Pemecatan Shin Tae-yong dari kursi pelatih Timnas Indonesia adalah kabar yang membuat hati saya remuk redam. Pada hari pengumuman itu, rasanya seperti melihat jimat keberuntungan saya terbakar perlahan.
Biasanya, saya menulis tiga konten per hari, tapi hari itu saya hanya menatap layar kosong, menulis satu kalimat, menghapus, lalu menyerah.
Namun, hidup terus berjalan. Daripada mengutuk keputusan yang sudah terjadi, lebih baik kita mengenang apa yang ia bawa: filosofi, gaya kepelatihan, dan warisan sepak bola yang membuat Shin Tae-yong bukan sekadar pelatih, tapi seorang visioner.
Sebagai pengelola SSB (Sekolah Sepak Bola), saya merasa warisan Shin masih melekat erat. Filosofi permainannya kini menjadi buku pedoman tak resmi untuk anak-anak yang saya latih.
Shin adalah pelatih yang tidak hanya mengubah gaya permainan, tetapi juga membentuk mental dan fisik pemainnya. Ia adalah semacam guru tai chi sepak bola, yang percaya bahwa keseimbangan antara fisik, taktik, dan mentalitas adalah kunci kesuksesan.
Bayangkan Shin di pinggir lapangan. Wajahnya tenang, tapi pikirannya penuh kalkulasi seperti komputer super. Filosofinya menekankan intensitas tinggi dan tekanan tanpa henti, semacam permainan sepak bola yang membuat lawan tidak punya waktu untuk bernapas.
Para pemainnya diminta mengejar bola seperti anak kecil mengejar layang-layang putus. Filosofi ini mungkin terdengar sederhana, tapi coba jalani selama 90 menit. Tidak ada ruang untuk malas-malasan, apalagi "jalan-jalan sore" di lapangan.
Shin percaya pada tekanan tinggi. Pemain depan adalah prajurit pertama dalam filosofi ini, mengganggu setiap bek lawan yang mencoba membangun serangan. Jika berhasil merebut bola, Shin menginstruksikan pemain untuk langsung menyerang, seperti seekor kucing liar yang menangkap tikus.
Filosofi ini, jika dilakukan dengan benar, membuat lawan bingung seperti kehilangan arah di labirin. Tapi ada harga yang harus dibayar: fisik pemain harus prima. Tidak ada tempat bagi pemain yang cepat kehabisan napas.
Latihan fisik ala Shin bukanlah sekadar pemanasan biasa. Bayangkan jogging lima kilometer di bawah matahari pagi, diikuti dengan interval sprint yang membuat otot terasa seperti terbakar.