Setelah mampir ke tempat kos Jed untuk mengambil gitar listriknya, mereka berlima pun akhirnya tiba di markas Punkhas Rambut yang merupakan rumah dari salah satu personilnya yaitu Rendra. Sesampainya disana, seakan tidak ingin ada waktu yang terbuang, mereka pun langsung mencoba formasi baru dari band mereka itu, di sebuah ruangan kedap suara yang terletak di lantai atas rumah Rendra.
"Diem dulu, merem," perintah Rein kepada Jed.
"Aku harus dandan kayak gini guys?" Tanya Jed kepada teman teman barunya.
"Harus dong, kalau kamu gak dandan nge-punk nanti semangatnya beda, belum lagi di tuduh penyusup." Rendra tertawa.
"Memangnya ada makna apa di balik pemakaian eyeliner ini Rend?" Rein penasaran.
"Itu  menunjukkan cara pandang kami yang suram terhadap lingkungan sekitar."
"Wah negative thinking dong." Protes Rein.
"Maksudnya, kami itu gak mau sesuram lingkungan kami. Kami harus bisa bertahan di lingkungan yang menurut kami suram. Maka itu kami punya motto do it your self, Â lakukan sendiri, gak boleh tergantung sama kelompok lain." Rendra menerangkan.
"Oh I see, I see." Rein mengangguk anggukan kepalanya.
"I see I see tuh ngerti gak?" celetuk Jed.
"Laah otak Habibie masa gak ngerti," sambar Rein.
"Tapi hati kompeni ya?"
"Maksudnya?"
"Nih ngejajah mata aku, pedih tauk."
"Laaah gini aja pedih." Rein menggoreskan eyelinernya agak keras ke kelopak mata Jed.
"Aw pelan-pelan." Jed memegangi lengan Rein ketika eyeliner yang di goreskan ke matanya menimbulkan sedikit rasa perih yang menyiksa.
"Ih manja banget sih, jadi cowok tuh yang toughdong. Kaum wanita pakai ginian gak banyak protes kayak kamu."
"Coba kamu pakai pasti gak kayak kaum wanita lain, pasti sama kayak aku." Â Jed memprotes.
"Yaiyalah, dia kan bukan wanita, Jed." Jimmy mendorong punggung Rein, Rein merengut.
"T-Shirt kamu ganti sama yang ini ya." Rendra melambaikan selembar T-Shirt hitam ke arah Jed.
"Musti ganti juga? T-Shirt ku kan sudah hitam." Â Jed menarik bagian leher T-Shirt nya.
"Iya tapi gambarnya Kurt Cobain." .
"Kurt Cobain kan dulu nya punker." Jed Menyeringai.
"Iya tapi sekarang kan sudah jadi dewanya grunge. Gak ada grunge kalo gak ada Cobain iya kan?"
"Menurut kakakku dewa nya grunge itu Neil Young karena Grunge itu akar nya sudah ada dari dulu, sejak tahun 70-an."
Rein melirik Jed, dahinya berkerut.
"Crosby, Still, Nash and Young?" Â Jangkrik menunjukkan telunjuknya pada Jed.
"Yap, kalau Cobain itu penerus atau pembangkit aliran ini yang telah lama tenggelam karena hingar bingarnya glam rock sama aliran kalian itu."
"Tapi banyak anak grunge yang Nirvanaisme banget. Mereka itu kalau gak bawain lagu Nirvana kayaknya gak afdol aja, fanatisme tingkat dewa," timpal Jangkrik.
"Nah itu dia, padahal band grunge sendiri kan banyak ada Pearl Jam, Sonic Youth, Soundgarden, Alice in Chains, The Melvins, Greenriver, Mudhoney." Â Jed menggaruk kepalanya.
"Mungkin berkat Nirvana lah grunge jadi naik lagi ya." Rendra memainkan stik drumnya.
"Seperti itulah kira-kira. Dan karena Kurt Cobain-nya sendiri yang telah pergi, dan membuat nama dia melegenda, di kenang terus sepanjang masa." Jed mengamini.
 "Lebih baik padam daripada pudar."  Rein berseru heroik.
