Menurut laporan yang diterbitkan oleh Deloitte (2023), sebanyak 76% pekerja muda mengutamakan keseimbangan kerja dan kehidupan pribadi di atas gaji tinggi dan jabatan prestisius.
"Setelah bekerja selama dua tahun tanpa jeda, saya merasa benar-benar habis. Waktu saya lebih banyak dihabiskan di kantor daripada untuk keluarga," ujar Nadia, seorang karyawan di Jakarta yang memutuskan resign karena mengalami burnout.
Pernyataan ini mencerminkan realita yang dihadapi banyak pekerja muda, di mana mereka menginginkan waktu lebih untuk mengembangkan diri dan mengejar minat di luar pekerjaan.
2. Jam Kerja Fleksibel dan Remote Work yang Belum Diterapkan
Pandemi telah membuka mata banyak orang tentang kenyamanan bekerja dari rumah. Gen Z sangat mengutamakan fleksibilitas ini. Mereka menilai bahwa yang penting bukan berapa lama mereka duduk di depan meja, melainkan hasil yang mereka capai.
Namun sayangnya, banyak perusahaan yang masih terjebak dalam pola pikir lama: jam kerja ketat dari 9 pagi hingga 5 sore.
Menurut studi yang dilakukan oleh Harvard Business Review (2022), 70% karyawan muda akan menolak tawaran kerja yang tidak menyediakan opsi kerja jarak jauh.
"Saya merasa lebih produktif ketika bekerja dari rumah. Saya bisa mengatur waktu sendiri dan hasilnya justru lebih optimal," kata Andi, seorang karyawan startup yang memutuskan berpindah ke perusahaan lain yang menawarkan kebijakan hybrid.
3. Ketidakpuasan terhadap Budaya Kerja yang Kaku
Gen Z menginginkan tempat kerja yang menghargai ide dan kreativitas mereka. Mereka enggan bekerja di perusahaan dengan hierarki yang kaku dan sistem birokrasi yang menghambat.
Perusahaan yang masih menerapkan pola kerja satu arah, di mana karyawan hanya diharapkan mendengar perintah tanpa boleh mengemukakan ide, akan sulit mempertahankan talenta muda.