Mahasiswa sering kali merasakan isolasi sosial, terutama jika mereka berada jauh dari keluarga. Kurangnya dukungan psikososial dari teman sebaya dan lingkungan kampus dapat memperparah kondisi mental mereka. Sebuah survei dari Universitas Indonesia (2022) menunjukkan bahwa lebih dari 40% mahasiswa merasa kesepian dan tidak memiliki tempat untuk berbagi masalah mereka (UI Survey, 2022).
Peran Media Sosial dalam Menciptakan Tekanan yang Tidak Terlihat
Media sosial telah menjadi platform di mana mahasiswa saling membandingkan diri. Eksposur terhadap pencapaian orang lain yang dipamerkan di media sosial menciptakan tekanan untuk tampil sempurna. Menurut Pusat Kajian Media Sosial Indonesia (2023), 68% mahasiswa menyatakan bahwa mereka merasa tidak cukup baik setelah melihat unggahan-unggahan tentang kesuksesan orang lain di media sosial (Pusat Kajian Media Sosial Indonesia, 2023).
Bagaimana Budaya Lokal dan Pola Asuh Berperan?
Budaya Kolektif yang Meninggikan Citra Keluarga
Di banyak budaya lokal, keberhasilan seorang anak bukan hanya dianggap sebagai pencapaian individu, tetapi juga cerminan keberhasilan keluarga. Mahasiswa yang gagal mencapai harapan tidak hanya merasa mengecewakan diri sendiri, tetapi juga merasa telah "merusak" citra keluarga. Hal ini membuat mereka terjebak dalam dilema antara memenuhi ekspektasi atau menghadapi rasa bersalah yang mendalam (Lembaga Riset Kebudayaan Indonesia, 2023).
Pola Asuh yang Tidak Adaptif terhadap Kesehatan Mental
Pola asuh di banyak keluarga Indonesia masih menitikberatkan pada pencapaian akademis. Orang tua cenderung memberikan tekanan berlebih tanpa menyadari dampak psikologisnya. Menurut Lembaga Psikologi Terapan Indonesia (2023), 55% orang tua di Indonesia menganggap kegagalan akademis adalah tanda kurangnya usaha, bukan sebagai bagian dari proses belajar yang normal (LPTI, 2023).
Stigma Terhadap Masalah Kesehatan Mental
Masih ada stigma kuat di masyarakat yang menganggap berbicara tentang kesehatan mental sebagai tanda kelemahan. Mahasiswa yang mengalami depresi atau kecemasan sering kali memilih untuk menyembunyikannya karena takut dihakimi. Survei dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan bahwa hanya 20% mahasiswa di Indonesia yang berani mencari bantuan ketika menghadapi masalah psikologis (WHO, 2022).