Mohon tunggu...
Ilham Akbar Junaidi Putra
Ilham Akbar Junaidi Putra Mohon Tunggu... Apoteker - Pharmacist

✍️ Penulis Lepas di Kompasiana 📚 Mengulas topik terkini dan menarik 💡 Menginspirasi dengan sudut pandang baru dan analisis mendalam 🌍 Mengangkat isu-isu lokal dengan perspektif global 🎯 Berkomitmen untuk memberikan konten yang bermanfaat dan reflektif 📩 Terbuka untuk diskusi dan kolaborasi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bunuh Diri di Kalangan Mahasiswa: Mengapa Tekanan Sosial Budaya Menjadi Pemicu Utama?

10 Oktober 2024   12:49 Diperbarui: 10 Oktober 2024   13:12 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E 

Mahasiswa sering kali merasakan isolasi sosial, terutama jika mereka berada jauh dari keluarga. Kurangnya dukungan psikososial dari teman sebaya dan lingkungan kampus dapat memperparah kondisi mental mereka. Sebuah survei dari Universitas Indonesia (2022) menunjukkan bahwa lebih dari 40% mahasiswa merasa kesepian dan tidak memiliki tempat untuk berbagi masalah mereka (UI Survey, 2022).

Peran Media Sosial dalam Menciptakan Tekanan yang Tidak Terlihat

Media sosial telah menjadi platform di mana mahasiswa saling membandingkan diri. Eksposur terhadap pencapaian orang lain yang dipamerkan di media sosial menciptakan tekanan untuk tampil sempurna. Menurut Pusat Kajian Media Sosial Indonesia (2023), 68% mahasiswa menyatakan bahwa mereka merasa tidak cukup baik setelah melihat unggahan-unggahan tentang kesuksesan orang lain di media sosial (Pusat Kajian Media Sosial Indonesia, 2023).


Bagaimana Budaya Lokal dan Pola Asuh Berperan?

Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E 
Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E 

Budaya Kolektif yang Meninggikan Citra Keluarga

Di banyak budaya lokal, keberhasilan seorang anak bukan hanya dianggap sebagai pencapaian individu, tetapi juga cerminan keberhasilan keluarga. Mahasiswa yang gagal mencapai harapan tidak hanya merasa mengecewakan diri sendiri, tetapi juga merasa telah "merusak" citra keluarga. Hal ini membuat mereka terjebak dalam dilema antara memenuhi ekspektasi atau menghadapi rasa bersalah yang mendalam (Lembaga Riset Kebudayaan Indonesia, 2023).

Pola Asuh yang Tidak Adaptif terhadap Kesehatan Mental

Pola asuh di banyak keluarga Indonesia masih menitikberatkan pada pencapaian akademis. Orang tua cenderung memberikan tekanan berlebih tanpa menyadari dampak psikologisnya. Menurut Lembaga Psikologi Terapan Indonesia (2023), 55% orang tua di Indonesia menganggap kegagalan akademis adalah tanda kurangnya usaha, bukan sebagai bagian dari proses belajar yang normal (LPTI, 2023).

Stigma Terhadap Masalah Kesehatan Mental

Masih ada stigma kuat di masyarakat yang menganggap berbicara tentang kesehatan mental sebagai tanda kelemahan. Mahasiswa yang mengalami depresi atau kecemasan sering kali memilih untuk menyembunyikannya karena takut dihakimi. Survei dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan bahwa hanya 20% mahasiswa di Indonesia yang berani mencari bantuan ketika menghadapi masalah psikologis (WHO, 2022).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun