Mohon tunggu...
Ilham Dwi Hatmawan
Ilham Dwi Hatmawan Mohon Tunggu... Lainnya - Forensic Criminology - Universitas Indonesia

Ilham Dwi Hatmawan is a Forensic Criminology undergraduate student at the Universitas Indonesia. Ilham is interested in child protection and crime prevention based on human resource management. At the age of 22, Ilham has demonstrated his leadership skills through actively initiating various youth empowerment activities in Indonesia. In 2018-2020, Ilham was entrusted as the Chairperson of the Genre Jawa Tengah. During his leadership, the organization focused on marginalized communities with inadequate access to information, such as children deprived of liberty in Purworejo and children living in remote areas in Grobogan. In 2019, Ilham was selected as the Indonesia Participating Youth for the 46th Ship for Southeast Asian and Japanese Youth Program. His ability to facilitate discussions brought him to be the Discussion Facilitators' Assistant. After the program, Ilham and his contingent held a post-program activity at the Jakarta Children's Detention Center to provide psychological assistance for children deprived the liberty. Ilham believes that the realization of justice amongst the community can only occur if all parties understand that every people has different needs but has the same right to get fulfilled.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pengendalian Sosial pada Situasi Bencana dalam Perspektif Kriminologis

19 Desember 2020   08:34 Diperbarui: 20 Desember 2020   21:54 1301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Postmodernisme dalam Kriminologi

Posmodernisme lebih dari sekadar teori, namun gerakan. Lebih dari sekadar kejahatan, sistem peradilan pidana, dan kriminologi itu sendiri (Kraidy 2002). Cakupannya luas, termasuk seni, arsitektur, literatur, dan gerakan sosial yang melibatkan kejahatan dan pengendalian sosial kejahatan. Konsep posmodernisme ini abstrak, luas, dan multifaceted. Dalam kriminologi, postmodernis tidak hanya melihat kejahatan dalam definisi hukum namun juga melihat masyarakat keseluruhan, khususnya diskursusnya sebagai sumber kejahatan. Definisi kejahatan posmodernis mencakup skala kerugian yang lebih besar dari sekadar definisi hukum dan sosiologis. Ini termasuk kerugian yang diciptakan oleh praktik rutin dari berbagai institusi masyarakat yang ada, pekerjaan, birokrasi, pemerintahan, hukum, dan juga keluarga. Posmodernisme melihat penyebab kejahatan dalam interplay seluruh elemen ini yang diekspresikan melalui diskursus, suatu cara untuk mendeskripsikan dunia. Implikasi kebijakan untuk teori posmodernis tidak melibatkan perubahan individu, institutsi, atau fitur struktur. “Policy”, kata yang bukan digunakan oleh para posmodernis, melibatkan perubahan seluruh praktik sosial dan diskursus yang ada saat ini dan menggantinya dengan diskursus lain yang kurang merugikan (less harmful) (Lanier & Henry, 2010, hlm. 358).

Aliran pemikiran posmodern adalah hasil kritik terhadap pemikiran kriminologi kritis yang mendefinisikan kejahatan secara ideologis hanya sebagai definisi yang diciptakan oleh penguasa. Menurut Quinney (1977), pemikiran kriminologi kritis mengabaikan realitas  kejahatan konvensional atau jalanan yang menimbulkan korban beserta rasa takut yang ditimbulkannya terhadap kejahatan. Khususnya perempuan dan juga mengabaikan pengendalian kejahatan (Rock, 1992). Kriminologi posmodern melihat perlunya reformasi teori yang sudah ada dan metode penelitian yang selama ini dilakukan sekaligus membangun tatanan baru masyarakat (Mustofa, 2010, hlm. 145-146).

Salah satu fitur pemikiran posmodern utama adalah power atau kekuasaan. Menurut  Deleuze (1988) dan Foucault (1977), konsep kekuasaan hadir dalam seluruh relasi yang ada. Kejahatan, menurut Henry dan Milovanovic (1996, p. x) “is an expression of energy to make a difference over others, to the exclusion of those others who, in the instant, are rendered powerless to make [and be] their own difference.” Kekuasaan di sini dilegitimasi melalui sistem pemikiran yang diajarkan dalam berbagai disiplin. Disiplin ini kemudian dilembagakan dengan cara agen yang diindoktrinasi (Arrigo & Bersot, 2014, hlm. 3847).

