***
Jo memang menyebalkan, tapi satu, dua, tiga hari tanpa pemuda itu membuat perasaan Amara menjadi galau tak menentu. Ia merasa ada yang hilang. Rendra berkata bahwa ia sama sekali tak bisa menghubungi Jo. Terbayang lagi diingatannya akan semua peristiwa kemarin ini.
"Ini tidak adil." bisiknya lirih.
Malam itu Amara pun disibukan dengan DVD kosong dan akun You Tube Jo.
Siangnya entah kebetulan atau apa, baru saja Amara akan mengetuk pintu rumah kakek dan nenek Jo untuk menanyakan sebuah alamat, seorang lelaki berkumis tebal turun dari kendaraan dan menghampiri pintu yang sama.
***
Amara tengah asik berkutat dengan sketchbook-nya ketika ia merasakan sentuhan lembut dibahu kanannya.
Dihadapannya kini berdiri sosok pemuda yang beberapa malam ini kerap mendatanginya dalam mimpi. "Apa yang kamu katakan pada papaku?" Jo duduk, matanya tak lepas dari wajah Amara. Gadis itu tersenyum. "Bila kita benar-benar mencintai seseorang maka kita akan membiarkannya melakukan apa yang ia suka."
Jo menatap Amara jauh kedalam matanya lalu mengangguk.
"Dan aku pun akan membiarkan seseorang yang aku cintai melakukan apa yang biasanya ia suka dan tak akan membiarkan
"Confetti." Mereka berkata bersamaan dan saling tatap.