Perkebunan teh Cipanas-Bogor yang berada dalam wilayah afdeling Sukabumi, merupakan tempat bernaungnya 474 perusahan perkebunan, diantaranya adalah perkebunan teh, kina, dan karet. Selain itu juga terdapat beberapa perkebunan dengan komoditi seperti : coklat, kapuk, kelapa, lada dan kopi, dengan masa sewa guna tanah selama 20 tahun sampai 75 tahun26.
Masuknya modal kedalam seluruh wilayah Priangan, khususnya diwilayah Cipanas-Bogor (afdeling Sukabumi), membuat perubahan morfologi kota, tidak hanya perubahan ekologi dalam bentuk perubahan pemanfaatan tanah dari kebutuhan primer penduduk pribumi, menuju tanah yang diusahakan sebagai areal perkebunan. Masuknya modal perkebunan menuntut adaptasi kebutuhan infrastruktur daerah, seperti keberadaan penunjang transportasi (jalan, kendaraan, alat angkut), saluran pengairan (irigasi), pemukiman penduduk, fasilitas kesehatan dan pendidikan, serta beberapa fasilitas lainnya. Guna membangun seluruh keperluan infrastruktur tersebut, dibutuhkan lembaga pembiayaan yang ditugaskan tidak hanya dalam rangka membiayai industri perkebunan swasta, akan tetapi juga membiayai kebutuhan pembangunan infrastruktur daerah. Khusus untuk keperluan modal bagi para pengusaha perkebunan, pemerintah kolonial mendirikan bank, yang bernama Cultuur Banken, lembaga pembiayan yang khusus membantu para pengusaha perkebunan di Hindia-Belanda.
Periode mengenai swastanisasi perkebunan teh diwilayah Cipanas-Bogor mencapai puncaknya seiring dengan pembangunan jalur transportasi yang membentang dan menghubungkan antara daerah Cipanas-Bogor dengan Batavia, Sukabumi, dan wilayah Priangan Tengah seperti Cianjur, Tasikmalaya, dan Garut. Jalur transportasi tersebut dikenal dengan nama jalan Anyer-Priangan, selain itu juga dibangun jalur Kereta Api BogorBandung-Cicalengka-Cilacap. Disepanjang jalan raya tersebut dibangun fasilitas-fasilitas umum seperti rumah/pemukiman penduduk, tangsitangsi militer, kantor pemerintahan, kantor swasta, rumah sakit, sarana pendidikan dan lain sebagainya, dimana sisa-sisa peninggalannya masih dapat dijumpai hingga saat ini.
2. Kehidupan Petani Bogor Masa Penjajahan Jepang
Perang Pasifik dan ekspansi militer Jepang ke Asia Tenggara menjadi penanda keterlibatan Jepang dalam Perang Dunia II. Pada Juli 1942, pasukan Jepang memasuki Tarakan (Kalimantan) dan kemudian memperluas kekuasaan mereka hingga Pulau Jawa. Setelah perundingan di Kalijati (Subang) pada Maret 1942, secara resmi Belanda menyerahkan kekuasaan di wilayah Indonesia kepada pemerintahan militer Jepang (Leirissa dkk, 2012: 88). Ini merupakan gambaran singkat masuknya pemerintahan Jepang ke Indonesia, khususnya Pulau Jawa.
Masuknya Jepang ke Jawa, terutama Jawa Barat, membawa perubahan besar dalam kebijakan yang sebelumnya diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Situasi perang di Asia Pasifik memaksa Jepang untuk merancang kebijakan berbeda dari Belanda, dengan fokus pada kebutuhan perang. Jika sebelumnya Belanda membangun fondasi ekonomi untuk mendukung industri perkebunan, Jepang lebih menekankan ekonomi yang menunjang kebutuhan perang (Leirissa dkk, 2012: 89).
Wilayah Bogor (Jawa Barat) yang subur dan potensial untuk pertanian, khususnya beras, dianggap penting oleh Jepang sebagai sumber makanan bagi tentaranya (Leirissa dkk, 2012: 90). Karena lautan tidak aman akibat serangan Sekutu, Jepang mengandalkan sumber daya dari wilayah yang mereka kuasai untuk memenuhi kebutuhan logistik perang. Selain beras, Jepang juga membutuhkan kapas, rami, dan tanaman jarak (Kurasawa, 1993: 28-36).
Dengan fokus pada tanaman yang diperlukan untuk perang, komoditas utama era Belanda seperti teh tidak lagi menjadi prioritas di masa pemerintahan Jepang. Kebun teh di Bogor (Cipanas), yang sebelumnya menjadi komoditas ekspor penting, berhenti beroperasi akibat kekurangan modal dan masalah distribusi.
Kebijakan ekonomi Jepang di Bogor lebih menitikberatkan pada produksi beras, tanaman jarak, dan rami, yang dianggap sebagai potensi ekonomi utama di wilayah tersebut. Khususnya dalam produksi beras, petani Bogor diwajibkan menanam padi dalam skala besar dan menyerahkan hasilnya kepada Jepang dengan bayaran yang sangat rendah.
Berikut ini merupakan data-data mengenai penyerahan wajib hasil penanaman beras yang dilakukan oleh para petani di Bogor kepada pemerintahan Jepang :
Permintaan dan Penyerahan Beras