Fenomena Gen Z Resign Massal: Apakah Ini Tanda Bahwa Jam Kerja Kantoran Harus Berevolusi?
Fenomena Great Resignation bukan hanya terjadi di Amerika Serikat, tetapi telah menjadi sorotan global yang berdampak luas, termasuk di Indonesia. Gelombang pengunduran diri ini pertama kali mencuat ketika ratusan ribu pekerja, terutama dari kalangan Gen Z, memilih meninggalkan pekerjaan mereka tanpa ragu. Apa yang menyebabkan para generasi muda ini lebih memilih berhenti ketimbang beradaptasi dengan lingkungan kerja kantoran?
Menurut survei Glints pada awal tahun 2023, 67% pekerja muda di bawah usia 30 tahun merasa bahwa pekerjaan mereka tidak memberikan keseimbangan antara karir dan kehidupan pribadi. Selain itu, sebanyak 58% dari mereka menyebutkan bahwa budaya kerja yang tidak fleksibel menjadi alasan utama mereka keluar dari perusahaan. Fenomena ini menjadi tantangan besar bagi perusahaan yang masih menerapkan pola kerja tradisional.
Mengapa Gen Z Memilih Resign Massal?
1. Pencarian Work-Life Balance yang Sehat
Generasi Z tumbuh di era ketika informasi mengenai kesehatan mental, kebahagiaan, dan pentingnya waktu pribadi begitu melimpah. Mereka tidak lagi tertarik untuk mengejar karir yang menguras tenaga tanpa adanya keseimbangan hidup. Menurut laporan yang diterbitkan oleh Deloitte (2023), sebanyak 76% pekerja muda mengutamakan keseimbangan kerja dan kehidupan pribadi di atas gaji tinggi dan jabatan prestisius.
"Setelah bekerja selama dua tahun tanpa jeda, saya merasa benar-benar habis. Waktu saya lebih banyak dihabiskan di kantor daripada untuk keluarga," ujar Nadia, seorang karyawan di Jakarta yang memutuskan resign karena mengalami burnout. Pernyataan ini mencerminkan realita yang dihadapi banyak pekerja muda, di mana mereka menginginkan waktu lebih untuk mengembangkan diri dan mengejar minat di luar pekerjaan.
2. Jam Kerja Fleksibel dan Remote Work yang Belum Diterapkan
Pandemi telah membuka mata banyak orang tentang kenyamanan bekerja dari rumah. Gen Z sangat mengutamakan fleksibilitas ini. Mereka menilai bahwa yang penting bukan berapa lama mereka duduk di depan meja, melainkan hasil yang mereka capai. Namun sayangnya, banyak perusahaan yang masih terjebak dalam pola pikir lama: jam kerja ketat dari 9 pagi hingga 5 sore.
Menurut studi yang dilakukan oleh Harvard Business Review (2022), 70% karyawan muda akan menolak tawaran kerja yang tidak menyediakan opsi kerja jarak jauh. "Saya merasa lebih produktif ketika bekerja dari rumah. Saya bisa mengatur waktu sendiri dan hasilnya justru lebih optimal," kata Andi, seorang karyawan startup yang memutuskan berpindah ke perusahaan lain yang menawarkan kebijakan hybrid.