Mohon tunggu...
Ilham Akbar Junaidi Putra
Ilham Akbar Junaidi Putra Mohon Tunggu... Apoteker - Pharmacist

✍️ Penulis Lepas di Kompasiana 📚 Mengulas topik terkini dan menarik 💡 Menginspirasi dengan sudut pandang baru dan analisis mendalam 🌍 Mengangkat isu-isu lokal dengan perspektif global 🎯 Berkomitmen untuk memberikan konten yang bermanfaat dan reflektif 📩 Terbuka untuk diskusi dan kolaborasi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bunuh Diri di Kalangan Mahasiswa: Mengapa Tekanan Sosial Budaya Menjadi Pemicu Utama?

10 Oktober 2024   12:49 Diperbarui: 10 Oktober 2024   13:12 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E 

Mengapa semakin banyak mahasiswa yang memilih untuk mengakhiri hidup mereka? Apakah budaya sukses telah menciptakan tekanan yang mematikan?

Rentetan Kasus Bunuh Diri Mahasiswa yang Menggemparkan

Beberapa waktu terakhir, masyarakat dikejutkan dengan rentetan kasus bunuh diri yang melibatkan mahasiswa dari berbagai daerah. Fenomena ini mencerminkan adanya tekanan psikologis yang dirasakan oleh mahasiswa, yang seharusnya menjadi generasi penerus bangsa. Sebagai contoh, di Jakarta, seorang mahasiswa universitas negeri terkemuka mengakhiri hidupnya dengan meninggalkan catatan yang menyebutkan rasa tertekan terhadap nilai akademik yang tidak memuaskan (Sumber: Media Nasional, 2024). Tidak lama kemudian, kejadian serupa terjadi di Surabaya, di mana seorang mahasiswa ditemukan meninggal dengan surat wasiat yang menyatakan ketidakmampuannya memenuhi harapan keluarga yang menuntutnya menjadi lulusan terbaik (Sumber: Media Lokal, 2024).

Kasus-kasus ini tidak hanya terjadi di kota besar, tetapi juga di Yogyakarta, yang dikenal sebagai Kota Pelajar. Seorang mahasiswa di salah satu universitas di Yogyakarta memutuskan untuk mengakhiri hidupnya setelah mengalami perundungan (bullying) dan merasa tidak mendapat dukungan dari lingkungannya (Sumber: Media Online, 2024). Rentetan peristiwa ini menunjukkan bahwa isu bunuh diri di kalangan mahasiswa bukan hanya masalah individu, tetapi juga fenomena sosial yang membutuhkan perhatian serius dari masyarakat dan institusi pendidikan.

Mengapa Mahasiswa Rentan? Faktor Sosial Budaya yang Mendorong Bunuh Diri

Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E 
Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E 

Tekanan Budaya dan Harapan Sosial yang Tinggi

Di Indonesia, konsep kesuksesan sering kali diukur dari pencapaian akademis dan profesional. Budaya yang mengagungkan "anak harus sukses" menjadi tekanan besar bagi mahasiswa. Menurut studi dari Yayasan Indonesia Bahagia (2023), lebih dari 65% mahasiswa mengaku merasa tertekan untuk mencapai standar yang ditetapkan oleh orang tua mereka. Hal ini diperparah oleh stigma bahwa kegagalan dianggap sebagai aib yang mencoreng nama baik keluarga. Dalam konteks sosial budaya Indonesia yang bersifat kolektif, mahasiswa tidak hanya membawa beban diri sendiri, tetapi juga beban ekspektasi dari keluarga dan komunitas sekitarnya (Yayasan Indonesia Bahagia, 2023).

Minimnya Ruang untuk Gagal

Sistem pendidikan di Indonesia masih cenderung fokus pada hasil daripada proses. Budaya yang menuntut mahasiswa untuk terus berprestasi tanpa memberikan ruang untuk gagal menciptakan rasa takut yang berlebihan. Berdasarkan data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2023), hampir 70% mahasiswa yang mengalami kegagalan akademis melaporkan peningkatan kecemasan dan perasaan tidak berharga (Kemendikbud, 2023).

Isolasi Sosial dan Kurangnya Dukungan Psikososial

Mahasiswa sering kali merasakan isolasi sosial, terutama jika mereka berada jauh dari keluarga. Kurangnya dukungan psikososial dari teman sebaya dan lingkungan kampus dapat memperparah kondisi mental mereka. Sebuah survei dari Universitas Indonesia (2022) menunjukkan bahwa lebih dari 40% mahasiswa merasa kesepian dan tidak memiliki tempat untuk berbagi masalah mereka (UI Survey, 2022).

Peran Media Sosial dalam Menciptakan Tekanan yang Tidak Terlihat

Media sosial telah menjadi platform di mana mahasiswa saling membandingkan diri. Eksposur terhadap pencapaian orang lain yang dipamerkan di media sosial menciptakan tekanan untuk tampil sempurna. Menurut Pusat Kajian Media Sosial Indonesia (2023), 68% mahasiswa menyatakan bahwa mereka merasa tidak cukup baik setelah melihat unggahan-unggahan tentang kesuksesan orang lain di media sosial (Pusat Kajian Media Sosial Indonesia, 2023).


Bagaimana Budaya Lokal dan Pola Asuh Berperan?

Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E 
Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E 

Budaya Kolektif yang Meninggikan Citra Keluarga

Di banyak budaya lokal, keberhasilan seorang anak bukan hanya dianggap sebagai pencapaian individu, tetapi juga cerminan keberhasilan keluarga. Mahasiswa yang gagal mencapai harapan tidak hanya merasa mengecewakan diri sendiri, tetapi juga merasa telah "merusak" citra keluarga. Hal ini membuat mereka terjebak dalam dilema antara memenuhi ekspektasi atau menghadapi rasa bersalah yang mendalam (Lembaga Riset Kebudayaan Indonesia, 2023).

Pola Asuh yang Tidak Adaptif terhadap Kesehatan Mental

Pola asuh di banyak keluarga Indonesia masih menitikberatkan pada pencapaian akademis. Orang tua cenderung memberikan tekanan berlebih tanpa menyadari dampak psikologisnya. Menurut Lembaga Psikologi Terapan Indonesia (2023), 55% orang tua di Indonesia menganggap kegagalan akademis adalah tanda kurangnya usaha, bukan sebagai bagian dari proses belajar yang normal (LPTI, 2023).

Stigma Terhadap Masalah Kesehatan Mental

Masih ada stigma kuat di masyarakat yang menganggap berbicara tentang kesehatan mental sebagai tanda kelemahan. Mahasiswa yang mengalami depresi atau kecemasan sering kali memilih untuk menyembunyikannya karena takut dihakimi. Survei dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan bahwa hanya 20% mahasiswa di Indonesia yang berani mencari bantuan ketika menghadapi masalah psikologis (WHO, 2022).

Kampus sebagai "Miniatur Masyarakat": Mengapa Perubahan Harus Dimulai dari Institusi Pendidikan?

Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E 
Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E 

Budaya Kompetisi di Kampus

Universitas sering kali menjadi cerminan dari budaya kompetisi yang keras. Hanya mahasiswa dengan prestasi akademis yang tinggi yang mendapat pengakuan, sementara yang lain merasa terpinggirkan. Hal ini menciptakan perasaan tidak berharga bagi mereka yang berada di luar standar tersebut (Kemendikbud, 2023).

Minimnya Dukungan Konseling dan Pendampingan Psikologis

Banyak universitas yang belum memiliki layanan konseling yang memadai. Sebuah studi dari Lembaga Konseling Mahasiswa Indonesia (2022) menunjukkan bahwa 80% universitas di Indonesia tidak memiliki tenaga profesional yang cukup untuk memberikan layanan konseling secara rutin (LKMI, 2022).

Menghentikan Siklus "Kegagalan adalah Aib"

Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E 
Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E 

Menciptakan Budaya Keluarga yang Lebih Adaptif

Mendorong orang tua untuk memberikan ruang bagi anak agar berani berbicara tentang kegagalan dan tekanan yang dihadapi. Kampanye nasional seperti "#DengarAnak" yang diinisiasi oleh Yayasan Peduli Generasi telah menunjukkan dampak positif dengan meningkatnya keterbukaan antara anak dan orang tua (Yayasan Peduli Generasi, 2023).

Mengubah Pola Pikir Sosial tentang "Kesuksesan"

Mengajak masyarakat untuk merevisi definisi kesuksesan: tidak hanya berdasarkan capaian akademis tetapi juga kebahagiaan dan kesejahteraan mental. Kampanye "#SuksesAdalahBahagia" berhasil menciptakan diskusi luas di media sosial tentang pentingnya keseimbangan hidup (Kampanye Nasional, 2023).

Membalikkan Paradigma -- Membangun Generasi yang Sehat Secara Mental

Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E 
Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E 

Rentetan kasus bunuh diri mahasiswa mengingatkan kita bahwa transformasi budaya dan pola pikir sangat dibutuhkan. Mengakhiri stigma terhadap kesehatan mental adalah langkah pertama untuk mencegah tragedi lebih lanjut. Mari bersama-sama menciptakan lingkungan yang lebih suportif, baik di keluarga, kampus, maupun komunitas.

Jangan diam ketika seseorang di sekitar kita menunjukkan tanda-tanda stres. Jadilah pendengar yang baik, sebarkan kepedulian, dan mari buka ruang dialog untuk kesehatan mental yang lebih baik. Bagikan artikel ini dan suarakan perubahan di lingkungan Anda

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun