Suara Hati Suami Bag. 1 “Cinta Kang Ikin Tak Terucapkan”
Jam menunjukan pukul 21.49, hujan gemericik dari siang masih juga belum berhenti menambah suasana semakin dingin. Kang ikin yang biasanya tidak lepas dari HP, entah mengapa malam itu lebih memilih tiduran di kamar depan sambil menyalakan radio. Istri dan anaknya sudah terlelap dibalik selimut dari sehabis Shalat Isya. Ia tanpa sengaja menemukan catatan harian ketika masih muda di lemari buku bagian atas.
Dibukanya lembaran demi lembaran, dan tatapannya berhenti ketika dilihatnya photo buram seorang pemuda tinggi kurus dengan seragam putih abu penuh coretan. Itu photo dirinya ketika pelulusan dulu, pikirannya menerawang mengingat-ingat kejadian yang pernah dialaminya ketika sekolah 23 tahun silam.
***
Halaman sekolah sudah mulai sepi saat aku tiba di SMA tercinta pagi ini, tidak seorang pun bekeliaran di luar. Bahkan anak kelas lll IPA yang biasanya berkumpul di depan kelas hari ini tidak terlihat. Aku baru ingat hari ini jam pertama pelajaran Matematika, dan gurunya bu Evi yang kiler itu.
Tapi meskipun kata anak-anak kiler menurutku dia baik, dan yang paling penting pelajarannya bisa kuterima. Aku melangkahkan kaki tambah cepat, agar segera sampai di kelasku yang berada dideretan paling ujung. Benar saja dugaanku, bu Evi sedang berdiri di depan papan tulis sambil memegang penggaris. Aku mengetuk pintu sambil menganggukan kepala.
"Assalamualaikum, pagi buu, maaf terlambat." Kataku sesopan mungkin sambil menunduk.
"Walaikumsalam, ini sudah jam berapa?, niat sekolah gak sih, masa setiap pelajaran saya kamu terlambat."
Bu Evi bicara dengan nada tinggi sambil menatap tajam kearahku. Sejenak aku terdiam tidak berani menjawab, memang bu Evi benar aku sering terlambat pelajarannya, padahal kalau hari-hari lain aku jarang terlambat.
"Tadi di terminal angkutannya pada penuh bu, saya tidak kebagian tempat duduk." Kataku berusaha membela diri.
"Alahhh alasan, buktinya yang lain bisa datang lebih pagi, dasar kamunya saja yang selalu terlambat."
"Tapi rumah saya jauh bu, dua kali naik angkutan umum."
"Sudah-sudah, simpan tas kamu dan kerjakan tugasnya di depan."
Bu Evi mengakhiri pembicaraannya, dia memang kadang begitu terkesan galak, tapi nantinya juga biasa lagi. Tanpa bicara lagi aku menuju tempat duduku, dibarisan paling ujung kedua dari depan. Aku lebih suka duduk dibarisan depan dekat bangku guru, supaya terdengar jelas ketika sedang menerangkan.
"Emang enak kesiangan, kasian deh."
Wati temenku anaknya ibu kantin meledeku, dan aku tidak membalasnya hanya memonyongkan bibirku.
"Weeew."
Teman-teman yang lain hanya melirik, melihat tingkah aku dan Wati. Aku langsung menuju papan tulis tanpa membawa catatan tugas, karena memang tugasku belum dikerjakan.
"Nomor berapa bu yang belum?" Tanyaku pada bu Evi, sambil mengambil sepotong kapur tulis.
"Itu yang nomor lima, sekalian kamu gambar grafik fungsinya, ini penggarisnya."
Setelah memberikan penggaris bu Evi kemudian cuci tangan dan duduk di bangkunya. Aku mulai mengerjakan soal dengan teliti, dari cara penyelesaian sampai menggambar grafiknya, untungnya aku sudah menguasai materi itu. Teman-teman yang lain juga kadang dibuat bingung, aku yang sering terlambat dan jarang mencatat tapi ketika ulangan harian bisa menyelesaikan soal, meskipun tidak selalu dapat nilai sepuluh.
"Tet..tet..tet."
Bel berbunyi tiga kali tandanya jam istirahat, bu Evi merapihkan buku tugas anak-anak yang belum diperiksa dan menyuruhku untuk mengantarkan ke mejanya di kantor.
***
"Hehhhh...kok melamun."
Aku yang sedang merapihkan tas merasa kaget, pundakku ada yang menepuk dari belakang, ternyata Melya gadis berkerudung dengan mata yang bulat sedang menatapku.
"Eh kamu mel, bikin kaget saja."
"Kamu gak ke kantin?" Tanya Melya sambil berdiri di sampingku.
"Uangku tinggal seribu, nanti gak cukup buat ongkos nyampe rumah, kamu sendiri gak istirahat malah kesini?" Aku membereskan buku dan alat tulis, kemudian dimasukan ke tas di bawah meja.
"Males ah, mendingan nemenin kamu."
"Ya sudah, kita di depan yuk biar gak panas."
Tanpa menunggu jawaban, aku menuju keluar kelas dan duduk di bawah pohon mangga. Sementara Yanto, Wati, dan teman yang lain sudah keluar lebih dulu. Melya pun ikut keluar dan duduk di sampingku, tangannya memegang sebuah majalah 'Aneka Yes' keluaran minggu kemarin.
"Kata pak Isgentino, senin depan ujian lisan Bahasa Inggris."
"Kapan ngasih tahunya, Mel?"
"Tadi pagi sebelum pelajaran bu Evi, catatan kamu lengkap kan?"
"Boro-boro, ngerti saja nggak."
"Terus gimana dong, Bahasa Inggris kan ada EBTANASnya."
"Nanti pinjam punya Ririn saja, dia kan rajin mencatat."
Sejenak aku terdiam begitu juga Melya. Ku alihkan pandangan ke lapangan upacara, ada beberapa teman sedang bermain basket. Masih kuingat ketika pertama kalinya aku menginjakan kaki di sekolah ini, orangtuaku memaksa harus melanjutkan sekolah. Ketika itu aku tidak diterima di sekolah kejuruan, dan bersama beberapa teman akhirnya mendaftar di SMA ini walaupun sudah telat. Masa orientasi yang mengesalkan kulalui bersama teman-teman yang lain, dan aku mengenal Melya karena kelasku berdampingan dengan kelasnya.
"Gak terasa ya Mel, tahu-tahu sudah kelas tiga."
"Iya perasaan baru kemarin kita kelas satu, kamu melanjutkan kuliah kemana?" Melya menutup majalahnya dan melirik kearahku.
"Gak Mel ah, gak punya biaya, kamu tahu sendiri keadaanku kayak gimana, orangtuaku hanya buruh tani."
"Tapi kamu kan pintar, sayang loh."
"Emangnya cukup pakai otak saja Mel, kan harus punya persiapan biaya juga, aku kasihan sama orangtuaku, kamu sendiri mau kuliah dimana?"
"Gak tahu masih bingung, apa mendingan cari kerja saja kali yaa?"
Melya seolah-olah minta pendapatku tentang pilihannya, aku hanya mendesah tidak tahu apa yang harus diucapkan. Kuliah memang sebuah impian bagi setiap siswa yang sebentar lagi akan menamatkan pendidikannya di tingkat SMA, seperti keinginanku ingin melanjutkan kuliah keguruan. Namun keinginan itu harus ku kubur dalam-dalam, mengingat orangtuaku yang tidak mungkin mampu membiayainya.
"Aku beli minum dulu ya sebelum bel masuk, ini titip majalah sebentar." Melya menyodorkan majalah ‘Aneka Yes’ ke arahku.
"Ya sudah sana."
Jawabku sambil menerima majalah dari tangannya, Melya pun meninggalkanku menuju kantin yang sudah mulai sepi karena sebentar lagi jam istirahat habis.
Aku ikuti langkahnya dengan tatapanku, dia memang cantik pribadinya juga baik, matanya bulat membuatku gemas kalau bertatapan dengannya.
Selama ini persahabatan aku dan Melya begitu dekatnya, karena sejak kelas ll aku sudah satu kelas dengannya. Ke perpustakaan bareng,ke kantin bareng, kadang berangkat dan pulang pun bersama-sama jalan kaki. Bahkan pernah ketika pelantikan OSIS baru, aku dan dia ditugaskan bareng di Pos kedua sampai jam setengah satu malam.
Dan semakin dekatnya persahabatan kami, entah mengapa terkadang ada debaran-debaran aneh dalam hatiku, yang aku sendiri belum bisa mengartikannya. Aku merasa bahagia kalau lagi bersamanya, dan merasa kehilangan kalau dia tidak masuk karena sakit ataupun keperluan lainnya. Biarlah perasaan itu kusimpan rapat-rapat, jangan sampai ia tahu. Aku tak ingin merusak tali persahabatan yang sudah lama terjalin.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H