Mohon tunggu...
Ika Septi
Ika Septi Mohon Tunggu... Lainnya - Lainnya

Penyuka musik, buku, kuliner, dan film.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Di Penghujung Senja (29)

20 September 2017   16:12 Diperbarui: 18 Maret 2024   04:19 1158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : hopeforwomanmag

Shia mengamuk, pemuda itu mulai melemparkan benda-benda yang berada di dekatnya. Bagaikan hujan es yang turun dari langit. Uang receh, kaleng pewangi mobil, sisir, dan botol air kosong, semua berhamburan menyerbu ke arahnya. 

Rein menggigil ketakutan, dengan sisa keberaniannya, ia keluar dan berjalan cepat  meninggalkan pemuda marah itu.

Rein tertatih di keremangan malam, entah di mana.  Kosan Lea tidak terlihat sedikit pun di pelupuk matanya. Rein menoleh kebelakang, ia  melihat Shia tengah memutar mobilnya. 

Rein panik, akhirnya ia memberanikan diri untuk menyelinap ke sebuah gang. Dengan gerakan secepat kilat, ia menyusuri gang yang temaram,  jantungnya berdebug kencang.  

Ia tak tahu jalan sempit itu akan  berujung di mana.  Rein tak peduli yang penting ia harus menjauh dari Shia.

Rein sedikit lega ketika melihat bangunan besar berpintu banyak berdiri tegak  di hadapannya dengan lampu-lampunya yang bersinar terang.  

Perasaan leganya ternyata tidak membuatnya cukup waspada untuk melihat jalanan yang dilaluinya.  Ia terpeleset di antara undakan semen.

Rein tidak menyadari bahwa jalan di hadapannya lebih rendah. Ia pun terperosok, jatuh terduduk di keremangan malam.

"Hei, kamu gak apa apa?" Sebuah suara terdengar dari arah punggungnya

Tiba-tiba bulu kuduk Rein meremang, refleks ia memejamkan matanya.  Ia tidak mau menengok ke asal suara.  Bagaimana bila suara itu milik sosok tanpa wajah atau milik mahluk berwajah seram yang kakinya mengambang.

Ia masih ingat benar ketika mengalami  peristiwa yang aneh di kamar mandi kosan Umam.  Saat itu siang hari yang sepi, Redi yang kamar kosnya mempunyai kamar mandi di dalam belum pulang.  

Karena desakan kandung kemihnya yang menghebat, maka ia pun meghiba kepada Umam untuk mengantarnya ke kamar mandi namun ditolak  mentah-mentah oleh Umam.  

Kosan Umam memang agak horror. Tempat yang  terdiri dari kamar-kamar berukuran 3 x 4 meter itu tak memiliki kamar  mandi di dalam.  Hanya kamar Redi yang memiliki kamar mandi dan  mempunyai ukuran ruangan yang paling luas.Sebenarnya sejarah kepenakutan Rein diawali dari sebuah film layar tancap yang diputar di kampungnya ketika perayaan tujuh belas agustusan ketika ia masih duduk di bangku kelas 3 SD.  

Film  Indonesia yang bertema drakula itu sangat membekas di pikirannya terlebih di adegan ketika sang drakula yang sangat menyeramkan itu sedang mengintai mangsanya dari balik jendela.  

Dari situlah cikal bakal ketakutan Rein akan hal-hal mistis.  Parahnya kosan Umam ini  adalah salah satu tempat kos yang mempunyai cerita horror tersendiri. 

Suatu saat ada yang pernah melihat sosok laki-laki tinggi besar lalu  ada yang merasa diikuti oleh seseorang dari belakang dan ketika ditoleh  tidak ada seorang pun disana.  Lalu ada yang pernah melihat kuntilanak di antara pepohonan yang rimbun, itu semua katanya tapi tetap saja  membuatnya yang penakut menjadi makin takut. 

Akhirnya karena  terpaksa ia pun memberanikan diri pergi ke kamar mandi yang letaknya agak jauh dari kamar Umam. Ia harus menuruni beberapa anak tangga  yang terbuat dari semen untuk menuju ke sana. 

Terdapat dua bangunan kamar mandi, setiap satu bangunan terdiri dari dua buah kamar mandi dengan bak air yang bergabung. Jadi antara bak di ruangan satu dengan  yang lainnya tidak di tutup oleh tembok.  

Rein bisa melihat air bak di ruangan sebelahnya dengan menelengkan kepalanya di atas bak air.   Secara kebetulan ia iseng menelengkan kepalanya untuk mengintip bak mandi ruangan sebelah. 

Ia sendiri tidak tahu mengapa ia terdorong untuk melihat ke sana.  Ternyata bukan hanya air saja yang ia lihat melainkan ada seuntai rambut panjang hitam persis seperti milik para  gadis yang ada di iklan shampo yang terombang-ambing di atas bak mandi  itu. 

Tanpa ba bi bu, ia pun langsung keluar dari  kamar mandi itu. Matanya sempat melirik ke pintu kamar mandi yang  ternyata terbuka dan tidak ada tanda-tanda orang di dalamnya.  Terpontal-pontal, ia melarikan diri dari sana.

Dan kini Rein masih memejamkan matanya.

"Hei!"  Kini suara itu terdengar nyaring di telinganya. Jelas sekali bahwa sosok itu sekarang sedang ada di hadapannya, ikut berjongkok. Rein mulai  komat-kamit membaca ayat kursi dengan hot-nya.

"Rein?" Suara itu  mengenalinya.  Rein mengendikkan bahunya, merinding, bahkan setan  jadi-jadian pun tahu namanya, sepopuler itukah dirinya di mata para  setan.

"Rein, kamu kenapa? Hei buka mata, kamu kelilipan? Ini aku temennya Shia." Begitu mendengar nama Shia, Rein tambah merapatkan matanya. 

Bayangan Shia kini muncul kembali dan lebih menakutkan dari bayangan akan mahluk halus yang baru saja ia pikirkan sebelumnya. Rein  menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Kamu kenapa? Mata kamu sakit? Iya?"

Rein  mencengkram ujung roknya kuat-kuat seakan menahan rasa takut yang kini  menyelimutinya. Tapi cepat atau lambat, ia harus membuka matanya, mana mungkin ia akan berdiam disana sambil memejamkan mata sampai pagi hari tiba. Ia pun akhirnya angkat suara.

"Kamu siapa, kamu bukan setan jadi-jadian, kan?" tanya Rein dengan nada suara yang bergetar ala penyanyi R n B.

"Waduh!" Seru suara itu cepat.

"Pergi sana jauh-jauh, aku gak mau ketemu setan lagi!"

"Makanya buka dulu mata kamu, baru kamu tahu aku ini apa. Kalau aku setan,  lempar aja pake sepatu kamu, kayaknya setan manapun gak bakalan kuat nahan baunya."

Rein merengut.

Setan yang kurang ajar.

Tapi Rein mengikuti perkataan sosok itu dan melepas sepatunya cepat.

"Gimana? Siap buka mata? Cie duo tigo..."

Rein  berpikir,  kalaupun setan, ini pasti setan temannya Si Anton, buktinya berhitung saja harus a la Chikita Meidy. 

Lalu Rein pun membuka matanya,  di mulai dari mata sebelah kiri dilanjutkan ke mata sebelah kanannya.  Redup terlihat wajah ramah yang sangat familiar tengah tersenyum, senyum  Baldwin bersaudara.

Rein baru saja mau melemparkan sepatunya ke wajah orang itu, ketika dengan cepat orang di hadapannya memegang lengannya.

"Wey aku orang, aku kakaknya ..."

"Kakaknya setan, iya kan?"

"Kakaknya Rajendra."  Jawabnya lembut.

Tubuh Rein mendadak kaku mendengar nama Rajendra disebutkan.

 "Oh!" Rein berseru, pantas ia seakan mengenali senyuman itu.

"Kamu mau duduk terus di situ?"  Nara mengulurkan tangannya untuk membantu Rein berdiri.

Rein bangkit menepiskan tangan Nara.

"Aku bisa sendiri, makasih." Rein membersihkan roknya yang kotor oleh tanah dan memakai kembali sepatunya.

"Kamu mau kemana malam-malam gini, sendirian lagi, pakai rok?"

Bawel banget.

"Mau ke kosan teman."

"Di sini ngekosnya?"  Nara menunjuk tempat kos besar di hadapan mereka.

"Mmmh, enggak, disana."  Rein asal tunjuk. Ia tidak mau Nara tahu bahwa ia tersesat.

"Kalau disana,  itu kosan khusus cowok. Temen kamu cowok?" selidik Nara.

Asli, bawel banget.

"Eh maksud aku arahnya ke sana, tapi jalannya muter lewat situ." Rein menunjuk jalan yang ada di hadapannya.

"Oh lewat situ, yuk bareng.  Aku juga lewat situ kok, tempat kos ku ada di ujung jalan sana." tunjuk Nara.

Rein mengangguk mengikuti langkah lebar Nara.

"Habis menghadiri acara khusus ya, keliatannya beda dengan keseharian kamu." Nara memecahkan kesenyapan diantara mereka.

Kayak detektif, banyak nanya.

"Ya seperti itu lah."  Rein menjawab asal.

"Sendirian?"

"Gak, berdua sama bayangan."

"Oh dengan bayangan ya. Bayangan kamu kayaknya sudah pulang duluan ya, buktinya gak nolongin kamu waktu jatuh tadi."

Rein mengepalkan tangannya tanda kesal.

"Iya, ada perlu katanya," jawab Rein ketus.

Nara tersenyum sambil mengangguk-anggukan kepalanya.

"Ini tempat kos ku.  Kamu tahu kan jalan ke tempat kos teman kamu itu, apa mau aku temani?" Tawar Nara ramah.

"Gak usah, aku tahu kok jalannya, makasih ya."

Rein  melanjutkan perjalanannya,  ia terlalu gengsi untuk meminta bantuan Nara. Ia berpikir pasti kosan Lea sudah dekat, demi melihat jalan di  hadapannya yang melebar.  Tapi kearah mana, kanan atau kiri, Rein  tertegun, ia menoleh ke kanan dan ke kiri secara bergantian.

Terlihat ada beberapa orang yang sedang berjalan, apakah ia harus bertanya kepada mereka? tapi bahkan nama gang dari kosan Lea pun ia tak hafal. Rein menggaruk kepalanya yang tak gatal.

"Masih disini?" Sebuah suara kembali terdengar. Rein terlonjak, jantungnya seakan berhenti berdetak, ia menoleh ke belakang. 

Dia lagi.

"Emmmm, ini jalan ... eh jalan ini ..." Rein tiba-tiba menjadi sangat gugup.

"Kamu mau kemana, misterius banget, kan tinggal sebutin nama?" Nara tersenyum ramah.

"Mau ke Lea," bisik Rein lirih, akhirnya ia menyerah.

"Oh mau ke tempat Lea. Kalau ngomong dari tadi kan gak usah muter jalannya kayak sekarang." Nara tersenyum simpul.

"Yuk, lewat sini!  Kebetulan aku mau ke wartel dekat kosan Lea."

Rein  mengangguk, berjalan di samping Nara dengan wajah ditekuk, tangannya bersidekap. Malam ini terasa sangat dingin, cardigan rajutannya pun  tidak mampu menghangatkan tubuhnya.

Mereka menyusuri jalanan yang telah sepi. Rein tidak tahu sekarang jam telah menunjukkan ke angka berapa, yang ia tahu udara malam ini terasa sangat menusuk tulang.     

Kini ia mulai mengenali jalan itu, tanda kosan Lea telah dekat.  Wartel  yang berdiri tepat di mulut gang kosan Lea terlihat masih buka.   Rein  menghentikan langkahnya tepat di depan wartel yang mempunyai 4 kamar  bicara itu.

"Rein!" teriak Lea yang tiba-tiba muncul dari wartel itu.

"Eh, kok kamu disini?" Rein terkejut.

Kening Lea berkerut menatap Rein dan Nara secara bergantian sambil telunjuknya tak lepas menunjuki wajah mereka berdua.

"Tadi Shia ke kosan nyari kamu, kamu harusnya pulang dengan dia kan? Gak lama  giliran Jed yang nyari kamu dan sekarang kamu malah pulang dengan Nara?  Asli aku gak ngerti sama sekali dengan kamu Rein."  Lea protes sambil memelototi Nara dengan penuh selidik.

Nara menolehkan kepalanya, menatap wajah Rein yang terlihat salah tingkah.  

Dia seharusnya pulang dengan Shia? Kenapa Jed nyari Rein juga? Gawat!

"Ah, ayuk ah" Rein menyeret Lea dengan paksa. "Makasih, kak."  Rein berteriak kepada Nara.

Nara  menganggukan kepalanya, tapi pikirannya kini dipenuhi oleh tanda tanya. Rein seharusnya pulang dengan Shia, tapi kemana Shia? kenapa Rein dibiarkan pulang sendiri. 

Lalu mengapa adiknya mencari Rein juga? Nara menggeleng tanda tak mengerti. 

Tapi akhirnya ia pun mengetahui cerita sebenarnya setelah Shia mengeluh kepadanya atas prilaku Jed, beberapa hari setelah peristiwa itu terjadi.  

Dan seperti biasa Nara lah yang membereskan semuanya.  Ia meminta Jed untuk menjauhi  Rein (lagi) demi Shia, tapi Nara tidak tahu bahwa adiknya itu tidak  akan pernah menjauhi gadis itu (lagi).

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun