Shia mengamuk, pemuda itu mulai melemparkan benda-benda yang berada di dekatnya. Bagaikan hujan es yang turun dari langit. Uang receh, kaleng pewangi mobil, sisir, dan botol air kosong, semua berhamburan menyerbu ke arahnya.Â
Rein menggigil ketakutan, dengan sisa keberaniannya, ia keluar dan berjalan cepat  meninggalkan pemuda marah itu.
Rein tertatih di keremangan malam, entah di mana.  Kosan Lea tidak terlihat sedikit pun di pelupuk matanya. Rein menoleh kebelakang, ia  melihat Shia tengah memutar mobilnya.Â
Rein panik, akhirnya ia memberanikan diri untuk menyelinap ke sebuah gang. Dengan gerakan secepat kilat, ia menyusuri gang yang temaram, Â jantungnya berdebug kencang. Â
Ia tak tahu jalan sempit itu akan  berujung di mana.  Rein tak peduli yang penting ia harus menjauh dari Shia.
Rein sedikit lega ketika melihat bangunan besar berpintu banyak berdiri tegak  di hadapannya dengan lampu-lampunya yang bersinar terang. Â
Perasaan leganya ternyata tidak membuatnya cukup waspada untuk melihat jalanan yang dilaluinya. Â Ia terpeleset di antara undakan semen.
Rein tidak menyadari bahwa jalan di hadapannya lebih rendah. Ia pun terperosok, jatuh terduduk di keremangan malam.
"Hei, kamu gak apa apa?" Sebuah suara terdengar dari arah punggungnya
Tiba-tiba bulu kuduk Rein meremang, refleks ia memejamkan matanya. Â Ia tidak mau menengok ke asal suara. Â Bagaimana bila suara itu milik sosok tanpa wajah atau milik mahluk berwajah seram yang kakinya mengambang.
Ia masih ingat benar ketika mengalami  peristiwa yang aneh di kamar mandi kosan Umam.  Saat itu siang hari yang sepi, Redi yang kamar kosnya mempunyai kamar mandi di dalam belum pulang. Â