"Betul Rein, buktinya popularitas sang legenda terus bertambah setiap waktunya ketika dia telah padam alias meninggal, kalau masih hidup kan popularitasnya bisa aja pudar, lalu ada kans untuk di lupakan."
"Klab 27." Rein kembali berseru.
"Kamu kayak ikutan cerdas cermat di TVRI aja Rein, apa itu klab 27?" Rendra tertawa.
"Itu julukan untuk sekumpulan musisi yang meninggal di usia 27 tahun, kayak Kurt Cobain, Â Jim Morison, Janis Joplin, Jimmi Hendrix, Mia Zapata dan beberapa lagi." Jed menerangkan.
"Bunuh diri semua?" Rendra kini terlihat penasaran.
"Gak juga, ada yang over dosis obat gak sengaja." sahut Jed.
"Mia Zapata di bunuh." Rein kembali nimbrung.
"Aku baru dengar nama Mia Zapata." Rendra mengerutkan dahinya.
"Ah masa. Zapata itu kan musisi punk cewek. Dia punya band namanya The Gits, masa kamu gak tahu Rend?" Rein protes.
"Rendra belum tamat baca buku tentang punknya Rein," sahut Jangkrik tiba-tiba sambil tertawa.
"Tahu aja kamu Krik, tapi menarik juga ya, usia 27 tahun kan usia produktif." Rendra kembali memainkan stik drum yang berada di kedua belah tangannya.
"Ya mungkin sudah suratan takdir Rend, gak ada yang bisa menolak takdir kan?"
"Kalau bunuh diri, apakah itu takdir juga?" Rein melemparkan pandangannya kearah Rendra.
"Menurut ku, bunuh diri itu takdir juga, tapi takdir yang gak di ridoi sama Tuhan.  Beda sama memakai T-Shirt bikinan kami ini, itu takdir yang di ridoi Tuhan." Rendra tertawa sambil memberikan T-Shirt hitam  bertuliskan kalimat Just say no to drugs kepada Jed.  Jed membuka T-Shirt nya dan menggantinya dengan T-Shirt yang di sodorkan Rendra.Â
"Wiih keren banget T-Shirt nya, ada pesannya lagi." Jed menunjuk kalimat yang menempel di dadanya.
"Ah, masih belum seberapa, ini mah hal kecil Jed, kami mampu nya baru sebatas membuat T-Shirt dan memakainya, dan berharap ada yang membaca." Beni membuka vest nya dan menunjukkan T-Shirt dengan tulisan senada seperti yang di pakai Jed.
"Sesuatu yang besar selalu di awali dari hal yang kecil, semangat ya, aku bangga bisa mengenal kalian semua." Jed berkata dengan lantang sambil menepuk pundak Beni.
Rein memegangi kembali kepala Jed membandingkan kembali goresan eyeliner dimata sebelah kiri dan kanannya dengan serius. Pemuda itu diam-diam memandangi wajah Rein, Ia tidak menyangka wjahnya bisa sedekat itu dengan wajah yang selalu mengunjungi malamnya secara tiba-tiba beberapa malam  ini.
Rein mengikat sebagian rambut gondrong Jed ke atas bak para samurai jaman Edo. Â Setelah selesai gadis itu kembali menatap wajah Jed, memutar mutar kepala pemuda itu untuk melihat hasil akhir riasannya. Sejenak tatapan mereka bertemu, Jed tersenyum, tapi Rein cepat-cepat memalingkan wajahnya.
"Done." Rein meraih cermin dan membiarkan Jed melihat hasil karyanya.
Jed tersenyum. Â Mata Jed yang agak sipit kini terlihat tajam.
"Bibir kamu mau sekalian di poles hitam?" tawar Rein.
"Gak mau, nanti aku kayak Marylin Manson dong, bukan punk lagi tapi death metal." Â Jed mengacungkan tiga jarinya.
Beni dan Jangkrik pun tertawa mendengar selorohan Jed.
***
Tempat yang mereka tuju itu terlihat meriah dengan para penonton yang berdandan heboh. Â Rantai dan spike ada di mana mana. Sejauh mata memandang terlihat warna hitam menggelora, dan sedikit warna warni cerah yang menyembul dari warna rambut para punkers itu. Â Rein takjub akan suasana di venue itu, ia belum pernah menghadiri acara musik sebesar dan seramai itu. Â Matanya seakan enggan berkedip, ia takut akan melewatkan sedetik saja kehebohan suasana di tempat itu.
