Mohon tunggu...
Ika Septi
Ika Septi Mohon Tunggu... Lainnya - Lainnya

Penyuka musik, buku, kuliner, dan film.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Prasangka Sang

24 Agustus 2018   16:30 Diperbarui: 24 Agustus 2018   17:03 617
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : forallworld.com

Jarum jam ditangannya menunjuk angka 10 tepat, Fey membawa kaki lelahnya bergegas melangkah ke dalam mini market 24 jam yang letaknya hanya beberapa blok dari kantornya. Pekerjaan yang menumpuk membuatnya harus melembur sampai larut malam.

Beberapa barang yang dibutuhkan telah memenuhi keranjangnya ketika tiba-tiba terdengar teriakan kasar dari arah meja kasir. Fey mengintip dari balik rak untuk melihat apa yang terjadi, tubuhnya langsung kaku dan keringat dingin mulai bercucuran ketika melihat dua orang menodongkan senjata kepada kasir mini market yang wajahnya memucat. Jantung Fey berdetak tak beraturan, kakinya lemas.

Brak!

Tak sengaja Fey menjatuhkan barang yang berada dihadapannya. Sontak dua orang yang tengah menguras isi cash register menjelau ke arahnya. Fey menutup mulutnya rapat, ia terduduk di lantai yang dingin sambil berusaha menyembunyikan diri. Terdengar langkah kaki mendekat, sebuah tangan kekar menarik tubuhnya untuk berdiri lalu menyeret paksa menuju meja kasir.

Perampok bermasker yang menyeretnya tadi merampas tas miliknya lalu mengeluarkan semua isinya sambil masih menodongkan senjata tajamnya ke arah Fey sementara kasir mini market duduk terkulai di lantai dengan darah membasahi seragamnya. Fey menitikkan air mata, rasa takut menyapa setiap inchi bagian tubuhnya.

"Polisi, jatuhkan senjata kalian!"

Fey menatap ke asal suara, seorang lelaki berpakaian casual menunjukan badge yang dikalungkan dilehernya. Fey mulai bernafas lega, namun hal itu tak lama karena seketika ia di dekap dari belakang oleh perampok yang menguras isi tasnya, sebuah pisau belati menempel di lehernya. Fey gemetar, giginya bergemerutuk.

Lalu terjadilah negoisasi yang sangat alot, sampai akhirnya beberapa letusan membuyarkan semua adu kata-kata antara salah satu perampok dengan anggota kepolisian lain.

Fey yang kini kepalanya seakan dipukul-pukul oleh martil itu menatap nanar teman perampok yang kini terkapar di lantai dengan senjata api yang masih tergenggam. Sedangkan perampok yang masih menjadikannya sandera itu kini mulai panik, lelaki berperawakan tinggi besar itu semakin mendekatkan mata pisau yang ia genggam ke leher Fey.

Fey menatap lelaki berbadge dihadapannya dengan wajah memohon untuk segera mengakhiri semuanya. Lelaki itu mengangguk kecil nyaris tak terlihat. Entah apa yang terjadi, selanjutnya Fey dan perampok itu jatuh, darah segar mengalir ke lantai sementara rasa perih menjalar di lehernya, tetes darah mengotori blouse-nya, Fey histeris.

"Tenanglah, aku bersamamu, maafkan aku." Lelaki berbadge itu mendekap Fey, menempelkan sehelai bandana dilehernya lalu bergegas membawanya keluar. Suasana diluar mini market telah ramai, sirene meraung dari kejauhan.

"Kamu akan baik-baik saja, maafkan aku." Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit terdekat lelaki itu melingkarkan lengannya menutupi luka Fey yang mulai membengkak dan terasa perih.

***

Dia, lelaki berbadge itu adalah Sang. Sang yang selanjutnya selalu ada untuknya, menunggunya saat sesi trauma healing, menemaninya pulang pergi ke rumah sakit, dan selalu menantinya di kursi yang sama di sebuah kedai kopi untuk mendengarkan semua kisah yang meluncur dari bibir tipis Fey.

Sang yang selalu memberinya tatapan teduh dan damai. Sang yang mulai mengembuskan desir-desir rasa yang berbeda.

***

"Fey, bukankah itu Sang?" Lisa, teman satu kantor Fey, menepuk lembut tangannya.

Fey terhenyak, jantungnya seakan mau copot demi melihat pemandangan yang sangat menohok. Sambil menekuri  sisa makan siangnya, Fey menangis dalam hati dan rasanya seakan diiris sembilu.  Ia merasa begitu bersalah kepada perempuan yang tersenyum bahagia disamping Sang dan kepada bocah tampan yang berada dalam gendongan lelaki itu. Selama ini Fey hanya mengkhawatirkan dirinya, semua hanya tentangnya, tidak tentang Sang. Fey mengusap luka di lehernya dengan tangan gemetar.

***

"Jangan pernah merasa bersalah atas apa yang telah terjadi padaku." Fey meraba bekas luka di lehernya sambil menatap air hujan yang jatuh menetes dari tepian atap kedai kopi dimana mereka ada di dalamnya.

"Apa maksud kamu?" Sang menatap Fey tajam, wangi parfumnya mengoyak-ngoyak perasaan perempuan usia akhir 20-an itu.

