"Pemilihan Tahun 1955: Kegagalan Otonomi Dayak dan Dinamika Politik Kalimantan Selatan"
Buku ini mengulas kegagalan cita-cita otonomi Dayak dalam pemilihan tahun 1955 di Kalimantan Selatan, dengan membahas dinamika politik dan peran beberapa partai kecil serta tokoh-tokoh kunci dalam proses tersebut. Dalam konteks pembahasan, terungkap bahwa aspirasi untuk membentuk provinsi keempat dengan basis etnis Dayak tidak berhasil terwujud. Fakta menunjukkan bahwa elite perkotaan yang mendorong pembentukan provinsi tersebut gagal meraih dukungan signifikan, terutama di tiga kabupaten pusat Dayak.
Partai-partai besar pada saat itu, dalam berbicara tentang persatuan nasional, SDM, dan anggaran belanja, cenderung tidak memberikan perhatian serius pada isu otonomi Dayak. Para aktivis otonomi Dayak menemukan perlindungan terbatas di tiga partai kecil, yaitu Partai Rakjat Nasional (PRN), Parkindo, dan Partai Persatuan Daya. Namun, dukungan dari partai besar seperti PRN juga berakhir dengan terpecahnya partai tersebut terkait pemberian konsesi kepada daerah.
Partai Persatuan Daya, yang didirikan oleh Timmerman Brahim, menjadi satu-satunya partai khusus etnis tanpa pretensi nasional yang menonjol dalam pemilihan. Tokoh-tokoh seperti Timmerman Brahim, Perdinand Dahdan Leiden, dan Christian Simbar menjadi kandidat kunci. Namun, pemilihan di Kalimantan Selatan menunjukkan bahwa orang Dayak tersebar di banyak partai, dan identitas etnis Dayak tidak dianggap sebagai identitas politik eksklusif.
Hasil pemilihan untuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Peralihan (DPRD Peralihan) menegaskan ketidakefektifan politik pemilihan etnis Dayak. Partai besar Islam, seperti Nahdatul Ulama (NU) dan Masyumi, mendominasi dengan 82% suara secara keseluruhan, sementara partai-partai kecil yang pro-provinsi keempat hanya mendapatkan bagian kecil suara.
Meskipun Partai Persatuan Daya muncul sebagai partai baru yang cukup sukses dengan meraih 3% suara, hal ini tidak cukup untuk menggeser dominasi partai besar. Dinamika politik etnis Dayak di Kalimantan Selatan, seperti terlihat dalam pemilihan tersebut, menunjukkan bahwa tantangan menuju otonomi Dayak masih panjang dan kompleks.
Hal ini memberikan gambaran yang jelas tentang konteks politik pada masa itu, menyoroti kegagalan upaya untuk mencapai otonomi Dayak melalui jalur politik konvensional. Selain itu, dinamika perpecahan dan persaingan di antara partai-partai kecil memperumit proses politik dan menciptakan tantangan bagi pencapaian aspirasi otonomi.
"Simbar Kembali Menggelar Taktik Gerilya: Perjalanan Kontroversial Menuju Pembentukan Kalimantan Tengah"
Buku ini mengangkat kisah lanjutan Christian Simbar setelah kegagalan dalam pemilihan tahun 1955, di mana ia kembali ke dalam hutan pada September 1956 dan melancarkan serangkaian taktik gerilya yang kontroversial di berbagai wilayah Kalimantan Selatan. Meskipun Simbar memutuskan untuk kembali ke dalam hutan, yang menarik adalah bahwa ia tetap menjalin hubungan dengan penguasa dan militer. Beberapa bukti, seperti kerja sama dengan Tjilik Riwut, menunjukkan adanya saluran komunikasi yang terbuka dengan pihak militer, memungkinkan Simbar untuk bergerak tanpa mendapat hukuman.
Pada November 1956, gerombolannya menyerang gudang senjata militer di Sampit, menciptakan situasi yang semakin kompleks. Pada Desember 1956, Simbar dan pasukannya menyerang kota Pahandut, menewaskan dua polisi dan melukai seorang kepala distrik. Serangan ini dituduh melibatkan pembakaran rumah, pemerkosaan perempuan, dan pencurian harta benda. Simbar dan kelompoknya kemudian melarikan diri ke arah utara, dengan menyebarkan selebaran yang menuntut pembentukan Provinsi Kalimantan Tengah, menunjukkan komitmen Dayak kepada Soekarno, dan menentang Islam di Indonesia.
Keberhasilan Simbar membentuk pasukan siaga memberikan kesan bahwa mereka mengendalikan sebagian besar daerah pedalaman di Kabupaten Kapuas. Latihan militer yang dilakukan beberapa kilometer dari ibu kota Kabupaten Kuala Kapuas menunjukkan tingkat kepercayaan diri kelompok Simbar. Meskipun Sungai Katingan di wilayah sebelah barat berada di bawah kendali pemimpin gerombolan lain bernama William Embang, keduanya masih bergerak bersama di bawah bendera "Mandau Telabang Pantjasila Kalimantan."