Mohon tunggu...
Ilham Abdillah
Ilham Abdillah Mohon Tunggu... Editor - Mahasiswa

Senang belajar sejarah banget

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Gerry Van Klinken: Mengkolonisasi Borneo Pembentukan Provinsi Dayak di Kalimantan

20 Desember 2023   17:06 Diperbarui: 20 Desember 2023   17:17 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

"Menguak Dinamika Pembentukan Provinsi Dayak di Kalimantan: Antara Identitas dan Kebijakan Negara"

Pembentukan Provinsi Kalimantan Tengah di Indonesia pada akhir tahun 1950-an dan menjelaskan dinamika di baliknya. Dengan menggunakan pendekatan sejarah dan analisis politik, tulisan tersebut menyoroti pertentangan antara identitas lokal, nasionalisme, dan upaya negara untuk memperkuat kapasitasnya di daerah-daerah pinggiran.

Pertama-tama, penulis mencatat bahwa pembentukan provinsi-provinsi baru di Indonesia, termasuk Kalimantan Tengah, pada periode tersebut adalah hasil dari ketegangan politik dan nasionalisme yang berkembang di luar Jakarta. Meskipun pemerintah pusat menggambarkan pembentukan provinsi sebagai upaya untuk menggabungkan berbagai bagian bangsa menjadi satu, pandangan lokal menekankan identitas terpisah di tengah keberadaan nasional.

Perbedaan antara konsep bangsa dan negara dalam konteks Indonesia. Sementara nasionalisme cenderung menggambarkan fusi yang lebih riil dari pada pemisahan, pembentukan provinsi-provinsi baru dianggap sebagai tindakan pembangunan negara (state-building) daripada pembentukan bangsa (nation-building).

Pembentukan Provinsi Kalimantan Tengah pada tahun 1957 dianggap sebagai respons terhadap kondisi disintegratif di daerah-daerah kepulauan yang lemah pemerintahannya. Buku ini menyoroti bahwa meskipun simbolisme kebangsaan mendominasi dalam bahasa Presiden Soekarno, yang terjadi sebenarnya adalah ekspansi negara ke wilayah-wilayah yang memerlukan perkuatan keberadaan pemerintah pusat.

Pada tahap pembentukan provinsi, tulisan mencatat bahwa terdapat negosiasi antara pusat dan daerah pinggiran. Elite negara yang berorientasi keamanan mencari perjanjian dengan elite setempat untuk membangun kapasitas negara dan memastikan stabilitas. Ini menciptakan wilayah administratif "Dayak" yang menjadi simbol kekuatan negara-bangsa Indonesia.

Penting untuk dicatat bahwa tulisan menyoroti bahwa pembentukan provinsi bukanlah tindakan pemberontakan atau pemisahan diri yang sesungguhnya, tetapi lebih merupakan gerakan pengapit dari negara yang lemah untuk melawan potensi pemberontakan regional. Dinamika ini mencerminkan permainan kekuasaan yang melibatkan sejumlah kecil fungsionaris negara dan klien non-negara di tingkat pusat dan daerah.

Dengan mengungkapkan sejarah negosiasi antara pusat dan daerah pinggiran, artikel tersebut memberikan pemahaman lebih dalam tentang interaksi antara etnisitas dan negara-bangsa di Indonesia. Pembangunan negara dengan cara desentralisasi, sebagaimana diilustrasikan oleh pembentukan Provinsi Kalimantan Tengah, mengandalkan hubungan dengan kelompok elite lokal untuk memastikan stabilitas dan keberlanjutan pemerintahan pusat.

Secara keseluruhan, tulisan memberikan wawasan yang berharga tentang konteks politik dan identitas di Indonesia pada periode tersebut, menyoroti kompleksitas pembentukan provinsi dan hubungannya dengan proses state-building.

"Perjalanan Dewan Dayak dan Federalisme di Borneo (1946-1949)"

Buku ini memberikan gambaran yang komprehensif tentang peristiwa seputar federalisme dan peran Dewan Dayak di Borneo antara tahun 1946 hingga 1949. Tulisan ini mencakup aspek sejarah, politik, dan sosial, memberikan konteks yang mendalam tentang dinamika politik dan perkembangan masyarakat Dayak selama periode tersebut.