"Kamu memiliki kehidupan sendiri, dan aku tidak ingin menjadi batu yang membuatmu tersaruk."

"Fey, ada yang ingin kamu sampaikan kepada ku?" Sang bertanya lembut.

Fey menggeleng. "Semua sudah cukup Sang, kamu tidak perlu menemuiku lagi. Kewajibanmu telah tunai, luka ini bukan salahmu, kamu hanya menjalankan tugas. Sampaikan maafku kepada mereka karena aku telah merenggut banyak waktu yang kamu punya untuk mereka." Fey beranjak lalu bergegas pergi.

Sang menatap punggung Fey sampai menghilang ditelan keramaian,  lalu merogoh sakunya dan mengeluarkan sebentuk cincin dari dalamnya.

***

Fey menatap Sang dari balik jendela ruangan kantornya, lelaki itu tak jua pergi walau Fey telah menitipkan pesan kepada Lisa bahwa hari itu ia akan membereskan pekerjaannya sampai waktu yang tak bisa ditentukan.  Layu sebelum berkembang, itulah yang kini ia rasakan.  Namun itu lebih baik daripada ia harus menjadi orang ketiga.  Sang akhirnya pergi setelah ia menerima sebuah panggilan dari ponselnya.  Fey benafas lega.

***

Hari ini adalah hari ketujuh dimana Sang tidak lagi menemuinya, walau  rasa rindu mengetuk-ngetuk hatinya namun Fey mencoba untuk tidak menghiraukannya.  Semuanya telah usai, ia bukan siapa-siapa, bukan korban dan saksi kunci yang membutuhkan perlindungan.  Dan apa yang ia pikirkan selama ini benar, Sang tidak ingin menitipkan kisah hidupnya,  ia hanyalah bayangan yang melintas dimasa-masa suramnya.  Hilang ketika semuanya telah purna.

"Fey, aku pulang duluan ya." Lisa menepuk bahu Fey lembut, Fey mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya ke arah cangkir coklat panas  keduanya yang masih mengeluarkan asap tipis.

Tak lama berselang, Fey kembali merasa bahunya di tepuk.

"Ada yang ketinggalan, Lis?" Fey bertanya , tangannya sibuk mengaduk minuman coklat belgia itu.

"Sejak kapan namaku berubah menjadi Lisa?'  Suara bariton itu mengoyak gendang telinga Fey merambat menjadi desir-desir halus yang kini memenuhi seluruh relung hatinya yang terdalam.  Fey mendadak salah tingkah.

"Fey, ada yang mau kamu ceritakan kepada ku?" sang akhirnya mengeluarkan suaranya setelah beberapa saat menatap Fey.

Fey mengatur nafasnya lalu menggeleng.

"Hmm, kalau begitu aku saja."

Deg!  Jantung Fey seakan berhenti berdetak.  Inilah yang ia tunggu, sebuah kisah epik tentang keluarga kecil Sang yang selama ini disembunyikan oleh lelaki itu darinya karena masalah tugas.

"Fey, aku mencintai mu, apakah kamu sudi menerima rasa ini?"

Fey terkejut, ia merasa kebingungan.

Sang menyodorkan sebentuk cincin yang batunya berkilauan di terpa cahaya lampu. "Wanita yang aku sayangi ingin melihat seseorang yang aku cintai menggunakan cincin miliknya ini."

Fey menatap lelaki itu tak percaya. " Sang apa kamu sudah gila?"

"Gila? Mencintaimu apakah termasuk ke dalam katagori gila?"  Sang tersenyum simpul.

"Ya, apa kamu tidak pernah memikirkan perasaan wanita yang selama ini ada dalam kehidupan kamu dengan memberikan cincinnya kepada ku? Maaf Sang, aku bukan seseorang yang serupa itu."

"Walaupun rasa yang aku miliki sama denganmu namun aku harus melupakannya karena aku tak ingin merusak keadaan.  Kamu sudah memiliki kebahagiaan dengan keluarga kecilmu, janganlah dirusak dengan perasaan-perasaan sesaat yang mungkin akan hilang begitu saja."

Sang menatap Fey sambil mengetuk-ngetukan jarinya di meja lalu pandangannya beralih ke pintu kedai kopi yang terbuka.

"Ah ya, "mereka" yang dulu kamu maksudkan adalah mereka?" Sang menunjuk seorang perempuan yang tengah menggandeng putranya yang tampan.  Fey menahan nafasnya, ia beranjak dari duduknya namun Sang lebih dulu menangkap tangannya dan memintanya untuk duduk kembali.

Sang melambai kepada dua orang yang ingin Fey hindari itu. Perempuan ayu itu tersenyum kepada Fey.

"Fey, kenalkan ini Rima dan putranya, Sean.  Nah, yang baru masuk itu suami Rima, Liam."

"Mereka baru saja pindah kemari, Liam menitipkan Rima dan Sean kepadaku selama ia membereskan semua urusan pekerjaannya."

Semua yang ada di benak Fey sebelumnya menghilang memunculkan kembali helai-helai rasa yang pernah meraja.

"Dan ini adalah cincin milik ibu, salah satu wanita yang aku sayangi selain kamu."  Sang berbisik di telinga Fey sambil memasangkan cincin bertahtakan batu berkilau itu itu ke jari manis Fey.

***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun