Mohon tunggu...
Ikmal Trianto
Ikmal Trianto Mohon Tunggu... Mahasiswa - Setengah mahasiswa setengah pekerja

Tukang nulis amatiran

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mengenal Perspektif Pedagogi Kritis dan Perkembangannya

19 Maret 2022   13:33 Diperbarui: 5 Januari 2023   22:24 6227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PENDAHULUAN

Pendidikan merupakan upaya yang dilakukan untuk memanusiakan manusia. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik. Pengertian lainnya mengenai pendidikan dalam Undang Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Menurut Syah (2003), pendidikan dapat diartikan sebagai sebuah proses dengan metode-metode tertentu sehingga orang memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan cara bertingkah laku yang sesuai dengan kebutuhan.

Untuk mencapai tujuan dari pendidikan, diperlukan sebuah komponen pendidikan yang mampu menunjang dan mencakup jalannya dari proses pendidikan sebagai suatu rancangan, pedoman pelaksanaan dan bentuk evaluasi terhadap keseluruhan sistem yang berlangsung. Sehingga tujuan tersebut akan menjadi sebuah rancangan yang signifikan untuk menjawab harapan dan tantangan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi.

Salah satu komponen yang menjadi bagian inti yang menunjang jalannya proses pendidikan adalah kurikulum. Kurikulum merupakan komponen utama dari proses penyelenggaraan pendidikan. Kurikulum berfungsi sebagai pedoman pelaksanaan dari keseluruhan kegiatan pembelajaran. Indonesia sendiri telah mengalami perubahan kurikulum, di antaranya kurikulum 1947, 1964, 1968, 1973, 1975, 1984, 1994, 1997, 2004, 2006, dan terakhir 2013 (Muhammedi, 2016).

Perubahan kurikulum yang dari bentuk stagnan menjadi komponen fleksibel memiliki tujuan untuk menyesuaikan dengan kebutuhan pembelajaran. Dinamika yang terjadi pada dunia pendidikan dengan tantangan zaman yang berbeda-beda, mengharuskan adanya upaya untuk mengembangkan kurikulum menjadi suatu bentuk yang lebih disempurnakan. Menurut Sukiman dalam (Ritonga, 2018), pengembangan kurikulum pada dasarnya adalah proses yang dimulai dari kegiatan menyusun kurikulum mengimplementasikan, mengevaluasi, dan memperbaiki sehingga diperoleh suatu bentuk kurikulum yang dianggap ideal. Ada sejumlah faktor yang dipandang Soetopo dan Soemanto dalam (Muhammedi, 2016), yang dapat mendorong terjadinya perubahan kurikulum tersebut, yaitu: (1) bebasnya sejumlah wilayah tertentu di dunia ini dari kekuasaan kaum kolonialis. (2) Perkembangan IPTEK yang pesat, serta (3) pertumbuhan penduduk dunia. Dengan bertambahnya jumlah penduduk, maka makin bertambah pula jumlah orang yang membutuhkan pendidikan.

Dalam dunia pendidikan terdapat istilah pedagogi. Kata pedagogi sendiri berasal dari bahasa Yunani, "paidos" yang berarti "anak" atau "memimpin". Dengan demikian, pedagogi dapat dimaknai sebagai tindakan yang dilakukan untuk memimpin anak. Dengan kata lain pedagogi merupakan metode atau cara-cara yang dilakukan dalam kegiatan pengajaran. Metode mengajar merupakan salah satu komponen penting yang terdapat dalam kurikulum, yang telah distandarisasikan sesuai PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Sehingga, pengajar harus memiliki standar yang sama dalam penyetaraan pendidikan secara nasional. Orientasi pengajaran sangat bergantung pada kurikulum yang diberlakukan. Namun, banyak yang menilai bahwa kurikulum pendidikan di Indonesia itu sendiri lebih mengarah pada arah stagnan dan bersifat statis. Kecenderungan tersebut mengarahkan pembelajar pada nilai materialitas. Bentuk nilai tersebut akan mengesampingkan nilai mentalitas dan sikap kritis sebagai bentuk output yang diharapkan. Padahal semestinya pembelajar memiliki sikap kritis sebagai bentuk kesadaran pada fenomena dan tantangan zaman. Perlunya pemahaman dalam perspektif yang masuk akal serta didasari oleh kemampuan berpikir serta bentuk kepekaan sosial akan membawa perubahan dalam kegiatan bermasyarakat.

Sebagai contoh studi kasus, anak usia prasekolah secara umum memiliki rasa keingintahuan yang tinggi dan kebebasan berpikir serta kemampuan berimajinasi yang tinggi. Hal tersebut tentu didasari oleh bentuk-bentuk interaksi sosial yang belum dikenalinya. Penelitian ilmiah menjelaskan bahwa kemampuan anak-anak usia tersebut cenderung menangkap dan menstimulus respon berdasarkan fenomena dan pengetahuan yang dialaminya. Namun, respon yang sama tidak akan terjadi pada saat anak usia sekolah. Kemampuan kognitif menerima respon anak akan berbeda sebelum dan sesudah masa usia sekolah. Kemampuan berpikir kritis pada anak usia berkembang akan berjalan dengan dukungan sarana dan prasarana komponen pendidikan. Kemampuan berpikir kritis tidak hanya akan didapati oleh proses belajar di institusi pendidikan formal, seperti yang umum terjadi pada dewasa sekarang ini. Tetapi, kemampuan tersebut juga akan terjadi berdasarkan kejadian-kejadian tertentu yang terjadi pada lingkungan sosial masyarakat.

Untuk itu, sudah semestinya kurikulum mencakup aspek yang mendasari pada bagaimana ketercapaian tujuan pendidikan itu meliputi pada hasil mengenai pembelajar yang mempunyai sikap kritis, tetapi tidak apatis. Kurikulum 2013 menekankan fungsi kurikulum sebagai sebuah proses pada aspek berpikir kritis yang diwujudkan dalam tindakan nyata dengan membangun kolaborasi antar pelaku pendidikan, baik itu guru, siswa dan juga pengelola. Tentu hal tersebut akan menjadi suatu proses yang sangat panjang, dengan tanpa adanya campur tangan politik yang dapat mengubah perspektif pada tujuan yang menjadi dasar tersebut. Masyarakat tentunya harus mengawal proses penyelenggaraan kurikulum, sehingga hal yang menjadi tujuan pendidikan sebagaimana yang tertera dalam pembukaan alinea undang-undang dapat tercapai.

PERKEMBANGAN PEDAGOGI KRITIS

Pedagogi kritis merupakan sebuah teori filsafat pendidikan yang menerapkan konsep teori kritis yang berhubungan dengan bidang pendidikan dan studi budaya. Dalam perspektif teori pedagogi kritis mengajar merupakan sebuah tindakan politik, menolak netralitas pada pengetahuan, dan memilih sikap bahwa isu-isu sosial dan demokrasi itu sendiri tidak berbeda dari tindakan belajar dan mengajar. Tujuan pedagogi kritis adalah upaya pembebasan dari tindak penindasan melalui munculnya kesadaran kritis. Kesadaran kritis dapat mendorong invidu untuk membawa perubahan melalui kritik sosial dan aksi dalam politik. Pedagogi Kritis merupakan pendekatan pembelajaran yang berupaya membantu murid mempertanyakan dan menantang dominasi serta keyakinan dan praktik-praktik yang mendominasi (Sudirman P, 2019). Menurut Kincheloe dalam (Aliakbari dan Faraji, 2011) kajian ini berkaitan dengan transformasi relasi kekuasaan yang mengarah terhadap masyarakat sebagai suatu penindasan. Teori ini berkaitan dengan gagasan tentang masyarakat berada pada tataran kendali politik, ekonomi, dan budaya dalam kehidupannya.

Konsep pedagogi kritis didirikan oleh beberapa tokoh pendidikan terkemuka, salah satunya adalah Paulo Freire dengan bukunya The Pedagogy of the Oppressed (Pedagogi Kaum Tertindas). Freire merupakan soerang profesor di bidang sejarah dan filsafat pendidikan di salah satu universitas terkemuka di Brasil. Freire dilahirkan dalam keluarga kelas menengah di Recife, Brasil. Ia mengalami rentetan peristiwa kemiskinan dan kelaparan pada masa Depresi Besar tahun 1929, sebuah pengalaman kelam yang membentuk rasa keprihatinannya terhadap kaum kelas bawah. Karya-karya Freire selalu mengarah pada penolakan isu radikal yang mengaitkan dengan keadaan masyarakat berdasarkan pembagian kasta sosial.

Freire sendiri jarang menggunakan istilah "pedagogi kritis" untuk menggambarkan jenis filosofi yang digagasnya. Ia justru berkonsentrasi dengan menumbuhkan kesadaran membaca pada orang-orang dewasa di Brasil, untuk kemudian diharapkan dewasa ini mampu menganalisis berbagai permasalahan sosial dan pendidikan. Menurutnya, pendidikan memerlukan implementasi dalam berbagai praktik dan proses yang bertujuan tidak hanya menciptakan lingkungan belajar, tetapi juga perubahan dunia yang lebih baik. Pedagogi kritis berkaitan dengan strategi-strategi instruktif yang diatur oleh pengetahuan pembelajar melalui latar belakang dan pengalaman, situasi, dan lingkungan, serta tujuan pembelajaran yang ditetapkan oleh pembelajar dan pengajar (Sudirman P, 2019).

Pedagogi kritis mengeksplorasi keterkaitan dialogi antara mengajar dan belajar. Dalam pedagogi kritis terdapat suatu proses yang berkesinambungan yang disebut "unlearning -- belajar -- belajar kembali -- refleksi -- evaluasi". Dari proses tersebut diharapkan pembelajar mampu merespon tindakan dari proses belajar. Teori kritis Freire mencoba mengubah orang-orang yang tertindas dan menyelamatkan mereka dari objek pendidikan menjadi subjek otonomi dan emansipasi mereka sendiri. Dalam pandangan ini, siswa mampu bertindak dengan cara yang memungkinkan mereka untuk mengubah masyarakat melalui pendidikan yang bersifat emansipatoris (Aliakbari dan Faraji, 2011).

Melalui masalah pendidikan yang berkaitan dengan tantangan zaman, siswa dituntut untuk belajar dan menyadari permasalahan tersebut dengan pemikiran kritis serta mengembangkan kesadaran untuk mengambil tindakan yang diperlukan dalam penyetaraan keadilan. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Kessing-Styles dalam (Aliakbari dan Faraji, 2011), teori kritis merupakan respon pendidikan terhadap ketidaksetaraan dan hubungan kekuasaan yang menindas yang ada di lembaga pendidikan.

Paulo Freire menyemangati kritik terhadap model pendidikan sistem bank yang dominan mengarah pada proposal demokratis pada pendidikan problem-posing mengenai peran laki-laki dan perempuan untuk dapat mengembangkan kekuatan mereka dalam melihat secara kritis tentang pandangan hidup mereka, serta merealisasi peran bukan sebagai realitas yang statis, tetapi sebagai realitas dalam proses transformasi.

Selain Paulo Freire, pendiri teori kritis lainnya adalah Henry Giroux, ia adalah tokoh teori kritis yang berasal dari Amerika Serikat. Di dalam pedagogi kritis, Giroux mengaitkan pendidikan, budaya, politik, media dengan kajian teori kritis. Kajian pedagogi kritis merupakan bentuk pemikiran yang berkembang untuk menyelami fenomena sosial kritik, yang didasari dari teori pendidikan. Bagi Giroux, pendidikan bukan hanya membantu peserta didik untuk menemukan pekerjaan, tetapi juga terlibat di dalam proses pembentukan masyarakat demokratis secara menyeluruh (Wattimena, 2018). Demokrasi dapat terbentuk dengan adanyaa sistem pendidikan yang membantu masyarakat untuk mendalami suatu hal dengan cara pandang kritis, bentu refleksi dan dengan memperluas wawasan, sehingga dari hal tersebut dapat tercipta bentuk tanggung jawab sosial terhadap individu. Giroux mendesak para pendidik agar mengembangkan bahasa pengharapan melawan neoliberalisme dan orang-orang yang terus melawan demokrasi. Para siswa tidak hanya belajar demokrasi, lebih daripada itu mereka berpartisipasi di dalam demokrasi melalui berbicara dan belajar bahasa demokrasi dan kemudian menggunakannya. Hal penting yang ingin ditegaskan oleh Giroux adalah fakta bahwa demokrasi itu belum selesai, itu adalah proyek yang terus-menerus ada dan pendidikan adalah bagian integral dari proyek tersebut (Dami, 2019).

Pendidikan kritis menekankan pada pentingnya perancangan sebuah kurikulum yang akan digunakan. Menurut Apple dalam Oklidiana dan Tajri (2020), kurikulum tersebut bukan hanya sekedar sebuah pencapaian akademik semata, tetapi merupakan sebuah landasan dari aspek epistemologis, ideologis, ekonomis, estetika, etis, historis dan teknis. Pada dasarnya, pendidikan kritis menjadi suatu dasar untuk penciptaan lembaga pendidikan yang menjadi wadah yang dapat memberdayakan dan mengembangkan masyarakat itu sendiri. Seringkali, pendidikan kerap kali jatuh pada birokasi dan formalisme agama yang membunuh kebebasan dan kreativitas (Wattimena, 2018).

Dinamika perubahan kurikulum yang didasari oleh kepentingan politik menjadi satu hambatan yang dapat menggeserkan tujuan pendidikan itu sendiri. Filosofi kurikulum yang berbeda, merupakan tantangan tersendiri pada perkembangan aspek kognitif peserta didik. Menurut Sulthon (2014), setidaknya ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam pengembangan kurikulum oleh satuan pendidikan, yaitu kepentingan peserta didik, kondisi satuan pendidikan dan masyarakat serta peranan para pengembang kurikulum terutama guru. Ketiga komponen tersebut harus saling berperan dan memiliki keterkaitan dalam menerima fleksibilitas dan metode pendidikan untuk berkembangnya gaya pendidikan dengan menekankan aspek teori kritis.

Dalam pandangan McLaren, pendidikan kritis secara revolusioner menggunakan dunia secara reflektif untuk mewujudkan praxis transformasi pengetahuan melalui kritik epistemologis. Kritik epistemologis bertujuan bukan hanya untuk membongkar representasi-representasi pengetahuan, tapi juga untuk mengeksplorasi bagaimana dan mengapa produksi pengetahuan representasi itu terjadi. Dengan kata lain, pendidikan kritis tidak hanya meneliti isi pengetahuan tapi juga metode produksinya. Melalui kritik epistemologis tersebut, Mclaren sebenarnya mengidealkan produksi pengetahuan yang dapat diperankan oleh baik peserta didik maupun pendidik bersama-sama (Waseso, 2016).

Sistem Bank

Meskipun telah berkembang pada beberapa metode dan perubahan kurikulum, pendidikan zaman modern sekarang masih menerapkan konsep kurikulum subyek akademik. Kurikulum ini lebih menekankan materi yang bersumber dari disiplin ilmu (Sulthon, 2014). Kurikulum ini menjelaskan bahwa belajar merupakan proses mendapatkan ilmu dengan sebanyak-banyaknya. Sehingga, muncul istilah konsep belajar sistem bank.

Konsep pendidikan "sistem bank" membatasi kebebasan peserta didik dan memasukan pengetahuan secara paksa kepada siswa (Iko, 2016). Freire (2005), menyebutkan dalam konsep pendidikan sistem bank, pengetahuan merupakan suatu anugerah yang diberikan oleh mereka yang menganggap dirinya berpengetahuan kepada mereka yang mereka anggap tidak mengetahui apa-apa. Mengasumsikan bentuk ketidaktahuan mutlak pada orang lain, dan mencirikan ideologi penindasan, serta meniadakan pendidikan dan pengetahuan sebagai proses pencarian. Guru menampilkan diri kepada murid-muridnya sebagai lawan, dengan menganggap mereka bodoh, maka guru membenarkan keberadaannya sendiri. Para murid seperti terasing dalam dialektika.

Pendidikan seharusnya dimulai dengan pemecahan dalam pertentangan antara guru dan murid, dengan mencari jalan keluar pada bentuk permasalahan diantara keduanya. Namun sebaliknya, pendidikan sistem bank menstimulasi bentuk pertentangan tersebut melalui sikap dan praktik bentuk penindasan. Dalam hal ini, guru dengan sistem gaya bank memiliki pandangan yang konservatif, dengan ciri sebagai berikut:

  • Guru mengajar dan murid diajarkan.
  • Guru tahu segalanya dan murid tidak tahu apa-apa.
  • Guru berpikir dan murid dipikirkan.
  • Guru bicara dan murid mendengarkan.
  • Guru disiplin dan sedangkan murid didisiplinkan
  • Guru memilih dan memaksa pilihanya serta murid menurutinya.
  • Guru bertindak dan murid membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan gurunya.
  • Guru memilih apa yang akan diajarkan dan murid menyesuaikannya.
  • Guru mengacaukan wewenang ilmu pengetahuan dengan wewenang profesionalismenya dan menentangnya dengan kebebasan.
  • Guru adalah subjek proses belajar dan murid merupakan objek

Paulo Freire dalam Mabruroh (2015), menjelaskan ide-ide pendidikan kritis dengan ciri sebagai berikut. Pertama, pedagogik yang dikemukakan haruslah bersifat pendidikan yang membebaskan. Kedua, pedagogik yang otentik adalah tindakan kultural yang politis. Ketiga, pendidikan tradisional menerapkan metode bank. Prinsip ini sudah sangat terkenal, yaitu suatu cara mendidik atau mengisi fakta-fakta yang harus dihafal oleh peserta didik seperti layaknya suatu bank. Keempat, pendidikan dialogis adalah pendidikan yang menantang masalah-masalah.

Pemikir teori kritis percaya bahwa tujuan-tujuan ini dipenuhi hanya melalui pembebasan orang-orang tertindas yang memberdayakan mereka dan memungkinkan mereka untuk mengubah kondisi kehidupan mereka. Ini sebenarnya adalah titik awal untuk pedagogi kritis. Perhatian utama dalam perspektif pedagogi kritis adalah mengkritik sekolah di masyarakat kapitalis, dengan tujuan meningkatkan kesadaran dan penolakan terhadap pelanggaran dan diskriminasi.

Pengetahuan rasional seharusnya menjadi sesuatu yang menyentuh realitas secara intelektual, untuk dikejar demi kepentingannya sendiri dan dengan tepat untuk diakhiri dalam wawasan teoretis murni, bukan direndahkan oleh penerapan dalam perilaku. Secara sosial, perbedaan tersebut sesuai dengan kecerdasan yang digunakan oleh kelas pekerja dan yang digunakan oleh kelas terpelajar yang jauh dari perhatian pada sarana hidup (Dewey, 2001).

Ruang Kelas

Pemahaman konteks berpikir kritis dimulai dari ruang kelas, sebagai bagian dari proses pembelajaran. Interaksi guru dan murid dalam kelas menjadi suatu dasar tercapainya tujuan dari pendidikan. Dalam kegiatan pembelajaran, metode pembelajaran yang dipilih menentukkan perubahan peran murid. Murid merupakan objek pendidikan yang harus diubah menjadi subjek dengan karakteristik yang harus dimiliki aktif serta mampu berpikir kritis. Dengan mengubah komponen dan perspektif pendidikan dari bentuk kondisional kehidupan sehari-hari, para murid diharapkan dapat mengubah sesuatu yang berbeda pada dirinya.

Peran guru menjadi hal yang penting dalam proses pembentukan karakter murid tersebut dalam memisahkan penerimaan tanpa syarat pada kondisi keberadaan mereka sendiri. Guru menurut Freire adalah seorang yang berada dalam lingkungan proses pendidikan demokratis mempunyai kepercayaan kepada siswa sebagai indvidu yang tidak hanya mampu mendiskusikan masalah, tetapi juga mampu mengatasi masalah. Gurupun belajar melalui dialog dengan siswa. Tak ada seorang mengajar yang lain, dan juga tidak ada yang mengajar diri sendiri. Jadi, fungsi guru di sini adalah sebagai fasilitator bagi siswanya untuk memahami realitas dan dirinya (Sopyan, dkk., 2020).

Setelah tahapan tersebut, maka siswa memiliki perspektif yang berbeda dalam menghadapi tantangan perkembangan zaman. Menurut Hall dalam Ali Akbari dan Faraji (2011), bentuk teori dan pengajaran pembelajaran yang diberikan di dalam kelas dapat difokuskan pada konteks sosio-historis dan politik yang lebih besar sebagai suatu identitas sosial bagi penggunanya.

Pembelajaran yang sifatnya transformatif di dalam kelas dapat melibatkan bentik perubahan perspektif. Teori kritis menekankan pada peningkatan kesadaran, tetapi inti pembelajaran transformatif adalah perubahan yang mendalam pada perspektif inti individu dan pandangan dunia yang pada akhirnya membentuk aktivitas dan perilaku (Wang, 2019). Menurut Mezirow dalam Wang (2019), refleksi kritis yang mengarah pada pembelajaran transformatif didasarkan pada standar rasionalitas dan wacana, dan pemikiran kritis dengan demikian "pemikiran berprinsip, idealnya, itu tidak memihak, konsisten dan tidak sewenang-wenang". Mezirow tidak menganggap pembelajaran transformatif bersifat statis dan selalu mengarah pada tindakan emansipatoris sosial. Sebaliknya, Mezirow tertarik pada perspektif individu yang terlibat dalam pembelajaran transformatif.

Pembelajaran ruang kelas mengarahkan pada pendidikan tujuan yang menantang sikap apatis dan penerimaan pasif konten dekontekstual melalui proses penciptaan diri kita sendiri. (Green dalam Muro, 2012). Pembelajaran seni memungkinkan para murid untuk dapat melihat dirinya sendiri lebih baik dibandingkan kontekstual oleh buku teks. Seni yang menarik membuat siswa keluar dari hal yang biasa, tidak menerima begitu saja, dan memaksa mereka untuk bertindak. Seni tidak dapat diprediksi dan menolak hasil yang dapat diprediksi dan diukur yang disesuaikan dengan kompetensi teknologi dan ekonomi. Dibandingkan mendorong siswa untuk menjadi penerima informasi yang pasif, para murid harus aktif dilibatkan untuk membuat konsep ide-ide baru. Seni yang melibatkan kritis mengajarkan murid untuk melakukannya. Guru berperan bukan untuk memberi tahu siswa apa yang penting, tetapi membiarkan mereka memutuskan apa dianggap yang penting.

Kurikulum

Selain metode, suatu kurikulum yang menjadi pedoman pendidikan merupakan bentuk dasar dalam proses pengembangan pedagogi kritis ini. KessingStyles dalam Ali Akbari dan Faraji (2011) menegaskan kajian pedagogi kritis mencakup pemahaman kurikulum sebagai teks politik yang terletak pada kritik sosial dan politik pada kehidupan sehari-hari.

Apple dalam Brown (2011) menuturkan bahwa masalah dasar sebagai pendidik dan sebagai makhluk politik adalah untuk mulai bergulat dengan bentuk pemahaman, bagaimana sumber daya budaya dan simbol yang dipilih dan diatur sekolah secara dialektis terkait dengan jenis kesadaran normatif dan konseptual yang dibutuhkan oleh masyarakat bertingkat. Melalui tulisannya Apple selalu didorong untuk membaca teks masyarakat secara produktif dan kritis. Proses penyampaian pengajaran di sekolah harus dipandang sebagai bentuk politik, kurikulum bersama dengan perwakilannya, teks, dan hubungan sosial yang dibebankan. Sekolah tidak akan pernah terbebas dari nilai, tetapi bagian dari pengalaman.

Freire menyatakan sesuatu yang penting terkait hal tersebut adalah para pendidik membutuhkan sebuah praktik pendidikan politik yang serius dan kompeten yang dapat merespons pandangan baru sistem persekolahan (Sudirman P, 2019). Dalam konteks pedagogi kritis proses pendidikan tidak hanya berhenti pada hal yang berkaitan dengan teknis pengajaran seperti perencanaan instruksional, pembelajaran dan kurikulum, melainkan mengarah pada pengertian bahwa pedagogi dikonstruksikan secara sosial dan merupakan bagian dari proses dan praktek budaya tertentu.

Bentuk umum kurikulum di sekolah-sekolah adalah bentuk yang bersifat sentral dan mengaitkan dengan satu komponen yang dianggap benar. Freire ingin mengubah bentuk kurikulum tersebut menjadi desentralisasi, yang mencerminkan dengan segala keterkaitan komponen pendidikan yang dinamis dan otonom. Pedagogi kritis lebih dari sekedar metode kering yang biasanya digunakan di dalam penelitian dan pendidikan. Di dalam paradigma pendidikan semacam ini, peserta didik dilihat sebagai robot-robot patuh yang siap diperintah untuk mengejarkan sesuatu. Soal-soal keadilan sosial, nilai, etika dan hubungan kekuasaan di dalam masyarakat dijauhkan dari model pengajaran dan kurikulum pendidikan (Wattimena, 2018).

PERKEMBANGAN PEDAGOGI KRITIS DI INDONESIA

Pedagogi kritis di Indonesia diinisiasi oleh tokoh Pendidikan Ki Hadjar Dewantara. Beliau mengkritik proses pendidikan yang diselenggarakan Belanda. Menurutnya proses pendidikan pada masa tersebut lebih mengedepankan nilai intelektual semata. Proses pendidikan pada saat itu tidak bertujuan untuk menyadarkan siswa terhadap realitas sosial pada masa penjajahan. Tetapi Pendidikan hanya dijadikan sebagai alat politik Belanda untuk mempekerjakan masyarakat pribumi dengan upah yang murah.

Sama halnya dengan Freire yang mengkritik pendidikan sistem bank, Ki Hadjar Dewantara mendirikan Taman Siswa yang kemudian dikenal sebagai Tamsis dengan tujuan memerdekakan pendidikan bagi siswa. Tujuan didirikannya taman siswa tersebut adalah mengembangkan masyarakat pribumi yang berkembang dan peduli akan pendidikan berdasarkan nilai kultur dan norma sebagai identitas bangsa. Kolonialisasi yang dialami masyarakat Indonesia oleh Belanda dipengaruhi situasi politik yang ada. Oleh karenanya, perlawanan tidak hanya dilakukan melalui jalur politik semata, melainkan melalui perjuangan pada instansi pendidikan untuk menciptakan generasi yang menyadari tentang pentingnya kemerdekaan. Hakikat kemerdekaan tersebut adalah melawan idealism penajajahan sebagai reaksi dari bentuk kebebasan manusia.

Salah satu tujuan kemerdekaan bangsa Indonesia seperti yang dijelaskan oleh Siswanto (2015) dalam konstitusi adalah kesejahteraan, merupakan artian lahir dan batin atau keseimbangan antara human well being dan economic well being. Pendidikan, melalui pembangunan manusia menjadi feeder bagi strategi dan kebijakan bidang lain seperti pertahanan dan keamanan, ekonomi, dan kesejahteraan. Oleh karena itu, pemikiran kritis terhadap pendidikan Indonesia adalah sebuah kemutlakan seiring perkembangan peradaban Indonesia. 

Pedagogi kritis di Indonesia dikaitkan dengan implementasi pada pendidikan karakter dalam kurikulum 2013. Tujuan pengembangan kurikulum 2013 adalah untuk mewujudkan pribadi yang berilmu, cakap, kreatif dan inovatif dan mengedepankan kompetensi kemampuan berpikir jernih dan kritis. Pembelajaran dalam kurikulum 2013 mengedepankan dan membiasakan siswa untuk tidak hanya mampu berpikir secara kritis, berbeda dengan kurikulum sebelumnya yang hanya mengarahan pada konsep mekanistis saja. Materi pembelajaran diajurkan untuk memperkaya sesuai kebututuhan kebutuhan siswa agar tercapainya tujuan untuk siswa mampu berpikir kritis dan memiliki daya analisis yang disesuaikan dengan standar internasional. Selain memiliki kemampuan analisis dan proses berpikir kritis, diharapkan siswa memiliki kemampuan logika untuk memecahkan permasalahn sosial. Dalam kurikulum 2013 ini siswa juga diberikan wawasan dalam berkehidupan secara sosial masyarakat dan bernegara serta agama sebagai pedoman dalam membentuk siswa yang memiliki karakter.

Ki Hajar Dewantara bukanlah satu-satunya tokoh pendidikan kritis nasional. Namun, banyak pula para pedagogi kritis, di antaranya adalah Tan Malaka, KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asyari, Mansour Fakir, Yb. Mangunwijaya, Toto Raharjo, Roem Topatimasam, Soedjatmoko, H.A.R. Tilaar (Sukri, dkk. 2016).

PENUTUP

Teori kritis merupakan salah satu disiplin ilmu filsafat yang melibatkan sikap kritis terhadap pandangan masyarakat sosial. Teori kritis dalam pendidikan mempertanyakan tentang sistem pendidikan dapat menawarkan pendidikan terbaik kepada semua orang tanpa memandang etnis, ras, agama dan kelas sosial. Pendidikan kritis menawarkan kesempatan dan pemahaman perspektif yang berbeda dari anggota masyarakat berdasarkan kelas sosial bawah. Pedagogi kritis mengajarkan peserta didik untuk sadar pada otokrasi kondisi sosial. Di ruang kelas, pedagogi kritis mendorong terhadap hubungan interaksi siswa dan guru mengenai bentuk pemberian informasi guru kepada siswa dan siswa adalah penerima manfaat pasif dari informasi guru. Tujuan dari pedagogi kritis adalah untuk menciptakan masyarakat yang lebih egaliter yang mampu mengidentifikasi bentuk penyimpangan sosial dan perubahan situasi tertentu melalui pendidikan. Selain itu, kurikulum yang digunakan bersifat fleksibel dan menekankan pada diskusi melalui pengalaman dan pendapat mengenai peristiwa sosial. Hal tersebut akan menguntungkan siswa untuk dapat berbagi pemikiran dan pengalaman mereka.

REFLEKSI

Kebebasan dan pergerakan dalam bentuk kritik belum tentu termasuk pada konsep baik. Salahsatu bentuk tindakan ekspresif dari kajian pedagogi kritis ialah kudeta yang dilakukan terhadap pemerintahan diktator Khadafi di Libya yang telah menjabat selama 41 tahun ataupun yang terjadi di Indonesia semasa pemerintahan Soeharto yang telah menjabat selama 32 tahun dengan hasil pergejolakan yang didapati berupa masa reformasi. Pergerakan-pergerakan sosial tersebut merupakan bentuk dari pemahaman berpikir kritis pada situasi sosial yang dihadapi dan dirasakan oleh masyarakat. Masyarakat menilai adanya penyimpangan pada aturan sosial, dengan hanya mengedepankan kelompok tertentu sebagai suatu bagian yang diuntungkan. Sementara kelas sosial lainnya mengalami penderitaan terhadap bagian dari sistem yang diberlakukan.

Pemahaman kritis merupakan satu hal yang penting untuk ditanamkan pada setiap individu melalui lingkungan pendidikan. Sekolah merupakan bagian intim dari penerapannya sikap kritis, selain keluarga yang menjadi bagian primer dalam penguatan nilai-nilai pemahaman kritis. Terdapat pergeseran orientasi yang perlu dibenahi adalah pemahaman kajian ini. Sekolah bukanlah tempat individu yang dipersiapkan sebagai bagian dari perjalanan yang kompetitif, tetapi merupakan tempat untuk membentuk sikap dan cara berpikir individu terhadap norma sosial.

Setiap orang tua atau guru tentu akan membanggakan individu yang memperoleh nilai akademis yang tinggi, lulusan terbaik yang mampu bekerja di instansi pemerintahan dengan gaji yang tinggi. Tanpa pemahaman dilandasi pemahaman kritis dengan kehidupan sosial. Hal tersebut hanya akan menanamkan pemikiran konservatif dari setiap generasi. Kritis tidak hanya harus didefinisikan sebagai bentuk perlawanan, tetapi juga bentuk pemikiran untuk perubahan.

Aktualisasi dan pembenahan pada kurikulum serta perangkat komponen pendidikan lainnya bukanlah jalan utama dalam menanamkan nilai-nilai sosial sebagaimana tertuang dalam Pancasila. Yang terpenting adalah bagaimana seluruh komponen pendidikan, tidak hanya pemerintah terkait, tetapi juga seluruh masyarakat dapat duduk berdampingan serta bergotong-royong dalam menjalankan dan mensukseskan tujuan pendidikan untuk mengarah pada arus yang lebih baik lagi sesuai dengan amanah undang-undang.

Kita dapat belajar dari Jepang, pada saat Jepang dibombardir oleh bom nuklir, Kaisar Hirohito mempertanyakan jumlah guru yang selamat. Ia percaya untuk membangun kekuatan suatu bangsa bukanlah berawal dari kekuatan militer yang dimiliki suatu negara, melainkan pada bidang pendidikan. Pendidikan bersifat fundamentalis dalam membangun bangsa.

 

REFERENSI

Aliakbari, M & Faraji, E. (2011). Basic Principles of Critical Pedagogy. 2nd International Conference on Humanities, Historical and Social Sciences IPEDR, 17, 77-85.

Brown, D. (2011). Michael Apple, Social Theory, Critical Transcendence, and the New Sociology: An Essay. In Education, 17(2), 2-11

Dami, Z. A. (2019). Pedagogi Shalom: Analisis Kritis Terhadap Pedagogi Kritis Henry A. GIROUX DAN Relevansinya Bagi Pendidikan Kristen di Indonesia. Jurnal Filsafat, 29(1), 134-165, doi: 10.22146/jf.42315

Dewey, J. (2001). Democracy and Education. The Pennsylvania State University.

Freire, P. (2005). The Pedagogy of the Oppressed 30th Anniversary Edition. New York: Continuum. 

Iko, A. F. (2016). Ki Hadjar Dewantara Sebagai Pioner Pedagogik Kritis Indonesia. Diakses pada 20 Mei 2021 dari https://unjkita.com/ki-hadjar-dewantara-sebagai-pioneer-pedagogik-kritis-indonesia/

Mabruroh, A. F. (2015). Analisis Pendidikan Kritis Paulo Freire Pada Pemanfaatan Ekstrakurikuler Teater di Sekolah (Studi Kasus di Sma Negeri 3 Surakarta). Skripsi Pendidikan Sosiologi Antropologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sebelas Maret.

Muhammedi. (2016). Perubahan Kurikulum Di Indonesia: Studi Kritis Tentang Upaya Menemukan Kurikulum Pendidikan Islam Yang Ideal. Raudhah, 4(1), 49-70.

Muro, A. (2012). Pedagogies of Change: From Theory to Practice Andres Muro. International Journal of Critical Pedagogy, 4(1), 2-17.

Oklidiana, E. & Tajri, R. (2020). Teori Pendidikan Kritis. Makalah. Program Studi Pendidikan Agama Islam. Fakultas Agama Islam. Universitas Muhammadiyah Sidoarjo.

Ritonga, M. (2018). Politik Dan Dinamika Kebijakan Perubahan Kurikulum Pendidikan Di Indonesia Hingga Masa Reformasi. INA GOGIK, 5(2), 88-102.

Siswanto, A. (2015). Budaya dan Pedagogi Kritis di Indonesia. Diakses pada 21 Mei 2021 dari https://asiswanto.net/?page_id=347

Sopyan, A., dkk. (2020). Pemikiran Humanistik Dalam Pendidikan (Perbandingan pemikiran Paulo Freire dengan Ki Hajar Dewantara). Jurnal Al-Karim: Jurnal Pendidikan, Psikologi dan Studi Islam, 5(1), 67-87

Sudirman P. (2019). Pedagogi Kritis Sejarah, Perkembangan dan Pemikiran (Tinjauan Pemikiran Paulo Freire). JURNAL Pendidikan dasar dan Keguruan, 4(2), 63-72.

Sukri, dkk. (2016). Analisis Konsep Pemikiran Ki Hajar Dewantara Dalam Perspektif Pendidikan Karakter. Jurnal Civic Hukum, 1(1), 33-41

Sulthon. (2014). Dinamika Pengembangan Kurikulum Ditinjau Dari Dimensi Politisasi Pendidikan dan Ekonomi. Edukasia: Jurnal Penelitian Pendidikan Islam, 9(1), 43-72.

Syah, M. (2003). Psikologi Belajar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Wattimena, R. A. A. (2018). Pedagogi Kritis: Pemikiran Henry Giroux Tentang Pendidikan Dan Relevansinya Untuk Indonesia. Jurnal Filsafat, 28(2), 180-199, doi: 10.22146/jf.34714

Wang, V. X., Torrisi-Steele, G., Hansman, C. A. (2019). Critical theory and transformative learning: Some Insight. Journal of Adult and Continuing Education, 25(2) 234--251
doi: 10.1177/1477971419850837

Waseso, H. P. (2016). Pendidikan Kritis dan Rekonstruksi Kurikulum Madrasah. Wahana Akademika, 3(2), 111-120

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun