April 1943-Maret 1944
Wilayah Jawa Barat
Penyerahan wajib hasil panen padi oleh petani kepada pemerintahan Jepang di wilayah Bogor berdampak negatif terhadap kesejahteraan masyarakat. Fenomena kekurangan pangan dan kelaparan menjadi hal yang umum terjadi di Jawa selama pendudukan Jepang. Tidak hanya karena eksploitasi produksi, tetapi juga akibat perubahan jenis tanaman, pengenalan bibit baru, dan teknik bertani yang belum familiar bagi petani, yang menyebabkan ketidakpastian bagi mereka (Leirissa, 2012: 89).
Untuk mengatasi kesulitan pangan, para petani di Bogor menyiasati dengan cara menyembunyikan hasil panen mereka atau menjualnya melalui jalur gelap (penyelundupan). Meskipun mereka menyadari risiko hukuman berat dari pemerintah Jepang jika tertangkap, petani tetap melakukan ini sebagai bentuk perlawanan terhadap tekanan dari pemerintahan Jepang.
Selain itu, pemerintah Jepang mengubah fungsi lahan milik petani. Lahan perkebunan dan kolam ikan milik masyarakat dijadikan lahan pertanian untuk meningkatkan produksi beras. Kebijakan ini bertujuan memperluas pertanian di Bogor (Zuhdi, 2017: 56).
Pemerintah Jepang juga memperkenalkan teknik baru dalam bercocok tanam. Di desa Cipeuyem (Bogor Utara), pemerintah mendirikan kursus pertanian yang dipimpin oleh Sumitra, melibatkan sekitar 40 petani produktif. Pelatihan ini kemudian diperluas ke wilayah lain seperti desa Nyangkowek, Babakan Pasir, dan Cicurug Gun (Zuhdi, 2017: 57).
Situasi ini memicu konflik di masyarakat, terutama karena Jepang menunjuk pengawas di tingkat desa dari kelompok sipil yang tidak terlibat dengan pemerintah Belanda sebelumnya. Beberapa pengawas yang diangkat oleh Jepang bahkan melakukan balas dendam terhadap mantan pemimpin desa yang bekerja untuk kolonial Belanda.
Kebijakan sosial dan politik Jepang yang bertujuan mendukung kebutuhan logistik perang diwujudkan melalui pembentukan lembaga Kumiai dan Tonarigumi. Lembaga-lembaga ini digunakan untuk memobilisasi tenaga kerja dan mengumpulkan bahan kebutuhan pokok bagi Jepang. Para pemimpin Kumiai dan Tonarigumi yang berasal dari masyarakat lokal memiliki kewenangan besar untuk memaksa penduduk menyerahkan hasil pangan mereka (Zuhdi, 2017: 50).
Secara umum, masa pendudukan Jepang di Indonesia dianggap lebih berat dibandingkan dengan penjajahan Belanda atau Inggris. Pada masa Jepang, masyarakat tidak memiliki banyak alternatif ekonomi. Jepang mengontrol sumber daya strategis dan membatasi peluang bagi masyarakat untuk bekerja di sektor lain selain pertanian yang ditentukan oleh pemerintah Jepang.
Akibatnya, banyak aset industri, seperti perkebunan teh di Puncak (Cipanas-Bogor) yang sebelumnya beroperasi di masa kolonial Belanda, terhenti selama pendudukan Jepang. Para petani yang sebelumnya bekerja di perkebunan kehilangan pendapatan tambahan atau bahkan pendapatan utama mereka (Wawancara dengan Bapak Oni, 12 Juli 2017).