"Emangnya cukup pakai otak saja Mel, kan harus punya persiapan biaya juga, aku kasihan sama orangtuaku, kamu sendiri mau kuliah dimana?"
"Gak tahu masih bingung, apa mendingan cari kerja saja kali yaa?"
Melya seolah-olah minta pendapatku tentang pilihannya, aku hanya mendesah tidak tahu apa yang harus diucapkan. Kuliah memang sebuah impian bagi setiap siswa yang sebentar lagi akan menamatkan pendidikannya di tingkat SMA, seperti keinginanku ingin melanjutkan kuliah keguruan. Namun keinginan itu harus ku kubur dalam-dalam, mengingat orangtuaku yang tidak mungkin mampu membiayainya.
"Aku beli minum dulu ya sebelum bel masuk, ini titip majalah sebentar." Melya menyodorkan majalah ‘Aneka Yes’ ke arahku.
"Ya sudah sana."
Jawabku sambil menerima majalah dari tangannya, Melya pun meninggalkanku menuju kantin yang sudah mulai sepi karena sebentar lagi jam istirahat habis.Â
Aku ikuti langkahnya dengan tatapanku, dia memang cantik pribadinya juga baik, matanya bulat membuatku gemas kalau bertatapan dengannya.
Selama ini persahabatan aku dan Melya begitu dekatnya, karena sejak kelas ll aku sudah satu kelas dengannya. Ke perpustakaan bareng,ke kantin bareng, kadang berangkat dan pulang pun bersama-sama jalan kaki. Bahkan pernah ketika pelantikan OSIS baru, aku dan dia ditugaskan bareng di Pos kedua sampai jam setengah satu malam.Â
Dan semakin dekatnya persahabatan kami, entah mengapa terkadang ada debaran-debaran aneh dalam hatiku, yang aku sendiri belum bisa mengartikannya. Aku merasa bahagia kalau lagi bersamanya, dan merasa kehilangan kalau dia tidak masuk karena sakit ataupun keperluan lainnya. Biarlah perasaan itu kusimpan rapat-rapat, jangan sampai ia tahu. Aku tak ingin merusak tali persahabatan yang sudah lama terjalin.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H