Malam menjelang ketika Nara dan Rein sampai di tempat tujuan.  Beberapa warung jagung bakar yang berdiri di sepanjang Jalan Raya Lembang telah menanti mereka.  Dari tempat itu meraka dapat menikmati  lampu-lampu yang berkerlip indah di cekungan kota Bandung.
"Oh jadi ini tempat misteriusnya?" Rein manggut-manggut.
"Gak semisterius Alfred Hitchcock atau mungkin semengerikan Stephen King kan?" Nara tergelak.
"Ya mungkin sedikit merinding ala R. L Stine, bukan karena takut melainkan dingin. Aku belum pernah nongkrong di sini, ke Lembang biasanya sama anak-anak minum susu, makan roti bakar di Sumur." Â Rein merapatkan jaketnya.
"Oh tempat yang tadi kita lewatin itu ya?"
"Iya, kakak pernah kesini?"
"Beberapa kali, dulu pas tahun tahun pertamaku di sini dengan teman-teman kosan. Terakhir ke sini tahun lalu kalau gak salah, dengan Shia."
Rein menganggukkan kepalanya. Nara dan Shia memang sahabat karib, tapi sepertinya hubungan mereka merenggang semenjak ia dan Shia jadian dulu.
"Bandung malam hari bagus banget dilihat dari sini." kata Rein, wajahnya dipenuhi oleh ekspresi kekaguman.
"Aku suka suasana  gini." lanjutnya riang.
Nara mengeluarkan walkman Sony dari dalam tas sling Eiger-nya.
"Paling cocok adalah melihat kerlip lampu kota dari kejauhan sambil dengerin Air on The G String, Â coba deh, nih." Nara mengulurkan Walkmannya.
Rein mengerutkan keningnya heran. "Kakak bawa kasetnya Redi?"
"Iya, kamu gak notice ya? Pantes aja dompet bisa hilang, ceroboh."
"Kakak aja yang kayak maling."
"Eh nuduh aku?"
"Kan gak mungkin juga kayak ninja, ninja aja gak kayak kakak." Rein tertawa sambil memasang satu buah earphone di telinga kirinya, mengulurkan satu earphone yang lain ke arah Nara.
Nara menggeleng, Rein memaksa, ia memasangkan satu earphone ke telinga kanan Nara.
"Berbagi itu menyenangkan kak."
Air on The G String mengalun indah di telinga mereka. Â Lampu-lampu di bawah sana seakan ikut menari dengan nada-nada indah milik Johan Sebastian Bach itu. Â Nara benar, lampu-lampu itu seakan hidup, bagaikan beberapa ballerina yang tengah menari dengan gemulainya. Â Rein tersenyum, karena terbius dengan indahnya pemandangan dan lagu yang ia dengarkan, ia tidak menyadari bahwa Nara tengah menatap wajahnya.
"Etude nomor 3 dimainkan di E Mayor, gimana rasanya bisa memainkan komposisi itu kak?"
"Eh euh apa?" Nara terkejut lalu merasa gugup.
"Gimana rasanya bisa ada di panggung besar, duduk dihadapan grand piano yang juga besar dan di tonton banyak orang sambil mainin komposisi favorit aku ini?" Rein memejamkan matanya sambil menikmati komposisi milik Frederic Chopin itu dengan khidmat.
"Jed yang cerita?" tanya Nara.
Rein mengangguk. "Jed banyak cerita tentang kakak, dia sangat mengagumi kakak." kata Rein lirih.
Nara menghembuskan nafasnya panjang."Rasanya sangat menyiksa. Terpaksa menjalani sesuatu yang gak kamu suka, sementara ada hal yang kamu sukai menanti kamu di luar sana."
"Tapi kan kakak suka musik, ada yang salah dengan grand piano dan klasikan?" Rein melepas earphonenya, begitu juga Nara.
"Ada yang salah dengan rok?"
"Maksud kakak?"
"Ya kamu, gak suka pakai rok? Itu sama saja dengan aku gak suka main klasikan. Rok sama celana kan sama-sama pakaian tapi berbeda genre, begitu juga klasikan dengan grunge, iya kan?"
Rein tersenyum dan mengangguk-angguk.
