin terkait relasi antara kejahatan dengan kondisi kedaruratan bencana alam menggunakan perspektif kriminologi. Salah satu diantaranya adalah tulisan berjudul “The Abuses and Offences Committed During the Tsunami Crisis” tahun 2008, Yik Koon Teh berusaha menjelaskan perilaku kriminogenik selama bencana alam menggunakan dua teori kriminologi yaitu social disorganisation theory dan opportunity theory (2008, hlm. 201).
Situasi krisis bencana tidak hanya berpengaruh pada konsekuensi material atau kerugian fisik saja, namun juga dapat mengarah pada konsekuensi sosial seperti meningkatnya tren kejahatan yang lahir dari adanya perubahan sosial selama bencana alam terjadi. Sebagaimana yang dikutip dari artikel “Disasters and crime: The effect of flooding on property crime in Brisbane neighborhoods” milik Zahnow, Wickes, Haynes & Corcoran (2017, hlm. 854) menjelaskan bahwa bencana alam yang diakibatkan oleh bahaya awal yang cepat seperti banjir, kebakaran hutan, dan badai menimbulkan konsekuensi yang luas bagi kota-kota dan lingkungan sekitarnya (Zahran, O'Conner Shelley, Peek, & Brody, 2009). Bencana dapat menghancurkan infrastruktur fisik dan menyebabkan gangguan sosial yang meluas dan kerugian finansial. Mereka membawa perubahan dalam komposisi populasi daerah yang terkena dampak dan sekitarnya dan dapat menghambat fungsi masyarakat dengan mengubah kegiatan rutin penduduk (Elliot & Pais, 2010; Erikson, 1994; Leitner, Barnett, Kent, & Barnett, 2011; Ritchie & Gill , 2004). Belum lagi dampak bencana melampaui dampak yang sifatnya cepat dan langsung ini. Ketika bencana mengganggu fungsi rutin masyarakat dan menyebabkan perubahan komposisi lingkungan, mereka dapat secara tidak langsung mempengaruhi tren kejahatan (Le Beau, 2002; Leitner et al., 2011). Dengan demikian, ada dua jalan potensial dimana bencana dapat secara tidak langsung mempengaruhi kejahatan setempat. Pertama, bencana dapat mempengaruhi kejahatan dengan mengubah pola perilaku agregat penghuni. Bencana mengubah gerakan rutin penduduk, yang dapat berdampak baik pada peluang di kota maupun di tempat lain untuk kejahatan dengan mengganggu keseimbangan antara pelaku, target, dan wali (Cohen & Felson, 1979). Penghancuran fisik akibat bencana dapat membatasi atau meningkatkan ketersediaan target. Di lingkungan di mana properti hancur total, ketersediaan target akan rendah setelah bencana. Di lingkungan lain di mana kerusakan properti terbatas tetapi rumah dievakuasi, target akan lebih mudah diakses karena berkurangnya penjagaan di area ini (Cromwell, Dunham, Akers, & Lanza-Kaduce, 1995; Zahran et al., 2009). Kedua, bencana dapat mempengaruhi kejahatan di lingkungan setempat dengan mempengaruhi kapasitas masyarakat. Sebagai contoh, bencana dapat memperburuk kerentanan yang sudah ada sebelumnya terhadap kejahatan dengan mengikis ikatan sosial dan merusak kemampuan masyarakat untuk merespons kejahatan (Erikson, 1976; Frankenberg, Nobles, & Sumantri, 2012).
Tren dari bentuk kejahatan yang muncul selama masa krisis bencana terjadi dapat beragam bergantung pada jenis bencana yang terjadi. Namun ada lebih banyak literatur yang berfokus mengaitkan bencana dengan kejahatan properti. Pilihan kejahatan properti sangat tepat untuk memeriksa hubungan antara bencana dan kejahatan karena efek dari bencana dibatasi secara geografis dan kejahatan properti melekat pada target dengan lokasi spasial yang tetap. Dengan menghancurkan barang dan properti, bencana mengubah ketersediaan barang "tahan lama" dan "mahal" yang membuatnya menjadi target kejahatan properti yang sesuai (Cohen & Felson, 1979, hlm. 595).
Selain kejahatan properti bentuk kejahatan lain yang mungkin muncul saat kondisi krisis bencana adalah kejahatan korupsi. Hal ini tentunya berkaitan dengan upaya pemulihan yang dilakukan oleh pemerintah pasca terjadinya bencana terhadap kerusakan infrastruktur dan pemberian bantuan terhadap korban terdampak bencana. Sebagaimana yang Eiji Yamamura (2013) kemukakan bahwa bencana alam dapat membuat pejabat publik menjadi korup. Selain itu, tingkat potensi korupsi juga dilihat dari seberapa besar dampak bencana yang terjadi. Selain itu, dana bantuan asing merupakan aliran uang bantuan bencana yang menyebabkan korupsi, dan lebih banyak uang menyebabkan lebih banyak korupsi. (Leeson & Sobel 2008)
Meski demikian masih seringkali terjadi miskonsepsi terkait prediksi perilaku kriminal yang terjadi selama masa bencana. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Tatsuya Nogami (2015, hlm. 301) dalam artikelnya yang berjudul “The myth of increased crime in Japan: A false perception of crime frequency in post-disaster situations” menemukan bahwa orang beranggapan bahwa hanya pencurian, penipuan, dan penjarahan, yang akan meningkat setelah bencana, sementara mereka tampaknya tidak berpikir bahwa pelanggaran seks, penyerangan, dan pembunuhan, akan meningkat. Demikian juga, banyak peneliti bencana telah mengklaim bahwa media massa adalah sumber utama mitos bencana, karena perilaku bencana yang digambarkan oleh media dalam banyak kasus berlebihan, mungkin menyebabkan kesalahpahaman orang tentang perilaku tersebut.
Diskursus miskonsepsi oleh peran media ini akan sangat erat kaitannya dengan diskursus kriminologi konstitutif dimana Henry & Milovanovic (2000, hlm. 271) mengatakan bahwa ahli teori konstitutif berpendapat bahwa reproduksi hubungan yang berbahaya terjadi melalui struktur dan budaya masyarakat, karena ini digerakkan oleh manusia yang aktif subyek tidak hanya sebagai pelanggar, tetapi juga sebagai kategori sosial seperti korban, praktisi peradilan pidana, akademisi, komentator, reporter media dan produser film dan acara kriminal TV, dan paling umum, sebagai investor, produser, dan konsumen dalam bisnis kejahatan. Mereka melihat matrix psiko-sosial-budaya kejahatan untuk membentuk diskursif apa yang media sediakan melalui yang agen manusia membangun "makna" dari merugikan orang lain.
Pengendalian Sosial Kejahatan dalam Constitutive Criminology
Henry dan Milanovic dalam Mustofa (2010, hlm.162) mengatakan bahwa mengurangi kejahatan akan menghasilkan pengurangan investasi manusia dalam ideologi produksi kejahatan. Refleksi rekonseptualisasi kejahatan membutuhkan pengembangan wacana penggantinya, daripada menentangnya, yaitu wacana peacemaking dan bukan wacana konflik. Kejahatan menurut Henry dan Milanovic (2000, hlm.270) adalah kekuasaan untuk mengabaikan yang lain, dan merupakan produksi yang berulang. Kejahatan berakar secara materialistik, wacana tentang kejahatan menjadi koordinat tindakan sosial yang merupakan titik tempat pelaku-pelaku kejahatan tidak lebih dari sekedar merupakan investor yang berlebihan dalam akumulasi ekspresi kekuasaan dan pengendalian. Menurut Martin Dinges, pengendalian sosial merupakan segala bentuk interaksi dan komunikasi sosial antara individu ataupun kelompok dalam mendefinisikan perilaku menyimpang dan bereaksi terhadap individu yang melanggarnya (Roodeberg, 2006, hal.222). Selain itu dalam buku “Understanding social control, crime and social order in late modernity” pengendalian sosial dijelaskan sebagai usaha yang dilakukan oleh masyarakat guna mengatur tingkah laku masyarakat lainnya yang memiliki indikasi menyimpang, kriminal, dan mengancam (Innes, 2003).
Bencana tidak hanya menghasilkan permasalahan kemanusiaan maupun kerugian ekonomi, melainkan juga dapat menggiring ke arah kejahatan. Mereka yang berada di daerah bencana beralih ke kegiatan anti-sosial, termasuk kejahatan. Kerjasama memang meningkat di lingkungan masyarakat, tetapi demikian juga dengan penjarahan dalam konteks kejahatan properti; kekerasan seksual serta tindak kekerasan dalam rumah tangga (kejahatan berbasis gender), dan penipuan (Scholars Strategy Network, 2016). Mengingat bahwa dasar kejahatan (as harm) adalah pelaksanaan kekuasaan yang dikonstruksi secara sosial dan secara diskursif melalui perbedaan, maka subjek manusia yang investasinya dalam hubungan kekuasaan dapat merugikan orang lain memiliki potensi untuk menyusun kembali penggunaan status mereka atas agen manusia agar tidak terlalu berbahaya melalui hubungan interaktif dengan budaya atau struktur yang lebih luas. Pemegang kekuasaan tidak boleh memanfaatkan kekuasaan yang dipegangnya untuk memanfaatkan suatu keadaan dalam rangka mendominasi masyarakat dalam segi apapun. Melakukan kerjasama untuk dekonstruksi dan rekonstruksi menuju arah yang positif dengan menentukan kebijakan yang tepat untuk membangun kembali relasi hubungan positif dengan masyarakat merupakan hal yang penting untuk mendorong penurunan tingkat kriminalitas dalam segala kondisi.
Sebagai contoh, Monica Escaleras and Charles Register (2016) menjelaskan bahwa kecenderungan korupsi pada peristiwa bencana alam berkaitan dengan berbagai proyek rekonstruksi. Karena sifat konstruksi yang melibatkan proses pengembalian bentuk fisik, dan terdapat potensi mengambil keuntungan dengan menurunkan spesifikasi yang seharusnya. Dari kasus tersebut diketahui bahwa proses rehabilitasi Lombok melibatkan proyek rekonstruksi sekolah-sekolah terdampak bencana. Sejalan dengan pemaparan literatur sebelumnya, potensi korupsi dapat terbuka lebar saat ada proyek bantuan dengan anggaran cukup besar. Dalam literatur yang ditulis oleh Quang Nguyen (2016) menjelaskan bahwa pengaruh transparansi pemerintah dalam menangani bencana alam dapat mempengaruhi tingkat korupsi. Bencana mungkin dapat mempengaruhi tata kelola pemerintah lokal, membuatnya lebih sulit untuk memantau distribusi bantuan. Kaitan antara bencana alam dan tata kelola menunjukkan perlunya peran yang lebih aktif dari pemerintah pusat dalam memantau pejabat lokal dan bantuan kemanusiaan di komune yang terkena dampak. Perlunya peran yang lebih aktif dari pemerintah pusat dalam memantau pejabat lokal dan bantuan kemanusiaan di wilayah yang terkena dampak merupakan hal yang penting untuk mencegah terjadinya pemanfaatan keadaan yang dilakukan oleh pemerintah atau pejabat pada wilayah tersebut. Selain itu diperlukan tindakan anti korupsi dengan meningkatkan koordinasi antara institusi yang terlibat dalam penanganan bencana alam. Koordinasi merupakan salah satu kelemahan yang dapat menjadi celah terjadi tindak korupsi.
Referensi
Arrigo B.A., Bersot H.Y. (2014) Postmodern Criminology. In: Bruinsma G., Weisburd D. (eds) Encyclopedia of Criminology and Criminal Justice. Springer, New York, NY. https://link.springer.com/referenceworkentry/10.1007%2F978-1-4614-5690-2_315
Colvin, M. (1997). Constitutive Criminology: Beyond Postmodernism. By Stuart Henry and Dragan Milovanovic. Thousand Oaks, Calif. American Journal of Sociology, Vol. 102 (5), 1448-1449
Escaleras, M., & Register, C. (2016). Public sector corruption and natural hazards. Public Finance Review, 44(6), 746-768.
Henry, S., & Milovanovic, D. (1991). Constitutive Criminology: The Maturation of Critical Theory. Criminology, Vol. 29 (2), 293-294. doi:10.1111/j.1745-9125.1991.tb01068.x
_________________________.(1999). Constitutive Criminology at Work: Applications to Crime and Justice. New York: University of New York Press, 322.
_________________________. (2000). Constitutive Criminology: Origins, Core Concepts, and Evaluation. Social Justice, 27(2 (80)), 268-290. Retrieved April 15, 2020, https://remote-lib.ui.ac.id:2101/stable/29767218
Kanduc, Z. (1997). Stuart Henry and Dragan Milovanovic Constitutive Criminology: Beyond Postmodernism (London: Sage Publications, 1996), 288 pages. European Journal of Crime, Criminal Law and Criminal Justice, 5(2), 170–172.doi:10.1163/157181797x00518
Leeson, P., & Sobel, R. (2008). Weathering Corruption. The Journal of Law &
Economics, 51(4), 667-681. doi:10.1086/590129. https://remote-lib.ui.ac.id:2101/stable/10.1086/590129
Lanier, M. M., & Henry, S. (2010). Essential Criminology (3rd ed.). Boulder: Westview press.
Mustofa, Muhammad. (2010). Kriminologi: Kajian Sosiologis Terhadap Kriminalitas, Perilaku Menyimpang dan Pelanggaran Hukum (edisi ke-2). Bekasi: Penerbit Sari Ilmu Pratama.
Nguyen, Q. (2017). Do natural disasters open a window of opportunity for corruption?. The Journal of Development Studies, 53(1), 156-172
Nogami, T. (2015). The myth of increased crime in japan: A false perception of crime frequency in post-disaster situations. International Journal of Disaster Risk Reduction, 13, 301-306. https://doi.org/10.1016/j.ijdrr.2015.07.007
Roodenburg, H., & Spierenburg, P. (2006). Social Control in Europe, 1500-1800 (Vol. 1). Ohio State University Press.
Henry, S., & Milovanovic, D. (2000). Constitutive criminology: Origins, core concepts, and evaluation. Social Justice, 27(2 (80), 268-290.
Teh, Y. K. (2008). The abuses and offences committed during the tsunami crisis. Asian Journal of Criminology, 3(2), 201-211. doi:10.1007/s11417-008-9050-7. https://remote-lib.ui.ac.id:2116/10.1007/s11417-008-9050-7
Zahnow, R., Wickes, R., Haynes, M., & Corcoran, J. (2017). Disasters and crime: The effect of flooding on property crime in brisbane neighborhoods. Journal of Urban Affairs, 39(6), 857-877. doi:10.1080/07352166.2017.1282778. https://remote-lib.ui.ac.id:2116/10.1080/07352166.2017.1282778
DISCLAIMER:
Tulisan ini disusun oleh Ilham Dwi Hatmawan, Athiya Ramadhian K., Shita Laila Nurjanah, dan Alif Ramadhan untuk mata kuliah Pengendalian Sosial Kejahatan dengan pembimbing Dr. Drs. Arthur Josias Simon Runturambi, M.Si.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H