“Pak,bangun pak, bangun pak,,, tolong,,, tolong,, tolong. ”
Suara lantang itu membuat tetangga di sebelah rumah Maman terkaget dan segera datang. Untung beberapa tetangga kemudian membawakanya ramuan herbal. Berkat pertolongan tetangga itu, Maman terbangun dari pingsanya dan ia berkata.
“Duh Gusti, aku meyakini bahwa ada orang yang masih jauh lebih besar kau uji daripada aku. Aku meyakini bahwa masih ada orang yang jauh lebih malang daripada aku. Aku meyakini ini bukan suatu permasalahan yang besar, aku meyakini bahwa kau tahu tolok ukur kemampuanku, aku yakin ini adalah ketetapan yang sudah kau pertimbangkan, maka aku ridho menerima semua ini, du Gusti. ”
Orang-orang di rumah pun terdiam dan melihat Maman meneteskan air mata. Sungguh malang nasib yang menimpa Maman, hidup dengan ketabahan, nasib yang kurang menguntungkan dan dilema yang tak berkesudahan.
Setelah merunduk dan berdo'a, Maman pun pergi menghubungi sanak saudaranya, berharap dapat mengabari beberapa anaknya itu. Ia melangkahkan kakinya menuju desa sebelah dan menemui Anton selaku adik iparnya.
"Ton sudahkah kau mendengar kabar bahwa Wahid meninggal,"
Anton yang baru saja pulang dari pasar itu terkejut.
"Apa? Wahid meninggal."
Rupanya sanak kerabat pun tidak mengetahui bahwa anak Maman yang pertama meninggal. Maman hanya berdiam diri dan menepi di sebelah Rumah Anton. kendati suasana di rumah belum baik-baik saja.
"Ton, bisahkah kau kabari beberapa anaku itu,"
"wah aku tidak tahu Man, sudah lama aku tidak menyimpan nomornya, bagaimana jika kau pergi ke tukang pos dan kau balas surat kabar dari anakmu yang kedua itu?"