"Hari itulah awal memburuknya hubunganku dengan papi."
Nara ingat, saat itu hari terakhir di bulan Desember yang merupakan hari dimana ia harus mengikuti pentas resital piano yang di selenggarakan setiap tahun oleh tempat les musiknya. Seperti saat-saat menjelang pentas resital lainnya, Â Nara melakukan ritual memandangi dirinya di cermin ukiran jepara milik maminya. Â Setelan jas hitam yang rapi beserta seuntai dasi berwarna merah melengkapi penampilannya malam itu.
Nara melihat jam tangannya berulang kali, ada selembar kertas di tangan kanannya. Terngiang kembali perkataan Leo tadi siang di ujung telpon.
"Ra, usahin lah ya, aku tahu resital itu penting buat kamu dan keluarga kamu, tapi acara kita juga penting kan, kita ini keluarga kan? Ini saat nya kita kasih lihat kalau grunge itu gak melulu Nirvana. Aku tahu kita bakalan gak dianggap nantinya tapi setidaknya kita menyuarakan apa yang ada dalam pikiran dan jiwa kita."
Nara sangat gelisah, sebenarnya ia sama sekali tidak tertarik dengan piano klasik. Seperti kebanyakan remaja seusianya ia lebih tertarik berkumpul dengan teman-temannya dalam sebuah band rock. Tapi papi telah memaksanya untuk les musik dengan spesialisasi piano klasik, dan hari ini adalah resital yang entah keberapa kalinya. Â Nara merasa piano klasik bukanlah apa yang ia inginkan.
Nara sibuk melihat jamnya lagi dan lagi, kini gilirannya maju ke stage berlatar serba hitam itu. Â Sebuah grand piano bertengger angkuh di hadapannya. Â Telah beberapa kali ia melakukan ini tapi masih saja ada rasa tak nyaman dalam hatinya. Â Nara duduk rapi di depan hamparan tuts-tuts piano yang terasa mengancamnya. Papi, Mami, Jed, Kanaya dan Kinanti terlihat ada di barisan terdepan menontonnya.
Nara menyelesaikan Etude No. 3 nya dengan baik, membungkuk dan tergesa meninggalkan venue itu ditengah gemuruh tepuk tangan yang membahana. Dengan secepat kilat, ia pun berlari keluar.
Kini Nara telah berada di atas stage yang berbeda, tidak ada alat musik yang bertengger angkuh disana. Yang ada hanya stage sederhana dengan kerumunan yang cukup padat.  Jas hitam masih menempel erat di tubuhnya membuat banyak anak-anak lain mengerutkan kening melihat penampilannya yang sedikit diluar kebiasaan anak-anak grunge yang lebih menyukai  kemeja flanel, jeans kumal, dan T Shirt seadanya.
Why Go dan Alive meluncur manis dari bibirnya sementara jemarinya sibuk memainkan nada-nada dengan riff-riff kasar milik Pearl Jam itu.
Tidak ada sambutan hangat dari kerumunan, mereka tidak terbiasa mendengarkan lagu dari band grunge satu itu. Â Tapi Nara, Leo, Widi dan Bimo tak mengubris mereka. Â Mereka tetap asik memainkan komposisi musik yang mereka sukai itu dengan indah.
"Grunge itu Nirvana, man! kalian salah pilih lagu." teriak seseorang dengan lantang ketika Nara dan teman-temannya turun dari stage. Tapi empat pemuda tanggung itu sama sekali tidak memedulikannya.
Tiba-tiba ada suara kasar menggelegar, mengejutkan siapapun yang mendengarnya.
"Oh jadi gini kelakuan kamu, meninggalkan resital hanya demi musik gak jelas kayak gini?" wajah papi nya terlihat merah padam menahan amarah. Â Nara bingung dari mana papinya tahu bahwa ia melarikan diri ke tempat ini. Â Lalu ia pun melihat Jed yang menyembunyikan wajahnya di belakang punggung papinya.
"Kamu main gitar? ini gitar kamu? Papi gak pernah membelikan gitar buat kamu."
"Aku nabung, Pi." jawab Nara lemah.
Dengan kasar papinya merebut gitar yang di tenteng Nara dan membantingnyanya, merusaknya di depan teman-temannya persis seperti adegan seorang gitaris yang tengah membinasakan alat musik petik itu setelah usai perform. Â Nara terkejut melihat gitarnya terkulai lemas di lantai. Â Hatinya hancur berkeping-keping seperti halnya gitar kesayangannya. Â Tidak hanya Nara tapi semua yang ada di tempat itu terkejut atas insiden itu.
"Aku menyukai musik rock terutama grunge, musik yang membuatku merasa lepas dan bebas, musik yang bisa mewakili semua perasaan gelisahku." tatapan mata Nara menerawang jauh.
 "Kamu tahu, susahnya menjadi anak sulung, kamu harus menjadi contoh yang baik bagi adik-adik kamu dan harus memenuhi semua ekspektasi orang tua kamu." lanjutnya.
"Papi gak tahu, Â kalau aku ngeband, tapi akhirnya dia tahu pada hari itu."
"Siapa yang kasih tahu?" Rein bertanya lirih.
"Jed."
"Kok?"
"Ya, papi paksa dia buat terus terang. Jed merasa bersalah tapi aku gak pernah nyalahin dia. Â Semenjak kejadian itu, Jed jadi adik yang baik bagiku, sepertinya dia ingin membayar apa yang pernah ia lakukan padaku sebelumnya, walaupun aku tidak menginginkan itu. Â Aku menyayangi dia tanpa syarat apapun."
"Aku masih ingat semua peristiwa buruk itu, sampai saat ini hubungan aku sama papi gak pernah seperti dulu lagi, Â bila bertemu kami masih seperti dua orang asing."
"Maksudnya kakak belum baikan sama papi?"
"Ada peristiwa lain yang membuat papi benci sama aku."
"Apa?"
"Panjang ceritanya, sudah malam pulang yuk."
Rein mengangguk. "Maafin aku kak, kalau tahu kakak bakal mengingat kejadian gak enak ini, aku gak bakalan memperlihatkan kaset ini ke kakak."
"Kalau kamu gak memperlihatkan kaset ini, aku gak akan pernah merasa lega seperti sekarang."
"Maksud kakak?"
"Berbagi itu ternyata benar-benar  menyenangkan, itu kata kamu tadi kan?"
Rein tersenyum.
"Rasa nya lega bisa berbagi cerita dengan kamu." kata Nara pelan.
"Kakak boleh cerita apa saja kepadaku."
Lalu mereka pun terdiam. Â Nara terlihat resah, ia memandangi wajah Rein lekat -lekat. Â Apakah ini waktu yang tepat untuk mengatakan kepadanya batinnya
"Rein, sebenarnya aku ..." Kalimat Nara terputus ketika mendengar Rein berseru.
"Ya ampun." Rein meringis sambil memegangi kakinya.
"Kenapa ?" tanya Nara bingung.
"Kram."
Nara memegang kaki Rein."Dingin banget kaki kamu."
"Aku memang berdarah dingin kak, tapi bukan kayak  Jack the Ripper ya." kata Rein sambil masih meringis.
Nara tersenyum. Dan mulai memijit kaki Rein dengan lembut. "Gimana? Sudah baikan?"
Rein mengangguk. "Makasih kak."
"Eh sebentar." Nara mengeluarkan sesuatu dari saku jaket jeansnya, dengan cepat melingkarkan sebuah gelang yang terbuat dari tali ke pergelangan kaki Rein.
"Apa itu kak?"
"Ganti gelang kaki kamu yang putus."
Rein menatap gelang kaki berwarna biru itu. "Dapat dari mana?"
"Ya dari tempat kamu beli dompet tadi."
"Loh kok aku gak merhatiin ya."
"Kamu kan begitu."
"Bagus, aku suka. Â Biru adalah warna favoritku, makasih kak."
"Sama-sama." Nara tersenyum.
"Eh tadi kakak mau ngomong apa? Sebenarnya apa?" tanya Rein dengan wajah polos.
"Oh tadi, enggak gak ada apa-apa kok." Sahut Nara berbohong, Ia mengurungkan niatnya karena ia sadar dan takut apa yang akan di katakannya malah akan membuat hubungan pertemanan mereka rusak.
***Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H