Constitutive Criminology

Perkembangan posmodernisme dalam kriminologi turut menstimulasi Henry dan Milovanovic untuk mengembangkan apa yang mereka kemudian sebut sebagai “constitutive criminology” atau kriminologi konstitutif. Pemikiran Henry dan Milovanovic justru memberikan kritik kepada pemikiran dan konsepsi-konsepsi modernis sebelumnya (Colvin, 1997, hlm. 1448). Pemikiran utama tersebut menolak nihilisme, subjektivisme, keputusasaan, dan anarkhi pengetahuan yang meliputi posmodernisme skeptis. Mereka juga menolak pandangan dekonstruksi sebagai teknik dan komponen mendasar dari perubahan sosial dan lebih memilih menggunakan terminologi posmodernisme afirmatif yang mengedepankan rekonstruksi (Colvin, 1997, hlm. 1448).

Kriminologi konstitutif menawarkan pendekatan yang holistik dan interdisipliner untuk studi-studi mengenai kejahatan. Istilah konstitutif merujuk pada pandangan bahwa subjek manusia adalah koproduser dan koproduksi dari agensi mereka sendiri dan agensi yang lain.  (Kanduc, 1997, hlm. 170). Menurut Henry dan Milovanovic, kejahatan tidak begitu banyak disebabkan karena dibangun secara diskursif, melainkan salah satunya oleh proses manusia. Proses-proses tersebut terdiri dari hubungan yang tidak deterministik, melainkan dialektis. Dialektika mengasumsikan perkembangan non linear dan sarat pergerakan, melalui agensi manusia menuju ketidakstabilan bentuk sosial. Kejahatan muncul melalui proses yang dilembagakan secara institusional dan secara diskursif, ketika orang-orang kehilangan pandangan tentang kemanusiaan dan integritas orang-orang yang saling berhubungan dan yang dipengaruhi oleh tindakan dan interaksinya. Hal tersebut merupakan resultan dari bahasa dan proses pemikiran yang menjadikan orang lain sebagai entitas yang terpisah dan tidak manusiawi (Colvin, 1997, hlm.1449).

Sebagai sebuah karya intelektual, kriminologi konstitutif merupakan sebuah sintesis kompleks dari radikalisme, interaksionisme simbolis, dekonstruksionisme, sosiologi fenomenologis, dan filsafat bahasa. Penekanan yang tidak kalah penting dari konsepsi yang dibangun dalam kriminologi konstitutif memperhatikan dengan seksama interpretasi dan reinterpretasi dari realita. Teori ini menyediakan basis argumen yang memadai untuk mengevaluasi berbagai aspek kehidupan, termasuk pelanggar seks, tunawisma, agen hukum, hingga persepsi terhadap kejahatan. Hal tersebut dapat dilakukan, mengingat teori ini berlandaskan pada argumen bahwa kebenaran dapat direstrukturisasi dan kejahatan perlu untuk dievaluasi menggunakan seluruh konteks budaya yang mempengaruhi proses interaksi sosial (Henry & Milovanovic, 1999, hlm.322).

Henry dan Milovanovic (1991, hlm. 293) menjelaskan bahwa untuk mereduksi kejahatan, langkah yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan pengurangan investasi oleh agen manusia dalam ideologi produksi kejahatan yang selama ini diterima sebagai sebuah realitas konkrit. Tulisan mereka juga menjelaskan bahwa kriminologi konstitutif menekankan pada refleksi dan pengembangan wacana pengganti, bukan wacana oposisi, dan wacana perwujudan perdamaian, bukan wacana yang bertentangan. Sehingga, aspek yang perlu diperhatikan dalam aplikasi kriminologi konstitutif adalah diperlukannya sebuah wacana yang mampu menggantikan praktik-praktik lama dengan langkah yang baru untuk mencapai tujuan sosial pengurangan kejahatan di masyarakat.

