Peran identitas etnis, khususnya kelompok Dayak, dalam kampanye untuk membentuk Provinsi Kalimantan Tengah menjadi nyata. Dalam upaya mereka, kelompok-kelompok seperti Serikat Kaharingan Dajak Indonesia (SKDI) menekankan gagasan Provinsi Dayak Besar. Gubernur yang ditempatkan oleh Jakarta, Murdjani, mencemaskan politik etnis sebagai bagian dari kebijakan pembagian wilayah.
Sejumlah tuntutan untuk membentuk provinsi-provinsi baru diungkapkan dalam istilah etnis di berbagai wilayah, termasuk Sumatera Utara. Namun, biaya pembentukan provinsi menjadi hambatan utama, dengan pemerintah pusat mencatat bahwa hal tersebut dapat mengganggu efektivitas pemerintah.
Meskipun hambatan finansial, perkembangan di pedalaman wilayah Dayak pada akhirnya mempengaruhi pemerintah untuk menerima tuntutan pembentukan Provinsi Kalimantan Tengah. Pada tahun 1957, provinsi ini secara resmi terbentuk, menandai perubahan politik dan administratif yang signifikan di wilayah tersebut.
Sehingga mampu memberikan gambaran mendalam tentang peristiwa sejarah yang membentuk Provinsi Kalimantan Tengah dan menyoroti peran identitas etnis dalam dinamika politik pada masa itu.
"Christian Simbar dan Insiden Buntok (1953): Dinamika Politik dan Kekuatan Bersenjata di Kalimantan Tengah"
Buku ini merinci kejadian seputar Christian Simbar dan Insiden Buntok pada tahun 1953, yang menjadi salah satu babak penting dalam sejarah politik Kalimantan Tengah. Pada awalnya, pembentukan provinsi baru dibahas tanpa pengetahuan umum, dengan perundingan dilakukan melalui lobi langsung ke Jakarta dan dukungan milisi di hutan rimba Kalimantan.
Insiden tersebut melibatkan Tentara Lawong, yang dipimpin oleh Christian Simbar, seorang pejabat setempat. Kelompok ini awalnya dianggap sebagai kekuatan keagamaan Dayak yang unik, namun perlahan bertransformasi menjadi kekuatan etnis yang mendukung pembentukan provinsi Dayak. Dukungan luas masyarakat lokal terhadap Tentara Lawong tidak hanya didasarkan pada alasan ideologis, tetapi juga pada praktik merampok perahu dagang dan membagikan hasilnya kepada yang membutuhkan.
Insiden Buntok kemudian memunculkan pertanyaan tentang keterlibatan Simbar dalam peristiwa tersebut. Terlihat bahwa Simbar tidak hanya bertindak sebagai pemimpin milisi, tetapi juga sebagai figur politik yang terlibat dalam permainan politik lokal dan nasional. Artikel menyebutkan bahwa Simbar mungkin telah bertindak atas perintah dari "elemen-elemen klandestin" di Banjarmasin, yang berusaha memanfaatkannya sebagai alat politik.
Selanjutnya, membahas peran Simbar dalam pembentukan Provinsi Kalimantan Tengah. Simbar, yang semula tampaknya sebagai sekutu potensial melawan ancaman Darul Islam terhadap agama Kristen, akhirnya menjadi pion dalam politik etnis yang menguntungkan pembentukan provinsi Dayak.
Keberhasilan Simbar dalam melarikan diri dari tahanan dan perannya dalam pertemuan tingkat tinggi antara pemimpin Dayak dan pejabat pemerintah lokal menimbulkan spekulasi. Apakah tindakan tersebut merupakan bagian dari strategi politik yang lebih besar atau hanya refleksi dari ketidakstabilan politik saat itu?
Keberhasilan ini menghadirkan citra yang kaya dan kompleks tentang dinamika politik di Kalimantan Tengah pada periode tersebut. Christian Simbar, sebagai tokoh sentral, muncul sebagai figur yang ambigu dan dapat diinterpretasikan dalam konteks politik lokal yang berkembang pesat.