Dimulai dengan mengenalkan istilah "Dayak" yang pertama kali dirumuskan oleh antropolog Barat, dan menjelaskan perbedaan penduduk non-Muslim pedalaman dengan penduduk pribumi Muslim di pantai. Pada periode ini, Borneo dibagi menjadi tiga negara berdaulat, dan di Indonesia, terdapat empat provinsi.

Penulis kemudian merinci bahwa gerakan etnis Dayak memiliki sejarah politiknya sendiri di seluruh wilayah Borneo, dengan pergerakan yang cenderung berada di dalam perbatasan politik masing-masing provinsi. Artikel kemudian menyoroti sejarah tokoh kunci dalam gerakan Dayak pada masa kolonial akhir, khususnya peran Hausmann Baboe.

Sejarah pembentukan identitas teritorial orang Dayak di wilayah pedalaman Borneo juga dibahas, terutama terkait dengan upaya pembentukan reservasi khusus sebelum Perang Dunia II. Pembicaraan tentang otonomi terbatas dan teritorial orang Dayak di bawah pemerintahan kolonial Belanda juga menjadi fokus, menyoroti perubahan dalam pemikiran administratif terhadap masyarakat Dayak.

Pembahasan kemudian beralih ke periode pasca-Perang Dunia II, dengan penjelasan tentang upaya Belanda untuk membentuk federasi Indonesia di bawah pimpinan mereka. Konferensi-konferensi terpisah diadakan untuk kelompok etnis yang berbeda, dan laporan menyebutkan bahwa konferensi di Malino pada tahun 1946 memiliki representasi Dayak yang pro-Belanda.

Tulisan ini juga menyoroti peran Raden Cyrillus Kersanegara, seorang wakil Dayak, dalam Konferensi Malino. Meskipun konferensi merekomendasikan pembagian Borneo menjadi tiga daerah otonom, pendapat Cyrillus kurang diperhatikan. Selanjutnya, artikel menjelaskan pembentukan Dewan Dayak Besar dan tantangan yang dihadapinya, termasuk kurangnya dukungan rakyat dan ketidakberdayaannya dalam mengatasi serangan dari pihak Republik Indonesia.

Pembahasan terakhir artikel mencakup pukulan diplomatik terhadap Dewan Dayak Besar yang diberikan oleh Hasan Basry. Dengan pembubaran Dewan Dayak Besar dan pengakuan resmi Belanda terhadap kedaulatan federal Indonesia pada akhir tahun 1949, buku ini menggambarkan akhir dari perjuangan dan keberhasilan Republik Indonesia.

Dengan menyajikan fakta-fakta sejarah yang terinci dan melibatkan pembaca dalam peristiwa-peristiwa tersebut, artikel ini memberikan pemahaman yang mendalam tentang dinamika politik dan perkembangan masyarakat Dayak di Borneo pada periode penting ini.

“Dinamika Kemerdekaan dan Kampanye untuk Provinsi Kalimantan Tengah”

Buku ini mengulas peristiwa sejarah yang mengarah kepada pembentukan Provinsi Kalimantan Tengah, terfokus pada dinamika kemerdekaan dan kampanye politik di wilayah tersebut pada tahun 1950-an. Pada awalnya, terdapat kesan bahwa revolusi nasional Indonesia yang terpusat cenderung menghapus politik lokal. Meskipun demikian, kelompok minoritas Dayak berhasil membentuk provinsi mereka sendiri pada tahun 1957, mengikuti sejumlah dinamika pembangunan negara yang sedang berlangsung.

Pada awal 1950-an, Jakarta, yang kini merupakan ibu kota Republik Indonesia, menghadapi tantangan dalam menangani pemberontakan Darul Islam setelah Perang Dunia II. Dalam upaya mengatasi krisis kekuasaan dan pemberontakan di beberapa daerah, pemerintah pusat mencoba meluaskan kapasitas negara dengan membentuk persekutuan dengan para perantara kekuasaan di daerah-daerah pinggiran.