"Rein, makasih ya." Â Jangkrik berbisik di telinga gadis yang masih takjub dengan apa yang ia lihat itu.
"Gimana? Jed cocok gak?" Rein bertanya dengan penuh semangat.
"Jed bisa ngikutin kita dengan cepat, dia bilang dia pernah mainin lagu lagunya Sex Pistol, kecuali untuk lagu yang kami tulis, sepertinya masih agak kurang."
"Mmm gitu ya, taruh aja dia di kegelapan kasih contekan."
Jangkrik tertawa lalu mengajaknya bergabung dengan teman-temannya yang telah berjalan mendahului mereka.
"Kamu gak peluk aku? Orang itu di peluk sebelum onstage?"  Jed melirik  Rein sambil menunjuk orang yang di maksud, T-Shirt hitamnya bertuliskan Kembang Setampan.
 Emang tampan.
"Kalau Jed di peluk, kita juga mau dong," celetuk Rendra usil.
"Baiklah mari berpelukan ala Teletubbies." Rein merentangkan tangannya.
"Asiikk"
"Bersama sama, mari kita berdoa."
"Yaaaah."
Mereka pun membentuk satu lingkaran kecil dan saling berangkulan.
"Ehm ..check check." Rein berdehem, semua mata memandangnya dengan galak
"Eh hehe oke, mari kita mulai. Ya Allah, lancarkan semua usaha kami, berilah kami kekuatan lahir dan batin untuk menghadapi semuanya. Jadikanlah band Punkhas Rambut ini, menjadi band yang di sayangi khalayak ramai. Berilah kesempatan anggota band ini untuk menjadi lebih tampan dari anggota Kembang Setampan."
Rendra tertawa tertahan sambil berseru Aamiin.
"Ya Allah, turunkanlah rahmat Mu kepada additional player band ini untuk bisa melakukan semua tugasnya dengan baik."
"Aamiin," seru mereka kompak.
Rein memandangi orang orang yang menonton dengan kehebohannya masing masing. Jimmy terlihat antusias, ia ikut berjingkrakan. Rein menatap Jed yang berada di atas sana, pemuda itu terlihat agak canggung.  Rein mendesah, perasaannya tiba-tiba menjadi tak keruan. Rein memikirkan apa yang akan Shia perbuat kepadanya bila ia mengetahui dirinya ada di sini bersama orang-orang yang tidak disukainya apalagi bersama Jed.  Rein merasa perutnya mendadak mual.  Ia meninggalkan tempat dimana ia berdiri dengan canggung.  Kini ia bersandar di tembok gedung olahraga  yang dingin itu. Suara detuman drum terdengar membahana. Hari ini adalah hari yang melelahkan tapi ia sama sekali tidak merasa lelah, hanya saja perasaannya yang sedikit tidak menentu.
Shia pasti akan tahu apa yang ia lakukan hari ini. Ia punya mata dan telinga di mana mana. Â Shia pasti akan marah besar. Ini malam minggu, dan Rein tidak meninggalkan pesan apapun kepadanya.
"Rein." Tiba-tiba ada suara yang memanggil namanya, Rein tersenyum.
"Anak anak lagi on stage tuh." Rein mulai mengenali wajah yang keluar dari keremangan malam.
"Kamu gak nonton?" Dandy menyandarkan punggungnya di tembok.
"Baru aja, agak gerah di sana."
Dandy mengangguk angguk. "Rein, sorry ya."
"Buat apa?"
"Buat semua tuduhanku tadi."
"Ah gak usah di bahas lagi, yang penting sekarang kamu ada disini, mau naik kan?"
Dandy mengangguk.
"Makasih ya, kamu telah membuka mataku dan menolong band ku walau ada yang kamu pertaruhkan."
"Gak ada perjuangan yang sia sia Dan, yuk." Rein menarik lengan Dandy untuk ikut masuk ke belakang stage bersamanya. Â Teman-temannya baru saja turun dan bergerombol untuk minum.
Rein memperhatikan mereka dari jauh ketka Dandy memeluk mereka satu persatu.
****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H