Peningkatan Kejahatan Saat Situasi Bencana
Saat ini, ada kelangkaan literatur di bidang kriminologi yang menjelaskan perilaku kriminogenik selama bencana alam (Teh, 2008, hlm.201). Hal ini mengindikasikan bahwa masih sedikit sekali literatur-literatur kriminologi yang berfokus menjelaskan unsur-unsur kriminogenik termasuk di dalamnya elemen atau faktor seseorang terlibat dalam kejahatan atau melakukan tindak kejahatan. Namun meski demikian telah ada beberapa tulisan yang berusaha menjelaskan sedapat mungkin terkait relasi antara kejahatan dengan kondisi kedaruratan bencana alam menggunakan perspektif kriminologi. Salah satu diantaranya adalah tulisan berjudul “The Abuses and Offences Committed During the Tsunami Crisis” tahun 2008, Yik Koon Teh berusaha menjelaskan perilaku kriminogenik selama bencana alam menggunakan dua teori kriminologi yaitu social disorganisation theory dan opportunity theory (2008, hlm. 201).

Situasi krisis bencana tidak hanya berpengaruh pada konsekuensi material atau kerugian fisik saja, namun juga dapat mengarah pada konsekuensi sosial seperti meningkatnya tren kejahatan yang lahir dari adanya perubahan sosial selama bencana alam terjadi. Sebagaimana yang dikutip dari artikel “Disasters and crime: The effect of flooding on property crime in Brisbane neighborhoods” milik Zahnow, Wickes, Haynes & Corcoran (2017, hlm. 854) menjelaskan bahwa bencana alam yang diakibatkan oleh bahaya awal yang cepat seperti banjir, kebakaran hutan, dan badai menimbulkan konsekuensi yang luas bagi kota-kota dan lingkungan sekitarnya (Zahran, O'Conner Shelley, Peek, & Brody, 2009). Bencana dapat menghancurkan infrastruktur fisik dan menyebabkan gangguan sosial yang meluas dan kerugian finansial. Mereka membawa perubahan dalam komposisi populasi daerah yang terkena dampak dan sekitarnya dan dapat menghambat fungsi masyarakat dengan mengubah kegiatan rutin penduduk (Elliot & Pais, 2010; Erikson, 1994; Leitner, Barnett, Kent, & Barnett, 2011; Ritchie & Gill , 2004). Belum lagi dampak bencana melampaui dampak yang sifatnya cepat dan langsung ini. Ketika bencana mengganggu fungsi rutin masyarakat dan menyebabkan perubahan komposisi lingkungan, mereka dapat secara tidak langsung mempengaruhi tren kejahatan (Le Beau, 2002; Leitner et al., 2011). Dengan demikian, ada dua jalan potensial dimana bencana dapat secara tidak langsung mempengaruhi kejahatan setempat. Pertama, bencana dapat mempengaruhi kejahatan dengan mengubah pola perilaku agregat penghuni. Bencana mengubah gerakan rutin penduduk, yang dapat berdampak baik pada peluang di kota maupun di tempat lain untuk kejahatan dengan mengganggu keseimbangan antara pelaku, target, dan wali (Cohen & Felson, 1979). Penghancuran fisik akibat bencana dapat membatasi atau meningkatkan ketersediaan target. Di lingkungan di mana properti hancur total, ketersediaan target akan rendah setelah bencana. Di lingkungan lain di mana kerusakan properti terbatas tetapi rumah dievakuasi, target akan lebih mudah diakses karena berkurangnya penjagaan di area ini (Cromwell, Dunham, Akers, & Lanza-Kaduce, 1995; Zahran et al., 2009). Kedua, bencana dapat mempengaruhi kejahatan di lingkungan setempat dengan mempengaruhi kapasitas masyarakat. Sebagai contoh, bencana dapat memperburuk kerentanan yang sudah ada sebelumnya terhadap kejahatan dengan mengikis ikatan sosial dan merusak kemampuan masyarakat untuk merespons kejahatan (Erikson, 1976; Frankenberg, Nobles, & Sumantri, 2012).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun