Perubahan sistem ekonomi feodal menuju sistem ekonomi kapitalis-kolonial pada masa penguasaan kolonial Belanda di Bogor, telah membuat masyarakat di Bogor khususnya kelompok petani dalam ketidakpastian dalam mempertahankan hidupnya. Ekonomi perkebunan disatu sisi, dan disisi lain ekonomi feodal yang masih dijaga oleh elite-elite lokal pedesaan di Bogor, telah mengikat petani untuk selalu berhadapan dengan beban kerja dan kewajiban-kewajiban tambahan. Pada masa penguasaan imperium militer Jepang, ternyata melebihi pada masa kolonial Belanda, khususnya dalam aspek eksploitasi sosial dan ekonomi. Harapan diawal-awal kemerdekaan sejatinya yang sempat meninggi, hilang manakala kekosongan pemerintahan di Jawa Barat, akibat peristiwa Agresi Militer Belanda I dan II. Kekosongan penguasa ini dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok anti Republik, dimana wilayah Jawa Barat, hingga hampir seluruh wilayah Bogor dikuasai oleh gerakan DI/TII pimpinan Kartosoewiryo. Konflik antara partai dengan partai maupun partai dengan kelompok militer menjadi semacam fenomena yang mengisi hari-hari kelompok petani dalam usaha mempertahankan hidupnya dalam periode tahun 1960-an
1. Landscape Geografis dan Situasi Ekonomi kota Bogor Awal Abad-20
Daerah Bogor, dengan kondisi geografis pegunungan dan tanah subur, menjadi tempat yang ideal untuk pengembangan produksi agraria seperti pertanian dan perkebunan. Geografi ini mendukung kota Bogor untuk memanfaatkan tanah sebagai alat produksi, yang pada gilirannya mempengaruhi pola pikir, perilaku, dan pandangan masyarakatnya. Bogor, bagian dari Tanah Sunda dan dulunya merupakan wilayah Kerajaan Pajajaran yang beragama Hindu, memiliki sejarah yang kaya dan luas. Secara antropologis, masyarakat Sunda terdiri dari mereka yang secara turun-temurun berbicara dalam bahasa Sunda dan berasal dari Jawa Barat, yang dikenal sebagai Tanah Pasundan.
Menurut Harsojo, masyarakat Sunda menggunakan bahasa Sunda dalam kehidupan sehari-hari. Tanah subur dengan perpaduan dataran rendah dan pegunungan memberikan hasil bumi yang melimpah, menjadikan identitas Bogor. Penguasa kolonial Belanda kemudian membangun Jalan Daendels untuk menghubungkan Bogor dengan daerah Priangan dan pesisir pantai.
Kondisi geografis yang subur, dengan banyaknya aliran sungai dan mata air, mendukung aktivitas ekonomi masyarakat yang berladang dan beternak. Eka Djati mencatat bahwa Bogor memiliki banyak gunung dan sungai jernih, yang memungkinkan warganya menjalankan berbagai aktivitas ekonomi.
Model produksi masyarakat Bogor mengedepankan kerjasama dalam pengelolaan tanah, di mana tanah dianggap sebagai titipan dari kekuatan yang lebih tinggi. Pengelolaan tanah di Jawa Barat sudah berlangsung sebelum kedatangan VOC, dengan kepemilikan yang bersifat turun-temurun, seperti yang tercermin dalam laporan survei Belanda tahun 1869.
Kepemilikan tanah di Bogor tidak hanya menjadi sumber ekonomi, tetapi juga meningkatkan status sosial pemiliknya. Penguasaan sumber produksi berkaitan erat dengan prestise sosial, dan status ini menjadi landasan stratifikasi sosial masyarakat Bogor. Dalam konteks ini, tanah menjadi simbol kekayaan utama, dan kepemilikannya sering kali mendefinisikan posisi sosial individu.
Stratifikasi sosial di Bogor, terpengaruh oleh nilai-nilai Hindu dan Islam, membentuk struktur masyarakat yang lebih teratur. Nilai-nilai ini, yang muncul dari interaksi dengan budaya luar, memberikan dampak signifikan terhadap kehidupan sosial dan budaya di Bogor. Sebelum kedatangan Hindu dan Islam, masyarakat sudah memiliki sistem nilai dan budaya sendiri yang dikenal sebagai budaya Wiwitan.