Pembubaran unit-unit federal dan subfederal pada tahun 1950 di Borneo menyebabkan ketidakmampuan dalam membentuk pemerintah provinsi hingga tahun 1953. Pemberontakan dari Darul Islam dan gerakan pemberontakan militer Permesta/PRRI di akhir 1950-an memicu respons dari Jakarta, termasuk pembentukan provinsi-provinsi baru.

Peran identitas etnis, khususnya kelompok Dayak, dalam kampanye untuk membentuk Provinsi Kalimantan Tengah menjadi nyata. Dalam upaya mereka, kelompok-kelompok seperti Serikat Kaharingan Dajak Indonesia (SKDI) menekankan gagasan Provinsi Dayak Besar. Gubernur yang ditempatkan oleh Jakarta, Murdjani, mencemaskan politik etnis sebagai bagian dari kebijakan pembagian wilayah.

Sejumlah tuntutan untuk membentuk provinsi-provinsi baru diungkapkan dalam istilah etnis di berbagai wilayah, termasuk Sumatera Utara. Namun, biaya pembentukan provinsi menjadi hambatan utama, dengan pemerintah pusat mencatat bahwa hal tersebut dapat mengganggu efektivitas pemerintah.

Meskipun hambatan finansial, perkembangan di pedalaman wilayah Dayak pada akhirnya mempengaruhi pemerintah untuk menerima tuntutan pembentukan Provinsi Kalimantan Tengah. Pada tahun 1957, provinsi ini secara resmi terbentuk, menandai perubahan politik dan administratif yang signifikan di wilayah tersebut.

Sehingga mampu memberikan gambaran mendalam tentang peristiwa sejarah yang membentuk Provinsi Kalimantan Tengah dan menyoroti peran identitas etnis dalam dinamika politik pada masa itu.

"Christian Simbar dan Insiden Buntok (1953): Dinamika Politik dan Kekuatan Bersenjata di Kalimantan Tengah"

Buku ini merinci kejadian seputar Christian Simbar dan Insiden Buntok pada tahun 1953, yang menjadi salah satu babak penting dalam sejarah politik Kalimantan Tengah. Pada awalnya, pembentukan provinsi baru dibahas tanpa pengetahuan umum, dengan perundingan dilakukan melalui lobi langsung ke Jakarta dan dukungan milisi di hutan rimba Kalimantan.

Insiden tersebut melibatkan Tentara Lawong, yang dipimpin oleh Christian Simbar, seorang pejabat setempat. Kelompok ini awalnya dianggap sebagai kekuatan keagamaan Dayak yang unik, namun perlahan bertransformasi menjadi kekuatan etnis yang mendukung pembentukan provinsi Dayak. Dukungan luas masyarakat lokal terhadap Tentara Lawong tidak hanya didasarkan pada alasan ideologis, tetapi juga pada praktik merampok perahu dagang dan membagikan hasilnya kepada yang membutuhkan.

Insiden Buntok kemudian memunculkan pertanyaan tentang keterlibatan Simbar dalam peristiwa tersebut. Terlihat bahwa Simbar tidak hanya bertindak sebagai pemimpin milisi, tetapi juga sebagai figur politik yang terlibat dalam permainan politik lokal dan nasional. Artikel menyebutkan bahwa Simbar mungkin telah bertindak atas perintah dari "elemen-elemen klandestin" di Banjarmasin, yang berusaha memanfaatkannya sebagai alat politik.

Selanjutnya, membahas peran Simbar dalam pembentukan Provinsi Kalimantan Tengah. Simbar, yang semula tampaknya sebagai sekutu potensial melawan ancaman Darul Islam terhadap agama Kristen, akhirnya menjadi pion dalam politik etnis yang menguntungkan pembentukan provinsi Dayak.

Keberhasilan Simbar dalam melarikan diri dari tahanan dan perannya dalam pertemuan tingkat tinggi antara pemimpin Dayak dan pejabat pemerintah lokal menimbulkan spekulasi. Apakah tindakan tersebut merupakan bagian dari strategi politik yang lebih besar atau hanya refleksi dari ketidakstabilan politik saat itu?

Keberhasilan ini menghadirkan citra yang kaya dan kompleks tentang dinamika politik di Kalimantan Tengah pada periode tersebut. Christian Simbar, sebagai tokoh sentral, muncul sebagai figur yang ambigu dan dapat diinterpretasikan dalam konteks politik lokal yang berkembang pesat.

"Pemilihan Tahun 1955: Kegagalan Otonomi Dayak dan Dinamika Politik Kalimantan Selatan"

Buku ini mengulas kegagalan cita-cita otonomi Dayak dalam pemilihan tahun 1955 di Kalimantan Selatan, dengan membahas dinamika politik dan peran beberapa partai kecil serta tokoh-tokoh kunci dalam proses tersebut. Dalam konteks pembahasan, terungkap bahwa aspirasi untuk membentuk provinsi keempat dengan basis etnis Dayak tidak berhasil terwujud. Fakta menunjukkan bahwa elite perkotaan yang mendorong pembentukan provinsi tersebut gagal meraih dukungan signifikan, terutama di tiga kabupaten pusat Dayak.

Partai-partai besar pada saat itu, dalam berbicara tentang persatuan nasional, SDM, dan anggaran belanja, cenderung tidak memberikan perhatian serius pada isu otonomi Dayak. Para aktivis otonomi Dayak menemukan perlindungan terbatas di tiga partai kecil, yaitu Partai Rakjat Nasional (PRN), Parkindo, dan Partai Persatuan Daya. Namun, dukungan dari partai besar seperti PRN juga berakhir dengan terpecahnya partai tersebut terkait pemberian konsesi kepada daerah.

Partai Persatuan Daya, yang didirikan oleh Timmerman Brahim, menjadi satu-satunya partai khusus etnis tanpa pretensi nasional yang menonjol dalam pemilihan. Tokoh-tokoh seperti Timmerman Brahim, Perdinand Dahdan Leiden, dan Christian Simbar menjadi kandidat kunci. Namun, pemilihan di Kalimantan Selatan menunjukkan bahwa orang Dayak tersebar di banyak partai, dan identitas etnis Dayak tidak dianggap sebagai identitas politik eksklusif.

Hasil pemilihan untuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Peralihan (DPRD Peralihan) menegaskan ketidakefektifan politik pemilihan etnis Dayak. Partai besar Islam, seperti Nahdatul Ulama (NU) dan Masyumi, mendominasi dengan 82% suara secara keseluruhan, sementara partai-partai kecil yang pro-provinsi keempat hanya mendapatkan bagian kecil suara.

Meskipun Partai Persatuan Daya muncul sebagai partai baru yang cukup sukses dengan meraih 3% suara, hal ini tidak cukup untuk menggeser dominasi partai besar. Dinamika politik etnis Dayak di Kalimantan Selatan, seperti terlihat dalam pemilihan tersebut, menunjukkan bahwa tantangan menuju otonomi Dayak masih panjang dan kompleks.

Hal ini memberikan gambaran yang jelas tentang konteks politik pada masa itu, menyoroti kegagalan upaya untuk mencapai otonomi Dayak melalui jalur politik konvensional. Selain itu, dinamika perpecahan dan persaingan di antara partai-partai kecil memperumit proses politik dan menciptakan tantangan bagi pencapaian aspirasi otonomi.

"Simbar Kembali Menggelar Taktik Gerilya: Perjalanan Kontroversial Menuju Pembentukan Kalimantan Tengah"

Buku ini mengangkat kisah lanjutan Christian Simbar setelah kegagalan dalam pemilihan tahun 1955, di mana ia kembali ke dalam hutan pada September 1956 dan melancarkan serangkaian taktik gerilya yang kontroversial di berbagai wilayah Kalimantan Selatan. Meskipun Simbar memutuskan untuk kembali ke dalam hutan, yang menarik adalah bahwa ia tetap menjalin hubungan dengan penguasa dan militer. Beberapa bukti, seperti kerja sama dengan Tjilik Riwut, menunjukkan adanya saluran komunikasi yang terbuka dengan pihak militer, memungkinkan Simbar untuk bergerak tanpa mendapat hukuman.

