Tulisan "Dijual" di tembok pagar rumah itu telah hilang, menandakan penghuni baru akan segera datang. Satu bulan yang lalu aku masih duduk di bangku taman rumah bertembok batu bata merah itu sambil menikmati secangkir teh bunga rosela dan beberapa keping biskuit lemon. Â
Oma Irene sang pemilik rumah kerap mengajakku berbincang sambill duduk di bawah rindangnya pohon pinus. Namun sayang tiga minggu yang lalu Oma Irene pergi menyusul Opa Jan dalam keabadian.
Aku menatap rumah bercerobong asap itu. Sepi, belum ada satu pun batang hidung pemilik baru yang nampak. Rumah itu memiliki desain yang sangat aku sukai. Halamannya yang luas banyak ditumbuhi berbagai macam tanaman. Â
Aku betah berlama-lama disana dan sama sekali tak berkeberatan menyirami semua tanaman bila Oma Irene pergi menengok anak cucunya. Â Kini aku merasa khawatir akan kehilangan suasana indah rumah itu seiring dengan kedatangan penghuni baru.
***
Aroma segar pagi langsung menyeruak ke dalam kamarku ketika aku membuka jendela. Biasanya aku akan kembali melemparkan tubuhku ke atas ranjang dan menarik kembali selimut yang tersingkap. Hari minggu adalah waktunya bersantai sampai siang. Namun tidak hari ini karena pemandangan di bawah lebih menarik dibanding dengan empuknya ranjang dan hangatnya selimut patchwork buatan Mama.
Dari ketinggian balkon kamarku, aku melihat seorang lelaki sibuk hilir mudik mengangkut barang-barang dari sebuah mobil box. Â Raut wajahnya dingin, kedua lengannya dipenuhi dengan tatto. Â
Sesekali ia menatap  ke jalanan yang lengang dan rumah-rumah lain termasuk rumahku. Aku menyembunyikan kepalaku di balik pagar balkon ketika secara tiba-tiba ia mendongak ke atas. Mendadak aku merasa tidak nyaman dengan keberadaan tetangga baru ku itu.
***
"Permisi."
Aku berhenti sebentar dari kegiatanku lalu menjelau ke luar pagar, tak ada siapa-siapa. Ku potongi kembali ranting-ranting mawar yang menyembul di antara pagar kayu.
"Permisi." Â Suara itu kembali terdengar dan kini sangat jelas.