Seorang rekan yang turut bertakziah mengatakan bahwa sebenarnya para keluarga korban sudah ikhlas dengan kejadian ini meski tagar usut tuntas terus disuarakan.Â
Banyak yang sudah melepas kepergian sanak saudaranya agar bisa menghadap Sang Kuasa dengan tenang. Namun, ada satu ganjalan yang bisa jadi akan membuat luka para keluarga korban kembali menganga.
Tak lain, dengungan para buzzer yang hingga kini sering terdengar seolah menyudutkan korban. Mulai dari gara-gara ulah Aremania yang rusuh, mengapa membawa anak kecil ke stadion, dan berbagai alasan lain yang tak memberikan satu pun empati pada keluarga korban.
Sehari setelah kejadian, status FB saya dipenuhi oleh mereka yang bermain dengan analisisnya masing-masing dengan tujuan satu: menyudutkan korban Tragedi Kanjuruhan. Jujur, saya sempat sedikit marah dengan mengumpat dalam Bahasa Malangan mengenai nirempati yang mereka lakukan. Bagaimana bisa, dengan kondisi semacam ini mereka tega berbuat seperti itu?
Saya tidak tahu, bagaimana rasanya menjadi keluarga korban langsung jika mendengar analisis ngawur mereka. Bagaimana bila seorang ibu yang kehilangan anaknya mengetahui malah ia disalahkan atas apa yang sudah terjadi. Kadang, saya pun berpikir kok susah sekali sebentar saja tidak melakukan kegiatan buzzering demi kemanusiaaan.
Untung saja, berbagai fakta terbuka, terlebih setelah Washington Post mengemukakan analisis mendalam bahwa lebih dari 40 amunisi ditembakkan, gas air mata, flash bang, dan flare oleh polisi.Â
Tembakan tersebut diarahkan tepat ke penonton yang berada di tribun bagian selatan stadion (tribun 11, 12, 13). Analisis apik dari media terkemuka internasional ini kemudian membungkam para buzzer yang sebelumnya bersuara seolah tragedi ini murni berasal dari Aremania.