Sang perampas koin, ya, tak salah lagi, itu memang dia. Amara mendengus. Mengapa ia kembali ke kota ini? Dan Mengapa ia masih menyebalkan seperti dulu. Ia pasti telah lupa dengan perbuatan tak eloknya sepuluh tahun yang lalu. Namun aku tidak, begitu batin Amara.
"Maaf, sudah jam 5, toko akan tutup." Amara berkata dengan ketus sambil melirik pemuda yang tengah asik memilih plektrum yang terhampar diatas etalase.
"Menurut kamu, mana yang lebih bagus untuk gitarku?"
"Itu semua sama saja, hanya warnanya yang berbeda."
"Hmm, kamu salah, ini tak sama. Lihat, plektrum yang tipis ini cocok untuk gitar akustik ku karena akan menghasilkan suara yang lembut. Nah, yang tebal ini, pas digunakan untuk gitar elektrik, suara yang dihasilkan akan terdengar tebal dan keras."
Amara menyipitkan matanya, ia sama sekali tak butuh semua pelajaran tentang plektrum, sungguh menyebalkan.
"Itu sudah tau, kenapa kamu nanya aku, lagian itu kan gitar kamu, kamu yang lebih tau." Amara merepet naik darah. Pemuda itu tersenyum tipis dan menggeser plektrum pilihannya ke hadapan gadis yang roman mukanya mendadak menjadi super kusut itu.
***
Rasanya Amara ingin berada di kursi lontar pesawat tempur dimana dalam keaadaan tak menyenangkan seperti sekarang ini, ia akan menarik tuasnya dan membiarkan tubuhnya terpelanting keluar. Pemuda bernama Jo itu selalu datang di saat-saat kritis yang membuat Amara harus menunda barang beberapa menit berharganya untuk menutup toko. Setelah plektrum kini ia membeli satu set senar gitar akustik dengan bonus ceramah tentu saja. Menerangkan segala sesuatu tentang dunia persenaran, seakan ia adalah juru kuncinya.
***
"Ra, aku tinggal dulu ya, kamu boleh tutup lebih awal hari ini." Rendra menepuk bahu Amara.