Mohon tunggu...
Ilfin Nadhir Alamsyah
Ilfin Nadhir Alamsyah Mohon Tunggu... Penulis - Pegiat Literasi / Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia

Menulis membuat aku berfikir, dengan berfikir membuat aku ada.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di Balik Lara Pria Paruh Baya

19 Desember 2021   23:44 Diperbarui: 21 Desember 2021   03:59 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar ilustrasi lukisan dinding karya Alexis Diaz (sumber.greners.com) 

Hidup tidak semata-mata mampir lalu pergi begitu saja. Meskipun banyak pepatah agama mengatakan hal itu. Hidup tidak lain adalah proses dan mau tidak mau harus diselesaikan. Seperti si Maman, ia seorang pemborong kelapa di kecamatan Podomulyo dengan bermodalkan badan yang kekar dan hati yang lentur. Maman terkenal sebagai seorang paruh baya yang tekun dan giat bekerja. Setiap hari ia menghabiskan nafasnya dengan bekerja selama 14 jam. Tidak biasa dengan manusia  pada umumnya. Meski maman sudah dikatakan paruh baya, Maman tidak pernah megeluh dalam setiap aktivitas yang dijalaninya. Semua itu atas prinsip Maman untuk menghidupi keluarganya.

 Maman memiliki 5 anak, tidak kaget, Maman termasuk orang yang menikah diusia belum genap 20 tahun. Ntah apa komitmen Maman sehingga ia menantang nyalinya dengan menikah diusia belum genap 20 tahun itu. Ke-5 anak Maman sudah menikah, bahkan ada dari mereka yang saat ini sukses karinya di luar negeri. Namun ke-5 anak Maman itu jarang sekali mengabari Maman dan berkunjung ke rumah Maman selaku orang tuanya.

 Meski demikian, hal itu tidak menjadikan Maman menyalahkan takdir. Maman tahu keadaan yang saat ini ia jalani sudah kehendak Tuhan. Hal ini yang menjadikan Maman kerap dipuji oleh tetangga sebelah. Mereka suka iba dengan keadaan Maman yang sudah tua itu tetapi rasa syukur dan tabahnya tak bisa diragukan lagi. 

Maman memiliki istri yang seumuran denganya. Istri Maman hanya berdiam diri di rumah karena beberapa bulan yang lalu terkena penyakit lumpuh. Saat ini ia dirawat jalan di rumahnya sendiri. Melihat keadaan Maman yang seperti itu tentu setiap orang menyebut Maman memiliki nasib yang malang. Namun tidak bagi Maman, bertahun-tahun ia merasakan pilu, gundah, dan gelisah. Tentu ada kebahagiaan sendiri yang dirasakan Maman selain kesedihan itu.

 Maman selalu berharap akan kebahagiaan yang konstan. Kiranya ia berharap nasib baik menghampiri diusianya yang paruh baya ini. Harapan demi harapan ia lantunkan tanpa henti. Berharap akan lenyap ditelan bumi dengan senyum yang riang tanpa beban. Tentu itu semua cita-cita manusia pada umumnya. Namun kehendak Tuhan bukanlah suatu peristiwa tanpa hikmah. Setiap detik kejadian sudah menjadi hal yang diperhitungkan.

 Suatu hari, saat matahari belum genap menidurkan matanya, Maman pergi ke kebun kelapanya dengan membawa seperangkat perbekalan kebun. Maman mengira bahwa sore itu suasana yang cocok untuk menebas kelapa-kelapa yang sudah masak. Namun disayangkan, perkiraan Maman tidak sesuai dari harapan sebelumnya. Kelapa-kelapa di kebun Maman tanpa diketahui sudah hilang dan tidak tersisa sama sekali. Maman berfikir sambil merenung atas kejadian sore itu. Sungguh malang nasib yang menimpanya. Ia kembali pulang dengan raut muka yang murung.

 Selama perjalanan pulang, Maman mendapati jalan yang dilewatinya tertutup oleh pohon besar. Hal itu membuat Maman tidak bisa melewati jalan tersebut, terpaksa Maman harus putar balik melewati jalan lain. Ketika hendak memasuki perumahan desa lain, tiba-tiba Maman dihadang oleh dua orang dengan muka garang dan bengis. Maman mengira kedua orang tersebut ingin berniat buruk kepada Maman, ternyata kedua orang tersebut hanya melihat dan melirik Maman tanpa mengedipkan mata sesekali. Tentu dalam diri Maman berfikir, apa yang terjadi, dan apa ada hal aneh pada diriku ini. Tanpa berfikir panjang, Maman segera melanjutkan perjalanan hingga sampailah di rumahnya.

 Keesokan harinya Maman menceritakan kejadian sore kemarin kepada istrinya yang sedang sakit itu. Sontak istri Maman kaget dan bertanya,

 “kenapa bisa hilang pak?”

Maman hanya terdiam sembari berfikir baik. Mungkin hati Maman juga masih sama seperti manusia pada umumnya ketika kehilangan sesuatu. Namun Maman sudah terlatih sejak jauh hari dengan nasib-nasib yang menimpanya.

 “Sudah tidak apa-apa buk, mungkin itu bukan rejeki kita”

Pernyataan seperti itu seringkali diucapkan Maman kepada istrinya. Mereka berdua terlatih dengan kebiasaan berfikir positif. Betapa dahsyatnya berfikir positif dalam setiap kejadian meski seringkali Maman mengalami nasib malang.

Setelah ia menceritakan kepada istrinya pagi itu. Tiba-tiba Maman mendapati seorang yang datang ke rumah Maman. Ia memperkenalkan diri sebagai pegirim surat kabar. Setelah pengirim surat itu pergi meninggalkan rumah Maman, perlahan surat itu dibuka dengan was-was. Maman penasaran isi surat itu. Seumur hidup ia mendapati surat yang datang ke rumah. Ia berfikir itu adalah kabar dari anak-anaknya.

“Buk, lihatlah, aku mendapati surat dari orang tadi,”

 “apa isi dari surat itu pak?”

Maman pun membuka surat itu perlahan-lahan. Ia dapati ada tanda tangan dari nama anaknya yang kedua. Maman berfikir panjang, ternyata surat itu adalah surat pemberitahuan kepada Maman bahwa anak kandung yang pertama telah meninggal dunia di luar negeri dan dimakamkan di sana. Sontak hati, jiwa, dan fikiran Maman kosong. Ia berdiam diri tegap tanpa bergerak sekali pun. Istrinya yang sedang berbaring di sampingnya penasaran dan bertanya.

“Surat berisi apa itu pak? Apa yang terjadi, mengapa kau bersikap seperti itu?”

Maman masih berdiam diri dan tak menyahuti pertanyaan istrinya itu. Semakin lemas semakin merunduk dan tersungkur. Maman pun terjatuh pingsan. Istrinya berteriak keras tanda meminta pertolongan.

“Tolong,, tolong,,, tolong”

Suara yang dilantunkan istri Maman itu tidak terdengar sama sekali. Hingga ia berusaha bangkit dari tempat tidurnya. Dan menepuk berkali-kali tubuh Maman.

“Pak,bangun pak, bangun pak,,, tolong,,, tolong,, tolong. ”

Suara lantang itu membuat tetangga di sebelah rumah Maman terkaget dan segera datang. Untung beberapa tetangga kemudian membawakanya ramuan herbal.  Berkat pertolongan tetangga itu, Maman terbangun dari pingsanya dan ia berkata.

“Duh Gusti, aku meyakini bahwa ada orang yang masih jauh lebih besar kau uji daripada aku. Aku meyakini bahwa masih ada orang yang jauh lebih malang daripada aku. Aku meyakini ini bukan suatu permasalahan yang besar, aku meyakini bahwa kau tahu tolok ukur kemampuanku, aku yakin ini adalah ketetapan yang sudah kau pertimbangkan, maka aku ridho menerima semua ini, du Gusti. ”

Orang-orang di rumah pun terdiam dan melihat Maman meneteskan air mata. Sungguh malang nasib yang menimpa Maman, hidup dengan ketabahan, nasib yang kurang menguntungkan dan dilema yang tak berkesudahan.

Setelah merunduk dan berdo'a, Maman pun pergi menghubungi sanak saudaranya, berharap dapat mengabari beberapa anaknya itu. Ia melangkahkan kakinya menuju desa sebelah dan menemui Anton selaku adik iparnya.

"Ton sudahkah kau mendengar kabar bahwa Wahid meninggal,"

Anton yang baru saja pulang dari pasar itu terkejut.

"Apa? Wahid meninggal."

Rupanya sanak kerabat pun tidak mengetahui bahwa anak Maman yang pertama meninggal. Maman hanya berdiam diri dan menepi di sebelah Rumah Anton. kendati suasana di rumah belum baik-baik saja.

"Ton, bisahkah kau kabari beberapa anaku itu,"

"wah aku tidak tahu Man, sudah lama aku tidak menyimpan nomornya, bagaimana jika kau pergi ke tukang pos dan kau balas surat kabar dari anakmu yang kedua itu?"

Maman berfikir ulang dan menjawab,

"hmmm, apa itu akan membantu? sedangkan kau tahu, sudah bertahun-tahun aku tidak mendapat kabar dari mereka semua, hemmm sudahlah aku kembali saja ke rumah, istriku sedang menunggu."

Maman pun kembali pulang ke rumah, di jalanan menuju arah pulang, Maman mendapati seorang yang lebih mudah darinya, ia memakai ikat kepala layaknya pendekar dengan dasi dan kemeja yang anggun. di belakangnya pun disambut dengan beberapa orang yang terdiri dari pria,wanita dan anak-anak kecil yang sumringah. Maman pun memandangi orang-orang itu. Sesampai dirumah, Maman memeluk istrinya dengan erat dan berkata.

"Sudah buk, ikhlaskan anak kita itu, kita kembalikan saja kepada Tuhan, kita doakan saja mereka semua baik-baik saja,"

"pak, aku merinduka anak-anak kita itu, sudah bertahun-tahun aku tidak melihat wajah anak-anaku itu, dulu ketika mereka semua masih kecil aku mengendongnya sembil menyanyikan lagu di teras rumah, sekarang anak-anak itu tiada kabar, sungguh pak, aku merindukan mereka."

Setelah curhatan isi hati istri Maman itu tersampaikan, mereka berpeluk satu sama lain untuk saling menguatkan. tak lama kemudian ada beberapa orang di depan teras rumah Maman sambil mengulur salam,

"Assalamualikum,,,"

Maman pun segera beranjak dari dalam rumah untuk menengok orang yang mengucapkan salam itu.

"Wa'aalaikum salam,, siapa?"

Maman melihat dan mencermati beberapa orang di luar itu, ternyata itu adalah orang yang bersimpangan dengan Maman pada saat pulang tadi.

"Benar ini rumah bpk Maman?"

Tanya salah satu perwakilan orang di situ.

"Iya benar,, ada yang bisa saya bantu?"

Mendengar ucapan Maman sperti itu, sontak semua pria yang ada di situ berjalan cepat dan memeluk Maman satu per satu dan berkata.

"Pak, kami anakmu..."

(Ajaran yang ditekankan oleh Maman adalah segala sesuatu secara hakikat adalah kehendak Tuhan, ketetapan Tuhan, dan keputusan Tuhan yang sudah dipertimbangkan. Dalam ajaran tasawuf masuk ke maqom dasar, yakni syukur, ridho, ikhlas) 

**Tamat***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun