Mohon tunggu...
ikhsan bang haji
ikhsan bang haji Mohon Tunggu... Lainnya - adalah seorang pegawai desa di Desa Wanayasa

Menyukai menulis dan concern terhadap pemerintahan desa dan gerakan belanja di warung tetangga

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ada Uang Calon Disayang, Tak Ada Uang Calon Ditendang

5 Mei 2023   00:47 Diperbarui: 5 Mei 2023   00:52 451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapa Bertanggungjawab?

Dua hari lalu saya berkomunikasi via Whatsapp dengan Pa Agus Supriyatna yang berprofesi sebagai pengacara, bukan tentang gugatan PTUN menyoal pemberhentian Kepala Dusun tetapi mendiskusikan tema apa untuk agenda mingguan "Ngobrol Yu Ah!" pekan ini.

Saya bilang "saya ikutan aja"

"yang sekiranya bikin adeeeeem untuk jiwa-jiwa kita"

Sengaja saya jawab gitu, bukan karena jiwa saya tidak adem, tapi takut nanti beliau kasih tema "panas" semacam perseteruan pasca perceraian misalnya, hehe...

Beliau balas Whatsapp saya:

"yes"

"Silakan sama Bang Haji sekalian dengan Ilustrasinya"

Pikir saya kenapa dia nanya, sekalian aja nyuruh dari awal buat nyari tema dan bikin design pamfletnya! Dasar lawyer....!

Lalu tiba-tiba saja muncul ide untuk tema obrolan, sebuah fenomena yang kemudian menjadi budaya dan tidak bisa tidak itu akan dan terus terjadi.

Ada uang, calon disayang

Tidak ada uang, calon ditendang

Siapa bertanggungjawab?

Taukan arahnya kemana?

Yaaa, ini tahun politik jadi memang seolah sengaja tanpa di-direct pembaca akan tahu bahwa tema itu menyoal politik lebih spesifiknya PEMILU yang tahapannya sudah hampir setengah jalan.

Tuhan memang selalu punya kejutan, tiba-tiba saja "mustami" Ngobrol Yu Ah! Hadir dari berbagai kalangan, mulai dari Kang Hidayat seorang anggota DPRD Purwakarta yang dijuluki sebagai "Pangeran" dan juga memproklamirkan diri sebagai calon Bupati Purwakarta 2024 (Padahal tahapan PEMILU belum sampai ke penetapan lho...!), ada juga Kang Alex anggota DPRD Purwakarta yang satu partai dengan kang Dayat tadi (Ini orang maennya ko ga jauh ya, sama se-Partai doank, gak punya temen lintas partai apa??)

Yang menarik tetapi tidak aneh adalah kedua anggota dewan tersebut hadir "didampingi" mang Sastro.

Siapa tak kenal mang Sastro?  Ya, makelar politik yang lebih nyaman disebut sebagai "Broker" (Biar lebih bonafid katanya)

Dalam hitungan menit ruangan caf Tentang Kopi penuh dengan mustami dari berbagai kalangan, pengacara, Kepala Desa, budayawan plat merah, ada juga Bah Ayi yang pernah dapat bantuan Sapi dari negara tapi beliau berharap negara bubar, dari kaum muda juga hadir beberapa akademisi yang masih idealis-idealisnya, hadir pula kang Didin Syafrudin yang tenar dipanggil Dinjur alias Didin Jurig (nama lengkapnya Didin Jurig Ratnasari), dia ini oleh PJS Kepala Desa Wanayasa dilabeli "Tokoh Frontal"  karena track recordnya sebagai orang penyuka Demo dan doyan ngomong keras melebihi kerasnya kondisi ekonomi negara kita, namun tampaknya Dinjur ini sudah insyaf, dia kini menjadi penyelenggara PEMILU sebagai PPS Desa ya meskipun itu hasil "Rekom".

Lalu apa yang diobrolkan?

Yes, fenomena dimana masyarakat menjadi pragmatis, lalu para calon menangkap ini sebagai sebuah "demand" dan lalu para makelar dengan jeli melihat ini sebagai market yang menjanjikan di masa pemilu.