Pada November 1956, gerombolannya menyerang gudang senjata militer di Sampit, menciptakan situasi yang semakin kompleks. Pada Desember 1956, Simbar dan pasukannya menyerang kota Pahandut, menewaskan dua polisi dan melukai seorang kepala distrik. Serangan ini dituduh melibatkan pembakaran rumah, pemerkosaan perempuan, dan pencurian harta benda. Simbar dan kelompoknya kemudian melarikan diri ke arah utara, dengan menyebarkan selebaran yang menuntut pembentukan Provinsi Kalimantan Tengah, menunjukkan komitmen Dayak kepada Soekarno, dan menentang Islam di Indonesia.

Keberhasilan Simbar membentuk pasukan siaga memberikan kesan bahwa mereka mengendalikan sebagian besar daerah pedalaman di Kabupaten Kapuas. Latihan militer yang dilakukan beberapa kilometer dari ibu kota Kabupaten Kuala Kapuas menunjukkan tingkat kepercayaan diri kelompok Simbar. Meskipun Sungai Katingan di wilayah sebelah barat berada di bawah kendali pemimpin gerombolan lain bernama William Embang, keduanya masih bergerak bersama di bawah bendera "Mandau Telabang Pantjasila Kalimantan."

Dalam konteks ini, hubungan Simbar dengan pemimpin pemerintah setempat dan adanya dukungan dari Harian Rakjat, surat kabar PKI, menunjukkan bahwa Simbar dan Embang menjalin koneksi dengan kelompok elite hingga ke Jakarta. Kesimpang-siuran informasi, seperti pernyataan aneh dalam Harian Rakjat yang menyebut bahwa kelompok Simbar dan Embang tidak pernah merampok, menunjukkan kemungkinan adanya hubungan dua arah antara kelompok gerilya dan kelompok elit di tingkat nasional.

Artikel ini memberikan pemahaman yang mendalam tentang dinamika politik dan konflik di Kalimantan Selatan, terutama dalam konteks upaya pembentukan Kalimantan Tengah dan peran Simbar dalam peristiwa tersebut.

“Pembentukan Provinsi Baru Kalimantan Tengah: Sebuah Tinjauan Historis”

Tulisan ini memberikan gambaran tentang proses pembentukan Provinsi Kalimantan Tengah pada akhir tahun 1956. Sebagai bagian dari sejarah Indonesia yang penuh dengan dinamika politik dan pemberontakan, pembentukan provinsi ini diawali oleh kondisi pemberontakan Darul Islam yang sudah melemah di Kalimantan Selatan pada periode tersebut.

Pada tahun 1956, ketegangan semakin meningkat dengan adanya pemberontakan PRRI/Permesta di beberapa daerah di luar Jawa, termasuk Sumatera Utara, Sumatera Tengah, Sumatera Selatan, dan Sulawesi Utara. Kolonel Abimanju, komandan militer Kalimantan, juga terlibat dalam tindakan pembangkangan terhadap pemerintah pusat di Jakarta. Pada saat yang kritis ini, Kabinet yang terbentuk di bawah pimpinan Ali Sastroamidjojo mengumumkan prioritas utama dalam menangani masalah daerah. Salah satu strategi politik yang diadopsi adalah menciptakan provinsi-provinsi baru di Indonesia. Meskipun biaya tidak menjadi hambatan, pembentukan provinsi lebih ditujukan untuk menciptakan pekerjaan dan mengalirkan uang ke dalam ekonomi daerah yang krisis.

Pendekatan ini dimulai dengan pembentukan Provinsi Aceh pada bulan September, yang kemudian diikuti oleh berbagai provinsi lainnya. Pada saat yang sama, partai politik seperti Murba mendukung pemerintah dengan mengadakan kongres rakyat di seluruh negeri, termasuk Kalimantan Tengah. Kongres tersebut, yang diadakan di Banjarmasin pada Desember 1956, menjadi platform untuk menuntut pembentukan Provinsi Kalimantan Tengah. Bupati Kotawaringin Tjilik Riwut, dengan dukungan dari PKI, berperan penting dalam mendorong pembentukan provinsi ini. Meskipun ada ketidaksetujuan terhadap 'sukuisme', sikap ini didorong oleh keinginan untuk mengatasi musuh politiknya, Masyumi, di Kalimantan Selatan.

Pada Oktober 1956, partai utama PNI menyetujui bahwa Kalimantan Tengah akan menjadi provinsi sendiri dalam waktu tiga tahun. Tjilik Riwut, yang ditempatkan di Banjarmasin, bersama dengan Milono, mantan gubernur seluruh Kalimantan, berangkat ke Jakarta untuk memperjuangkan pembentukan provinsi ini. Keadaan keamanan yang dianggap 'ideal' memungkinkan terjadinya pertemuan penting di Jakarta pada pertengahan April 1957, di mana diputuskan untuk membentuk Provinsi Kalimantan Tengah. Simbar, yang sebelumnya terlibat dalam pemberontakan, secara perlahan disingkirkan, dan Front Pemuda untuk Pembangunan Kalimantan Tengah didirikan dengan Simbar sebagai salah satu pahlawannya.

Dengan demikian, pembentukan Provinsi Kalimantan Tengah menjadi kenyataan setelah perjuangan politik yang panjang. Artikel ini mencerminkan kompleksitas politik dan dinamika kekuasaan pada masa tersebut, yang akhirnya membawa konsekuensi signifikan bagi struktur pemerintahan Indonesia.

Dinamika Politik dan Pembentukan Provinsi Baru: Sebuah Tinjauan terhadap "Yang Kalah dan yang Menang"

Buku ini membahas dinamika politik di Banjarmasin pada tahun 1957 terkait pemilihan gubernur provinsi baru. Dalam daftar calon gubernur yang beredar, tampaknya Hausmann Baboe almarhum menduduki tempat tertinggi di kalangan politisi Dayak. Anak lelakinya, Ruslan Babu, yang saat itu menjabat sebagai konsul Republik Indonesia di San Francisco, menjadi salah satu calon yang menarik perhatian.

Tulisan ini juga menyebutkan calon lain seperti Christoffel Mihing, pegawai negeri di Banjarmasin yang pernah ingin mengirim gereja Kristennya untuk memerangi Darul Islam, dan Mahir Mahar, yang pernah menjadi anggota Dewan Dayak Besar di bawah pemerintahan Belanda. G. Obus, yang memberikan suara kepada Simbar dalam media nasional tahun 1954 dan menjabat sebagai bupati Barito, serta A. D. Ismail, pemimpin Partai Protestan Parkindo, juga tercantum dalam daftar calon.

Namun, yang mengejutkan, tidak ada satu pun dari calon tersebut yang terpilih sebagai gubernur. Sebagai gantinya, Tjilik Riwut, seorang tokoh yang memiliki karisma dan rekam jejak perjuangan sebagai gerilyawan Republik di pedalaman Borneo, menjadi calon terdepan. Ia berhasil mengajukan usul pembentukan provinsi baru, Kalimantan Selatan, dan akhirnya terpilih sebagai gubernur Dayak pertama untuk Kalimantan Tengah (1957-1967).

Pembangunan ibu kota di Pahandut, meskipun awalnya kontroversial, menjadi langkah strategis dalam menghubungkan pusat budaya dan intelektual Dayak dengan pemerintahan provinsi. Meskipun banyak yang tidak setuju, keputusan ini menguntungkan bagi semua pihak, membawa manfaat ekonomi dan pembangunan bagi masyarakat. Sehingga mencatat bahwa Tjilik Riwut memegang jabatan gubernur hingga tahun 1967, ketika kemudian orang luar mengambil alih. Pergeseran ini mencerminkan perubahan politik pada masa itu, terutama saat Orde Baru mencapai puncak kekuasaannya. Satu tokoh menarik yang disorot adalah Simbar, yang awalnya memiliki peran penting dalam politik lokal. Namun, kisahnya berakhir tragis setelah mencoba terlibat dalam dunia bisnis dan kemudian terlibat dalam tindakan kontroversial. Artikel ini memberikan wawasan mendalam tentang dinamika politik dan perubahan kepemimpinan di Kalimantan Tengah pada periode tersebut.

Dengan fokus pada pemilihan gubernur dan peristiwa seputar pembentukan provinsi, artikel ini menjadi sumber berharga untuk memahami perjalanan politik dan perubahan sosial di wilayah tersebut pada masa lalu.

Renungan

Buku ini menghadirkan refleksi mendalam terkait pembentukan Provinsi Kalimantan Tengah, sebuah episode dalam sejarah Indonesia yang, meskipun tidak terlalu mencolok, menggambarkan dinamika politik yang memiliki relevansi penting. Pembentukan provinsi ini menjadi suatu konteks yang menarik karena menunjukkan perubahan dalam struktur pemerintahan dan pemekaran wilayah yang mengikuti garis etnis.

Penulis menyoroti bahwa setelah jatuhnya Orde Baru pada tahun 1998, Jakarta secara agresif membentuk distrik dan provinsi baru, sering kali dengan dasar garis etnis. Dinamika politik lokal yang dipenuhi dengan nuansa etnis menjadi fenomena yang kerap kali di salah pahami. Berbeda dengan gerakan pemberontakan, pembentukan Provinsi Kalimantan Tengah lebih terkait dengan gerakan loyalis di kalangan pegawai negeri bawahan.

Penting untuk dicatat bahwa pejuang gerilya "liar" yang terlibat dalam perjuangan untuk membentuk provinsi terpisah bukanlah pemain utama, tetapi lebih sebagai alat bagi kelompok yang memiliki kepentingan yang lebih besar. Pembentukan provinsi ini diinterpretasikan sebagai upaya ekspansi negara birokratis, yang pada saat yang sama melibatkan wilayah terpinggir kepulauan.

Pentingnya identitas etnis dalam politik lokal tergambar dalam keputusan untuk membangun ibu kota di Pahandut. Meskipun awalnya kontroversial, langkah ini strategis untuk menghubungkan pusat budaya dan intelektual Dayak dengan pemerintahan provinsi. Meskipun citra identitas kesukuan digunakan, penulis menggambarkannya sebagai penemuan baru yang lebih terkait dengan penyesuaian daripada otonomi atau keinginan untuk menentukan nasib sendiri.

Presiden Soekarno, tanpa disadari, memberikan restu pada bentuk etnis kenegaraan di tingkat provinsi saat meletakkan batu pertama di Palangkaraya. Ini sejalan dengan peringatannya sendiri untuk menolak "sukuisme dan separatisme." Pemilihan etnisitas pribumi yang loyal untuk membentuk provinsi menjadi elemen dalam politik persekongkolan antara Banjarmasin dan Jakarta.

Sehingga dengan adanya buku ini menyentuh pertanyaan yang menarik terkait dengan perlawanan rakyat setempat terhadap penindasan. Namun, hal ini tidak sepenuhnya terungkap dalam cerita, dan penulis merenungkan apakah perlawanan tersebut akan mengambil bentuk identitas etnis atau mengusung isu-isu seperti keadilan sosial.

Pembahasan tentang pembangunan negara atau state-building berdasarkan desentralisasi memberikan wawasan tentang pengalaman Indonesia. Pembentukan Provinsi Kalimantan Tengah, meskipun mungkin tidak mencolok, mencerminkan dinamika politik yang mendasari upaya ekspansi negara dan pengaruh birokratis pada tingkat provinsi.

Dengan kehadiran buku ini memberikan kontribusi yang berharga dalam memahami bagaimana identitas etnis dapat digunakan atau dimanfaatkan dalam konteks politik, serta bagaimana pembentukan provinsi dapat menjadi alat untuk mencapai tujuan ekspansi dan pengaruh pemerintah pusat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun