"Kata pak Isgentino, senin depan ujian lisan Bahasa Inggris."
"Kapan ngasih tahunya, Mel?"
"Tadi pagi sebelum pelajaran bu Evi, catatan kamu lengkap kan?"
"Boro-boro, ngerti saja nggak."
"Terus gimana dong, Bahasa Inggris kan ada EBTANASnya."
"Nanti pinjam punya Ririn saja, dia kan rajin mencatat."
Sejenak aku terdiam begitu juga Melya. Ku alihkan pandangan ke lapangan upacara, ada beberapa teman sedang bermain basket. Masih kuingat ketika pertama kalinya aku menginjakan kaki di sekolah ini, orangtuaku memaksa harus melanjutkan sekolah. Ketika itu aku tidak diterima di sekolah kejuruan, dan bersama beberapa teman akhirnya mendaftar di SMA ini walaupun sudah telat. Masa orientasi yang mengesalkan kulalui bersama teman-teman yang lain, dan aku mengenal Melya karena kelasku berdampingan dengan kelasnya.
"Gak terasa ya Mel, tahu-tahu sudah kelas tiga."
"Iya perasaan baru kemarin kita kelas satu, kamu melanjutkan kuliah kemana?" Melya menutup majalahnya dan melirik kearahku.
"Gak Mel ah, gak punya biaya, kamu tahu sendiri keadaanku kayak gimana, orangtuaku hanya buruh tani."
"Tapi kamu kan pintar, sayang loh."