Tentu saja, tidak semua orang setuju dengan pendekatannya. Ada yang merasa ia terlalu keras. Ada yang merasa filosofi permainannya tidak cocok untuk pemain Indonesia, yang lebih terbiasa dengan tempo permainan yang santai. Kritik ini mungkin valid, tetapi tidak bisa disangkal bahwa Shin membawa standar baru dalam sepak bola Indonesia.
Ketika PSSI memutuskan untuk mengakhiri kontraknya, banyak yang merasa kehilangan. Keputusan ini mungkin didasarkan pada ambisi untuk mencapai target yang lebih besar, seperti lolos ke Piala Dunia 2026. Tapi kehilangan Shin terasa seperti kehilangan seorang mentor, seseorang yang telah memberi banyak pelajaran berharga.
Warisan Shin Tae-yong tetap hidup. Filosofi permainannya akan terus diingat, bukan hanya oleh para pemain, tetapi juga oleh pelatih dan penggemar sepak bola di Indonesia. Ia mengajarkan bahwa sepak bola bukan hanya soal menang atau kalah, tetapi juga soal kerja keras, disiplin, dan keberanian untuk mencoba sesuatu yang baru.
Bagi saya, Shin bukan hanya pelatih favorit, tetapi juga inspirasi. Di SSB yang saya kelola, anak-anak kini berlatih dengan semangat yang sama seperti yang Shin tanamkan: tidak mudah menyerah, selalu percaya pada diri sendiri, dan bermain dengan hati.
Pemecatan Shin Tae-yong mungkin membuat saya malas menulis hari itu, tetapi kenangan tentang gaya kepelatihannya memberi saya alasan untuk terus berbagi cerita. Ia adalah bukti bahwa seorang pelatih bisa lebih dari sekadar seseorang yang memberi instruksi.
Ia adalah seorang pemimpin, seorang guru, dan seorang visioner. Shin mungkin sudah pergi, tetapi filosofinya akan terus hidup di hati para pecinta sepak bola.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H