Maka hasil riset Economist Intelligence Unit dan sejumlah lembaga lain menilai akhir kekuasaan Jokowi selama dua periode, Indonesia mengalami pembalikan demokrasi (democracy backsliding) seperti yang dilansir majalah Tempo.
Tak berhenti sampai di pilpres dan pileg diperkirakan Jokowi akan dengan segala cara untuk "habisi" PDIP dan Megawati.
Dalam konteks demokrasi formal akan berlanjut dengan pertarungan di Pilkada serentak Nopember 2024 yaitu koalisi PDIP versus koalisi Jokowi.
Dan tak tertutup kemungkinan dengan strategi infiltrasi, dengan menciptakan faksi atau konflik di internal PDIP. Sebagaimana dulu Soeharto menciptakan dualisme PDI hingga meletus peristiwa Kudatuli 27 Juli 1996.
Sementara Demokrat dan Nasdem tak menjadi target kendaraan Jokowi karena hanya partai menengah yang masing-masing identik dengan Susilo Bambang Yudoyono (SBY) dan Surya Paloh. Sedangkan Gerindra masuk partai 3 besar identik dengan Prabowo, presiden terpilih.
Maka partai yang paling mungkin di"akuisisi" oleh Jokowi adalah Golkar dengan asumsi telah menjadikan kenaikan signifikan terhadap perolehan suara Golkar di pileg 2024 dan banyaknya faksi di Golkar lebih memudahkan Jokowi untuk mengkonsolidasikan.
Nampak atau tidak, Jokowi telah berhasil mengorkestrasi Koalisi Indonesia Maju (KIM) untuk dilanjutkan dalam kontestasi Pilkada serentak Nopember 2024.
Berhasil mewujudkan Koalisi gemuk untuk mengusung mantunya di pilkada Sumatera Utara.
Sekalipun demikian tak akan melawan kotak kosong karena perolehan kursi minimal PDIP cukup sebagai syarat mengusung calon kepala daerah untuk melawan. Demikian pula KIM telah mendeklarasikan calon kepala daerah untuk Banten.
Untuk Jakarta dugaan awal saya Jokowi inginkan duet Anies-Kaesang.
Mengapa Anies?
Pertama, saat pilkada Jakarta tahun 2017, Jokowi menginginkan Ahok kalah dengan sentimen penistaan Islam yang direkayasa  untuk amankan Jokowi hadapi pilpres 2019.
Kedua, sebagai kompensasi jasa Anies menjadi capres mencegah pilpres head to head Ganjar vs Prabowo.
Ketiga, sebagai mantan Gubernur Jakarta, Anies masih punya pemilih real di Jakarta, sehingga Jokowi tak perlu effort besar untuk titip Kaesang menangkan pilkada Jakarta.
Jika menang lalu reshuffle kabinet Anies jadi menteri kabinet Prabowo-Gibran, maka Kaesang yang gantikan posisi Gubernur Jakarta.
Jika skenario ini tak terjadi maka bagaimana menjadikan Anies tak cukup tiket untuk nyalon Gubernur.
Dan tandanya sudah mulai dengan pernyataan dari petinggi Gerindra membentuk koalisi KIM plus untuk usung Ridwan Kamil.
Plus yang dimaksud kemungkinan PKS.
Jika PKS menjadi bagian KIM plus barternya kemungkinan masuk kabinet. Mengingat Prabowo sebagai presiden terpilih telah diberi kewenangan mengangkat menteri tanpa dibatasi jumlah.
Jika ini terjadi maka Jokowi setidaknya berpotensi menang tanpa lawan (potensi lawan kotak kosong) karena PDIP tak cukup syarat usung calon minimal 22 kursi. Terkecuali salah satu dari KIM yang memiliki minimal 4 kursi membelot untuk berkoalisi dengan PDIP.