Interaksi sosial antara masyarakat Bogor dan luar Jawa Barat, terutama melalui jalur perdagangan dan pelayaran, menunjukkan adanya pertukaran budaya dan pengetahuan. Keberadaan kerajaan-kerajaan Hindu dan kemudian Islam mencerminkan dinamika sosial ini, dengan nilai-nilai baru yang diserap oleh masyarakat lokal.
Dalam masyarakat agraris seperti Bogor, nilai-nilai Hindu juga mempengaruhi stratifikasi sosial, termasuk konsep kasta. Kasta Brahmana dan Ksatria menjadi kelompok elit yang berwenang dalam pemerintahan dan peraturan sosial, sedangkan Waisya dan Sudra menjalankan tugas yang ditetapkan oleh dua kasta atas.
Ketika permintaan pasar internasional meningkat, Bogor mulai mengembangkan tanaman komoditi seperti teh. Daerah ini memiliki kondisi yang sangat baik untuk pertumbuhan teh, dan pada tahun 1648, tanaman teh dibawa ke Bogor oleh seorang Jerman. Upaya penanaman teh oleh VOC dimulai pada awal abad ke-19 sebagai bagian dari perubahan kebijakan ekonomi kolonial.
Kendala utama dalam pengembangan perkebunan teh di Bogor adalah ketersediaan sumber daya manusia. Masyarakat setempat yang lebih terbiasa dengan sistem berladang sulit diajak untuk beralih ke sistem perkebunan yang membutuhkan lebih banyak tenaga kerja. Dalam upaya mengatasi masalah ini, pemerintah kolonial merekrut tenaga kerja dari China untuk mendukung industri teh, bekerja sama dengan penduduk lokal.
Dengan pengawasan ketat dan manajemen yang baik, teh dari Bogor dikenal memiliki kualitas yang lebih unggul dibandingkan dengan teh dari daerah lain di Jawa. Keberadaan petugas pengawas dari Eropa dan tenaga ahli dari China menjadi strategi penting dalam memastikan kualitas dan produktivitas perkebunan teh di wilayah Priangan.
Selain itu juga ada faktor lain yakni keberadaan bibit teh terbaik yang sebelumnya di bawa oleh Jacobson, yang kemudian disebar di beberapa wilayah perkebunan yang ada di Jawa. Demi mendapatkan hasil yang terbaik bagi kualitas teh, pemerintah kolonial juga melakukan mobilisasi yang cukup besar pula dalam hal tenaga kerja (buruh) yang bekerja sebagai pemetik teh. Sebagai gambaran untuk melihat besarnya mobilisasi pekerja dalam produksi teh di daerah Priangan, sebagai berikut adalah data mengenai gambaran perkebunan teh di Jawa :
Areal perkebunan teh yang diusahakan oleh perkebunan teh sepanjang kurunÂ
waktu 1835-1840 adalah rata-rata seluas 500 bau, dengan 2.345.960 rumpun tanaman teh, dimana 707.460 untuk mengembangkan produksi teh hitam. Tiga pabrik pengolahan teh yang besar masing-masing memerlukan 200.000 rumpun pohon teh dan 17 pabrik pengolahan teh yang kecil dimana masing-masing bisa menampung sebanyak 100.000 rumpun tanaman teh. Kemudian teh kering yang dihasilkan oleh 20 pabrik pengolahan tersebut ditampung dalam empat gudang pengepakan. (Padmo, 2004: 161).Â
Berdasarkan penjelasan Soegijanto Padmo mengenai mapping industri perkebunan teh di Jawa, maka dapat ditafsirkan bahwa perkebunan teh yang berada di Cipanas (Bogor) merupakan salah satu dari wilayah penanaman teh dan penagkaran teh yang berada di Jawa Barat, dibawah pabrik utama (20 pabrik utama) pengolahan yang berada di afdeling Sukabumi. Pengelolaan perkebunan yang dilakukan dengan ketat dan manajerial yang cukup baik, serta mobilisasi penduduk yang kemudian diberikan kompensasi gaji dalam pekerjaan memetik, pengolahan dan pengepakan teh, menjadikan secara ringkas pengusahaan perkebunan teh yang dilakukan oleh pemerintah hingga masa akhir dekade abad ke-19.
Pada sisi lain pengusahaan teh yang dilakukan oleh pemerintah kolonial secara baik ternyata tidak memberikan hasil yang positif di satu sisi yang lainnya. Kualitas teh yang diusahakan oleh pemerintah kolonial HindiaBelanda ternyata masih sangat jauh dari yang diharapkan , jika dibandingkan dengan teh yang berasal dari dari India, China dan Jepang. Pasar internasional kurang mengakomodasi kualitas teh yang dihasilkan dari Hindia-Belanda, dan hal ini berdampak pada perminataan teh dari Hindia-Belanda dalam pasar internasional.
Kelesuan pasar internasional terhadap komoditi teh yang berasal dari Hindia-Belanda, berdampak pada produksi teh yang diusahakan oleh pemerintah. Pengeluaran (cost produksi) yang ditanggung oleh pemerintah kolonial bertambah besar, sementara itu daya jual komoditi teh dari HindiaBelanda melemah. Secara singkat dapat digambarkan melalui data-data yang dirangkum oleh Soegijanto Padmo (2004: 163) sebagai berikut :
Selisih yang cukup besar antara biaya produksi dengan nilai jual dari komoditi teh, pada akhirnya membuat pemerintah kolonial mengevaluasi produksi teh yang diusahakan oleh pemerintah kolonial. Pengusahaan tanaman komoditi teh yang dilakukan oleh pemrintah kolonial yang cenderung menurun dan menambah beban pengeluaran pemerintah, memaksa pemerintah untuk tidak lagi mengusahakan tanaman komoditi teh. Masa-masa ini menjadi masa-masa suram  dari aktivitas penanaman dan perdagangan teh di Hindia-Belanda, pada masa ini pula memasuki masa-masa peralihan pengusahaan teh dari pemerintah kepada sektor swasta.
Penurunan produksi dan perdagangan komoditi teh yang terjadi dalam skala besar di pulau Jawa, menjadi pemantik bagi munculnya kebijakan ekonomi yang baru dalam usaha pembudidayaan komoditi teh di HindiaBelanda. Secara makro produksi teh yang berlangsung dalam dekade 1850-an ini merupakan satu periode pengusahaan komoditi teh, yang dilakukan pada masa kebijakan ekonomi-politik tanam paksa (Culturstelsel).
Beralihnya haluan kebijakan ekonomi negeri induk yang semula dikuasai oleh kelompok konservatif, kemudian menuju kebijakan liberal, yang dikendalikan oleh golongan liberal merupakan satu situasi yang kelak juga mempengaruhi kebijakan ekonomi-politik di Hindia-Belanda. Kegagalan pemerintah kolonial dalam mengelola tanah jajahan dan rendahnya kemampuan daya saing ekonomi Kerajaan Belanda, dalam pasar internasional membuat angin politik beralih kepada golongan liberal. Pada tahun 1870-an merupakan satu era dimana berakhirnya kebijakan politik konservatif yang termanifestasi dalam bentuk kebijakan tanam paksa (Culturstelsel).
Kerugian yang tidak kunjung reda, yang diterima oleh pemerintah kolonial akibat pengusahaan tanaman komoditi teh, sempat disiasati oleh pemerintah
kolonial dengan mengizinkan para penduduk menanam kopi dipekarangan rumah para penduduk masing- masing. Kebijakan ini dilakukan guna menekan angka pengeluaran upah dan biaya hidup yang dibutuhkan oleh para penduduk di sepanjang wilayah lahan perkebunan teh di daerah Priangan, termasuk juga di daerah Cipanas-Bogor. Kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial, pada akhirnya tidak dapat mengurangi beban kerugian pemerintah kolonial dalam penguasahaan tanaman komoditi teh. Berdasarkan surat keputusan pemerintah kolonial No. 5 tanggal 1 Mei 1864, pemerintah kolonial mulai merubah status perkebunan teh yang dikuasai oleh pemerintah kolonial kepada pihak swasta.
Akuisisi status perkebunan ke arah swastanisasi ini menjadi satu periode tersendiri dari sejarah perkebunan di Indonesia. Perubahan ini diawali dengan kebijakan ekonomi pemerintah kolonial yang mengeluarkan UU Agraria (Agrarische wet Staatblad) tahun 1870, dimana undang-undang tersebut tidak hanya melepaskan separuh beban pemerintah kolonial dalam pembiayaan aktivitas ekonomi di Hindia-Belanda, akan tetapi di satu sisi juga memberikan ruang untuk mengakomodasi kepentingan kongsi dagang dari Barat untuk menanamkan modalnya di bidang perkebunan.
Masuknya modal-modal dari Barat ke dalam usaha perkebunan teh di Jawa Barat, khususnya di wilayah CipanasBogor tidak hanya merubah status perkebunan semata, akan tetapi kelak juga akan merubah status tanah penduduk dan bentuk-bentuk hubungan sosial yang berlaku. Berikut terlebih dahulu akan dijabarkan mengenai proses swastanisasi perkebunan teh yang terjadi di seluruh wilayah Priangan, khususnya di wilayah Cipanas-Bogor, sebagai wilayah perkebunan teh yang berada dalam naungan afdeling Sukabumi
Sejatinya proses pengelolaan perkebunan teh yang bersandar pada usaha swasta pertama kali dilakukan di daerah Priangan Tengah, yakni sekitar wilayah Bandung. Para pemodal atau pengusaha dari Barat yang ingin terlibat dalam usaha perkebunan teh diwilayah Priangan mengajukan permohonan dan mengurus seluruh keperluan administrasi kepada Residen Priangan. Residen Priangan adalah perwakilan dari Gubernur Jendral di Batavia, yang diberikan mandat untuk mengelola dan memanajerial wilayah Priangan. Beberapa perusahaan yang kemudian masuk kedalam wilayah Priangan untuk terlibat dalam bisnis perkebunan teh, diantaranya yang cukup dikenal ialah :
1. Keluarga pengusaha Rudolph Albert Kerkhoven yang membuka perkebunan teh di Arjasari pada tahun 1869.
2. Karel Albert Rudolf Bosscha yang dikenal sebagai raja teh Priangan, ia tiba di Jawa pada tahun 1887.
3. Karel Frederick Holle, seorang pengusaha teh yang membuka perkebunan di wilayah kaki Gunung Cikuray.
Para pengusaha yang masuk kedalam wilayah Priangan tersebut, membuka usaha perkebunan teh atas seizin pemerintah kolonial HindiaBelanda. Mereka tidak hanya melakukan akuisis terhadap beberapa pabrik teh, akan tetapi juga melakukan penyewaan terhadap tanah-tanah yang dikuasai oleh Negara (pemerintah kolonial) dan tanahtanah yang dimiliki oleh penduduk (perseorangan). Kebutuhan akan tanahtanah sewaan guna membangun industri perkebunan di wilayah Priangan semakin meningkat permintaannya. Seperti yang dilaporkan oleh Residen Priangan L. De Steurs dalam Memories van Overgave tahun 1921, bahwa jumlah perkebunan di seluruh wilayah Priangan cukup banyak dan masih akan terus bertambah.
Perkebunan teh Cipanas-Bogor yang berada dalam wilayah afdeling Sukabumi, merupakan tempat bernaungnya 474 perusahan perkebunan, diantaranya adalah perkebunan teh, kina, dan karet. Selain itu juga terdapat beberapa perkebunan dengan komoditi seperti : coklat, kapuk, kelapa, lada dan kopi, dengan masa sewa guna tanah selama 20 tahun sampai 75 tahun26.
Masuknya modal kedalam seluruh wilayah Priangan, khususnya diwilayah Cipanas-Bogor (afdeling Sukabumi), membuat perubahan morfologi kota, tidak hanya perubahan ekologi dalam bentuk perubahan pemanfaatan tanah dari kebutuhan primer penduduk pribumi, menuju tanah yang diusahakan sebagai areal perkebunan. Masuknya modal perkebunan menuntut adaptasi kebutuhan infrastruktur daerah, seperti keberadaan penunjang transportasi (jalan, kendaraan, alat angkut), saluran pengairan (irigasi), pemukiman penduduk, fasilitas kesehatan dan pendidikan, serta beberapa fasilitas lainnya. Guna membangun seluruh keperluan infrastruktur tersebut, dibutuhkan lembaga pembiayaan yang ditugaskan tidak hanya dalam rangka membiayai industri perkebunan swasta, akan tetapi juga membiayai kebutuhan pembangunan infrastruktur daerah. Khusus untuk keperluan modal bagi para pengusaha perkebunan, pemerintah kolonial mendirikan bank, yang bernama Cultuur Banken, lembaga pembiayan yang khusus membantu para pengusaha perkebunan di Hindia-Belanda.
Periode mengenai swastanisasi perkebunan teh diwilayah Cipanas-Bogor mencapai puncaknya seiring dengan pembangunan jalur transportasi yang membentang dan menghubungkan antara daerah Cipanas-Bogor dengan Batavia, Sukabumi, dan wilayah Priangan Tengah seperti Cianjur, Tasikmalaya, dan Garut. Jalur transportasi tersebut dikenal dengan nama jalan Anyer-Priangan, selain itu juga dibangun jalur Kereta Api BogorBandung-Cicalengka-Cilacap. Disepanjang jalan raya tersebut dibangun fasilitas-fasilitas umum seperti rumah/pemukiman penduduk, tangsitangsi militer, kantor pemerintahan, kantor swasta, rumah sakit, sarana pendidikan dan lain sebagainya, dimana sisa-sisa peninggalannya masih dapat dijumpai hingga saat ini.
2. Kehidupan Petani Bogor Masa Penjajahan Jepang
Perang Pasifik dan ekspansi militer Jepang ke Asia Tenggara menjadi penanda keterlibatan Jepang dalam Perang Dunia II. Pada Juli 1942, pasukan Jepang memasuki Tarakan (Kalimantan) dan kemudian memperluas kekuasaan mereka hingga Pulau Jawa. Setelah perundingan di Kalijati (Subang) pada Maret 1942, secara resmi Belanda menyerahkan kekuasaan di wilayah Indonesia kepada pemerintahan militer Jepang (Leirissa dkk, 2012: 88). Ini merupakan gambaran singkat masuknya pemerintahan Jepang ke Indonesia, khususnya Pulau Jawa.
Masuknya Jepang ke Jawa, terutama Jawa Barat, membawa perubahan besar dalam kebijakan yang sebelumnya diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Situasi perang di Asia Pasifik memaksa Jepang untuk merancang kebijakan berbeda dari Belanda, dengan fokus pada kebutuhan perang. Jika sebelumnya Belanda membangun fondasi ekonomi untuk mendukung industri perkebunan, Jepang lebih menekankan ekonomi yang menunjang kebutuhan perang (Leirissa dkk, 2012: 89).
Wilayah Bogor (Jawa Barat) yang subur dan potensial untuk pertanian, khususnya beras, dianggap penting oleh Jepang sebagai sumber makanan bagi tentaranya (Leirissa dkk, 2012: 90). Karena lautan tidak aman akibat serangan Sekutu, Jepang mengandalkan sumber daya dari wilayah yang mereka kuasai untuk memenuhi kebutuhan logistik perang. Selain beras, Jepang juga membutuhkan kapas, rami, dan tanaman jarak (Kurasawa, 1993: 28-36).
Dengan fokus pada tanaman yang diperlukan untuk perang, komoditas utama era Belanda seperti teh tidak lagi menjadi prioritas di masa pemerintahan Jepang. Kebun teh di Bogor (Cipanas), yang sebelumnya menjadi komoditas ekspor penting, berhenti beroperasi akibat kekurangan modal dan masalah distribusi.
Kebijakan ekonomi Jepang di Bogor lebih menitikberatkan pada produksi beras, tanaman jarak, dan rami, yang dianggap sebagai potensi ekonomi utama di wilayah tersebut. Khususnya dalam produksi beras, petani Bogor diwajibkan menanam padi dalam skala besar dan menyerahkan hasilnya kepada Jepang dengan bayaran yang sangat rendah.
Berikut ini merupakan data-data mengenai penyerahan wajib hasil penanaman beras yang dilakukan oleh para petani di Bogor kepada pemerintahan Jepang :
Permintaan dan Penyerahan Beras
April 1943-Maret 1944
Wilayah Jawa Barat
Penyerahan wajib hasil panen padi oleh petani kepada pemerintahan Jepang di wilayah Bogor berdampak negatif terhadap kesejahteraan masyarakat. Fenomena kekurangan pangan dan kelaparan menjadi hal yang umum terjadi di Jawa selama pendudukan Jepang. Tidak hanya karena eksploitasi produksi, tetapi juga akibat perubahan jenis tanaman, pengenalan bibit baru, dan teknik bertani yang belum familiar bagi petani, yang menyebabkan ketidakpastian bagi mereka (Leirissa, 2012: 89).
Untuk mengatasi kesulitan pangan, para petani di Bogor menyiasati dengan cara menyembunyikan hasil panen mereka atau menjualnya melalui jalur gelap (penyelundupan). Meskipun mereka menyadari risiko hukuman berat dari pemerintah Jepang jika tertangkap, petani tetap melakukan ini sebagai bentuk perlawanan terhadap tekanan dari pemerintahan Jepang.
Selain itu, pemerintah Jepang mengubah fungsi lahan milik petani. Lahan perkebunan dan kolam ikan milik masyarakat dijadikan lahan pertanian untuk meningkatkan produksi beras. Kebijakan ini bertujuan memperluas pertanian di Bogor (Zuhdi, 2017: 56).
Pemerintah Jepang juga memperkenalkan teknik baru dalam bercocok tanam. Di desa Cipeuyem (Bogor Utara), pemerintah mendirikan kursus pertanian yang dipimpin oleh Sumitra, melibatkan sekitar 40 petani produktif. Pelatihan ini kemudian diperluas ke wilayah lain seperti desa Nyangkowek, Babakan Pasir, dan Cicurug Gun (Zuhdi, 2017: 57).
Situasi ini memicu konflik di masyarakat, terutama karena Jepang menunjuk pengawas di tingkat desa dari kelompok sipil yang tidak terlibat dengan pemerintah Belanda sebelumnya. Beberapa pengawas yang diangkat oleh Jepang bahkan melakukan balas dendam terhadap mantan pemimpin desa yang bekerja untuk kolonial Belanda.
Kebijakan sosial dan politik Jepang yang bertujuan mendukung kebutuhan logistik perang diwujudkan melalui pembentukan lembaga Kumiai dan Tonarigumi. Lembaga-lembaga ini digunakan untuk memobilisasi tenaga kerja dan mengumpulkan bahan kebutuhan pokok bagi Jepang. Para pemimpin Kumiai dan Tonarigumi yang berasal dari masyarakat lokal memiliki kewenangan besar untuk memaksa penduduk menyerahkan hasil pangan mereka (Zuhdi, 2017: 50).
Secara umum, masa pendudukan Jepang di Indonesia dianggap lebih berat dibandingkan dengan penjajahan Belanda atau Inggris. Pada masa Jepang, masyarakat tidak memiliki banyak alternatif ekonomi. Jepang mengontrol sumber daya strategis dan membatasi peluang bagi masyarakat untuk bekerja di sektor lain selain pertanian yang ditentukan oleh pemerintah Jepang.
Akibatnya, banyak aset industri, seperti perkebunan teh di Puncak (Cipanas-Bogor) yang sebelumnya beroperasi di masa kolonial Belanda, terhenti selama pendudukan Jepang. Para petani yang sebelumnya bekerja di perkebunan kehilangan pendapatan tambahan atau bahkan pendapatan utama mereka (Wawancara dengan Bapak Oni, 12 Juli 2017).
Tidak hanya perkebunan teh yang terhenti, perkebunan karet di Bogor juga terpengaruh. Meskipun masih beroperasi, para petani yang bekerja di sana tidak diberi upah oleh pemerintah Jepang. Petani diberi tugas mengelola dan menjaga produksi, namun tanpa kompensasi (Wawancara dengan Bapak Oni, 12 Juli 2017).
Beban hidup para petani di wilayah Cimulang tidak seberat petani di Cipanas, karena banyak petani di Cimulang dipaksa bekerja sebagai Romusha oleh pemerintah Jepang. Pemerintah Jepang memobilisasi para petani secara paksa untuk bekerja di Ciseeng-Bogor, mengumpulkan batu kapur yang digunakan untuk konstruksi bangunan Jepang (Wawancara dengan Bapak Iman Sahpitra, 12 Juli 2017).
Kesulitan ekonomi yang dialami masyarakat Bogor, terutama para petani, selama pendudukan Jepang sangat berat. Masa penjajahan yang berlangsung sekitar 3,5 tahun dirasakan seolah-olah berlangsung selama berabad-abad (Wawancara dengan Bapak Iman Sahpitra, 12 Juli 2017). Ketidakpastian ekonomi ini berlanjut hingga awal kemerdekaan, di mana muncul kelompok-kelompok kriminal yang mengganggu stabilitas keamanan di Bogor.
3. Jatuh Bangun Bertahan dan Terpuruk Hingga Akhir Tahun 1960an (Tahap Finalisasi)
Setelah Konferensi Meja Bundar dan kembalinya ibu kota Indonesia dari Yogyakarta ke Jakarta, dimulailah era pemerintahan Republik Indonesia di Jawa. Pemerintah Soekarno-Hatta segera melakukan penataan birokrasi, menggerakkan kembali ekonomi nasional (industri perkebunan dan pertanian), dan membuka kembali pendidikan dengan fokus ekonomi kerakyatan. Bogor menjadi salah satu kota yang menjalankan tiga program utama tersebut, karena di kota ini terdapat sumber daya ekonomi yang mendukung pelaksanaannya.
Pemerintahan Soekarno-Hatta menanggapi lemahnya ekonomi Indonesia pasca perang kemerdekaan hingga 1949 dengan kebijakan Rencana Urgensi Perekonomian (RUP). Kebijakan ini, melalui Perdana Menteri M. Natsir, bertujuan mengkonsolidasi dan mendukung para pengusaha pribumi, terutama di sektor perkebunan dan pertanian rakyat. RUP berfokus pada penguatan industri perkebunan dan pertanian di desa-desa karena banyak tenaga kerja dari desa yang tidak terserap dalam angkatan militer.
Kebijakan RUP kemudian berkembang menjadi kebijakan Ekonomi Benteng, yang memberi prioritas dan fasilitas bagi pengusaha pribumi, seperti kemudahan akses kredit perbankan dan sumber daya alam. Namun, di Bogor, kebijakan ini menghadapi masalah karena akses kredit hanya dinikmati oleh kelompok penguasa lokal, terutama keluarga birokrasi, yang menciptakan ketimpangan dan monopoli.
Selain itu, kebijakan landreform juga menghadapi hambatan serupa. Distribusi tanah tidak merata dan lebih banyak dikuasai oleh kelompok penguasa lokal. Hasil penelitian H. ten Dam menunjukkan bahwa penduduk Cibodas-Bogor, yang mencapai 5.000 orang, harus bertahan dengan tanah produktif yang hanya seluas 800 hektar. Banyak dari mereka adalah buruh tani yang tidak memiliki tanah dan terpaksa bekerja di sektor perkebunan yang dikelola oleh pemerintah.
Industri perkebunan di Bogor, khususnya teh dan karet, berkembang kembali melalui perusahaan negara PTPN X. Namun, meski produksi melimpah, sektor distribusi, terutama ekspor, menghadapi kendala akibat hubungan buruk Indonesia dengan negara-negara Barat dan persaingan komoditas dari China.
Di sektor pertanian padi, pemerintah memperkenalkan bibit unggul (Ungnas) melalui Lembaga Penelitian Benih di Bogor, tetapi akses bibit ini terbatas pada petani yang memiliki jaringan birokrasi. Banyak petani kesulitan memperoleh bibit ini, yang memperburuk ketimpangan dan menghambat peningkatan produksi beras.
Pada akhirnya, situasi ekonomi di Bogor pada masa pemerintahan Orde Lama menciptakan kesenjangan antara petani dan menurunkan produksi beras. Pertumbuhan jumlah penduduk yang terus meningkat seiring dengan stagnasi produksi pangan memperburuk krisis pangan di daerah ini.
Kesulitan ekonomi memaksa petani Bogor mencari alternatif di sektor non-pertanian seperti perdagangan, jasa, dan pertukangan. Namun, masuk ke sektor ini tidaklah mudah karena memerlukan modal dan keterampilan khusus. Sebagai contoh, untuk memulai bisnis kecil seperti penjualan makanan, petani harus meminjam modal dari pengusaha etnis Tionghoa di Bogor. Sektor transportasi pun mulai beralih dari becak dan delman ke kendaraan bermesin, yang memerlukan keterampilan dan koneksi.
Pada masa awal 1960-an, petani di Bogor terpaksa keluar dari sektor pertanian karena sektor tersebut tidak lagi mampu memberikan penghidupan yang layak. Meskipun demikian, sektor non-pertanian yang mereka coba masuki juga penuh tantangan dan persaingan yang tidak kalah sulit.
Tulisan ini bersumber dari :
Saring, Barkah J, Husin H. 2017. Diantara Bayang-Bayang Eksploitasi Perkebunan dan Involusi Pertanian : Kehidupan Petani di Bogor 1905-1960an. Seminar Nasional Desain dan Media. 170-190. ISSBN no. 978-602-5018-1-4
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H