Sederhananya ada Demand, ada Supply dan ada pialang (Bahasa kitanya ya makelar gitu)

Budaya ini baik atau tidak?

Tentu saja tergantung pada bagaimana cara pandang kita.

Money politics sebuah fenomena yang terdengar seperti dosa besar tetapi terus dan terus dilakukan, hal ini dilakukan karena itu tadi, elemen terjadinya money politics lengkap sudah, ada produsen, ada konsumen dan ada "wirausahawan"nya. Mirip-mirip dengan prostitusi, ada yang Wanita Nakal, ada Lelaki hidung belang dan ada mucikarinya. Maka transaksi ini terjadi dan semua mendapat keuntungan berdasar persepsi masing-masing.

Persoalan buruk atau tidak buruk masalah ini (sebetulnya bukan masalah juga sih), tergantung pada siapa serta sudut mana kita melihat.

Bagi calon yang ingin mendulang suara melalui transaksi instant ya asal dia punya modal, tentu dianggap menguntungkan karena tinggal lakukan serangan fajar dengan nominal lebih besar dari lawan-lawannya (karena pasti lawannya pun melakukan ini meski harus menjual asset termasuk kalung mas milik istrinya).  

Bagi masyarakat pragmatis, ini juga dianggap menguntungkan dan dapat dijadikan mata pencaharian sesaat, maka timbullah istilah UNCAL atau Usaha Nipu Calon, resiko menerima uang dari para calon ini sepertinya tidak ada (kita gak bicara dari kacamata Islam ya?) karena konon Islam telah lama ditinggalkan untuk urusan politik di sini.

Malah bagi masyarakat, kalau sedang mujur bisa dapat beberapa amplop dari beberapa calon. Isinya seperti yang dibilang oleh kang Alex ya mulai dari Rp. 20.000,- , Rp. 50.000,- hingga Rp. 100.000,- meskipun selanjutnya beliau membantah itu, sebab katanya minimal dua kali dalam setahun sudah pasti ada proposal masuk pas menjelang Rajaban dan Muludan. Oh sodaqoh untuk hari besar Islam juga dianggap cost politik ternyata oleh para politisi.

Oh iya, andai amplop itu bernilai Rp. 100.000,- maka dibagi 5 tahun, dibagi 365 hari maka hanya bernilai Rp. 54,- saja.  Masyarakat dikasih uang sebesar Rp. 54,- perhari selama 5 tahun untuk mengikhlaskan diwakili oleh para calon tersebut untuk diwakili.

Terlalu murah? Ya tentu saja

Kalau bisa naikin lagi lah ....!

Fenomena seperti ini semua orang sudah tahu, sialnya dilegitimasi oleh semua. Menyedihkan? Ya tentu saja sangat menyedihkan.

Lalu mengapa ini bisa terjadi? Apakah karena prilaku politisi, Makelar, ataukah masyarakat? Atau jangan-jangan penyelenggara PEMILU juga bagian dari budaya ini? Atau ini terjadi karena Pendidikan politik yang seharusnya kewajiban Partai politik tidak jalan?

Atau kita harus menyalahkan pemerintah? (opsi ini hanya sebatas pertanyaan, bukan pernyataan, takut saya...!)

Tidak ada resume untuk menunjuk siapa yang salah.

Dugaan sementara mengapa fenomena ini terjadi adalah "karena Tuhan tidak benar-benar dilibatkan dalam perpolitikan"

Pernyataan percaya dan bertaqwa kepadaTuhan yang Maha Esa, hanya selembar kertas yang dibubuhi tanda tangan di atas materai Rp. 10.000,-  (Kalau di warung harganya Rp. 12.000,- jadi mending beli di Kantor POS saja, harganya tetep Sepuluh Ribu .... Halllah  apa ini???)

Tapi tidak melibatkan Tuhan ini juga masih sebatas dugaan dan belum bisa disebut sebagai kesimpulan, sebab memilih dan mendefinisikan Tuhan saja kita masih pada selera masing-masing.

Wallahul Muwafiq ila Aqwamit Thoriq

Wassalamu'alaikum Warohmatullai Wabarokaatuh!

(Biar diaku NU)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun