Mohon tunggu...
Ika Septi
Ika Septi Mohon Tunggu... Lainnya - Lainnya

Penyuka musik, buku, kuliner, dan film.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Lingkaran Lima #10: Aku Padamu

30 Mei 2016   14:27 Diperbarui: 13 Juni 2023   16:02 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gue dulu pernah bilang bahwa di lapangan basket lah cinta Lia bersemi. Sori dori mori gue bohong, yang bener sih cinta Jappar yang bersemi. 

Gue dulu bilang gitu buat menghilangkan konsentrasi si Jappar aja, biar jurusan gue menang di pertandingan basket yang kurang bergengsi karena tanpa piala atau medali segede parabola.

Setelah peristiwa di lapangan basket itu, Lia jadi sering check up ke dokter soalnya doi merasa bahwa tekanan darahnya menguat secara tiba-tiba bagai nilai rupiah yang di intervensi Bank Indonesia. 

Si Jappar udah bikin Lia darting karena dimana ada Lia di situ ada Jappar yang nongol-nongolin kepala.

Lain ladang lain ilalang, lain Lia lain pula Jappar. Kalo Lia kesambet hipertensi, si Jappar kerasukan hipotensi. Tekanan darahnya rendah serendah nilai gue di mata kuliah akuntansi. 

Jappar kurang darah soalnya jam tidurnya tersita buat mikirin Lia yang tiba-tiba ogah kasih senyum ke dia lagi. Padahal Jappar udah kebelet ingin jadi pengojek cinta, nganterin kuliah Lia, pulang pergi gak pake lama. 

Dan lagi-lagi gue lah sasaran protes mereka berdua. Ya, gue sih nerima aja di protes sana-sini, karena memang ini semua gara-gara gue yang punya ambisi berjingkrakan selain nonton konsernya si Moldy.

Walaupun dicuekin Lia, Jappar gak pernah nyerah. Tekadnya sekuat beton bertulang lunak yang paling enak kalo dimakan bareng sambel dadak. 

Ya, bisa dikatakan tekad Jappar untuk menaklukan Lia, sekuat tekadnya Mas Nunu dalam menjinakan hati Sandra Bullock eh maksudnya bom yang dipasang di bis yang disetirin Sandra Bullock.

Ngomongin Mas Nunu gak bakalan lepas dari Jappar. Dia Ini ngakunya adalah kembaran Mas Nunu yang terlempar ke dimensi lain entah dimensi besaran pokok atau turunan, terus balik lagi ke dimensi asal dan diadopsi oleh keluarganya yang sekarang. 

Gue pengen muntah dengernya, karena gue lagi masuk angin. Tapi lama kelamaan apa yang dikatain Jappar kayaknya bener juga. Di tilik-tilik pake mikroskopnya tim penilik dinas pendidikan dan kebudayaan, dia memang agak mirip-mirip sih sama Mas Nunu rips, walaupun cuma rambut landasan helikopternya aja.

***

Hari ini gue lagi-lagi ngeliat Jappar mengendap-endap di kantin Jurusan. Raut wajah Lia langsung berubah total. Lia ngelirik gue dari sudut matanya yang tajam. 

Gue sih pura-pura gak tau aja, sok kul gak karuan. Kata Lia dia lagi gak ingin berurusan dengan asmara apalagi asrama, karena dia udah punya kosan yang tempatnya endang gila.

Jatuh cinta memang selalu bikin orang jadi kreatif. Itulah yang terjadi dengan Jappar. Karena musim kompetisi bola basket sudah lewat, maka Jappar pun putar haluan bak nahkoda kapal yang melihat gelombang besar. 

Jappar sekarang menggunakan jalur kesenian buat meng-impres hati Lia. Kenapa? Karena menurut dia olahraga dan kesenian itu masih sodara seibu-sebapak.

"Dulu waktu SD ada pelajaran Orkes kan? Itu kependekan dari Olahraga dan Kesenian, Che."

Gue sih manggut-manggut aja sambil ngabisin nasgor sogokannya. Maklum, kalo kenyang gue langsung kena wabah oon tingkat dua.

Gue tadinya gak percaya kalo Si Jappar yang atlet basket itu gape juga dalam bidang kesenian terutama tarik-menarik suara. Gue kira dia hanya bisa dribble, shooting, dan rebound-ing biar gak keriting. Gue salah karena gue junior, cuma senior yang selalu benar.

Di band SMA, jabatan Jappar adalah vokalis. Kalo kata anak band disebut nya frontman.

Gue rada bingung sama istilah itu bila bersangkutan dengan Phill Collins. Dia vokalis tapi selalu ada di belakang. Jadi istilah frontman itu menurut gue relatip. Hanya jelek yang mutlak.

***

Hari ini kelas gue kuliah di gedung jurusan lain. Biasalah dosennya lagi punya hasrat buat ngungsi. Gak tanggung-tanggung ngungsinya ke lantai 2, mungkin beliau trauma sama banjir di jalanan depan komplek rumah mertuanya. 

Ibarat mau liat kawah Gunung Galunggung, gue harus menaiki ratusan anak tangga. Gue ngos ngosan setengah gila, maklum dari pagi gue belum isi tenaga.

Karena terbayang-bayang dengan sepiring nasgor hangat yang masih mengepulkan asap ke udara, gue paksa Lia buat duduk di deket jendela.

"Apaan sih Che." Lia sewot kayak biasa.

"Udah di sini aja, biar bisa liat pemandangan."

Lia keliatan curiga, tapi karena Pak Dosen keburu masuk, kecurigaan Lia akhirnya ditunda.

Di pertengahan kuliah, gue terpana. Antara halusinasi atau fatamorgana. Ada orang bergelantungan di pohon, dah kayak macaca sambil teriak-teriak berirama.

Hmm, kayaknya Si Jappar ingin menduplikasi aksi panggung vokalis kesayangannya yang kebetulan kesayangan gue juga yaitu Bang Eddie Vedder. 

Kalo EddVed yang konser di Pink Pop naik ke tower setinggi lebih dari 3 meter, Si Jappar cukup rendah hati, dia naik pohon aja biar gak di bilang nyaingin idolanya.

Sambil bergaya ala Kelly Slater, Jappar mulai mengeluarkan suara titaniumnya.

Hold on to the thread

The currents will shift

Guide me towards you

Know something's left

And we're all allowed to dream

Of the next time we touch.........

Busyet deh gaya Si Jappar, dia anggap pohon yang bergoyang-goyang adalah gelombang di Gold Coast Ostrali. Bener kata Ratna, kalo orang jatuh cinta itu bisa ngelakuin apa aja. Gue lirik Lia, ada senyum kecil di bibirnya. Tapi tiba-tiba.

GUBRAK.

Jappar jumpalitan ibarat tentara penerjun payung yang lagi mengharapkan wings. Dia jatoh dari pohon dengan gaya bedebum.

Lia sama gue nahan nafas, tapi gak lupa langsung dihembusin lagi.

“Oooh I'm still alive.” dendang Jappar sambil dadah-dadah ala Evita Peron ke arah Lia. Lia merengut, buang muka. Tempat sampah di kelas penuh seketika.

Gue kira insiden jatuhnya itu bakal bikin dia gulung tenda, matiin api unggun lalu pulang. Tapi ternyata enggak. Posisi dia yang masih rebahan di tanah di manfaatkan sebesar-besarnya buat bikin aksi selanjutnya. Jappar melakukan body surfing diatas rerumputan yang terlihat pasrah sambil tetap memuntahkan suaranya yang dahsyat.

Ooh, once upon a time I could control myself,yeah

Once upon a time I could lose myself, yeah

Once, upon a time I could love myself, yeah

Once upon a time I could love you, yeah.

Gue sakit perut nahan ketawa liat tingkah Si Jappar, sedangkan Lia tetep aja manyun.

Kuliah akuntansi gue saat itu jadi acak-acakan, padahal emang dari dulu udah acak-acakan. Sama dengan penampilan Si Jappar yang sekarang acak-acakan akibat body surfing bukan di tempat semestinya.

Dan ternyata konser live streaming masih berlanjut. Jappar mengacungkan sebuah karton menghadap ke atas. Dan kali ini dia teriak-teriak dengan gaya aktor demo bayaran.

Hear my name, take a good look

This could be the day

Hold my hand, lie beside me

I just need to say …

Lalu dengan gerakan sekilat petir menyambar, Jappar membentangkan karton yang ternyata bertulis LIA. AKU PADAMU Arial, Bold, 72ft, fotokopi perbesar lima kali.

"Hiih norak." Lia sewot.

Gue terkikik gak pake suara ala filmnya Charlie Chaplin.

Gak ada respon yang menyenangkan dari Lia, Jappar jadi sedikit patah semangat. Dia iketin kemeja flanelnya di kepala, penampakannya jadi kayak Yaser Arafat.

Lalu dia naik pohon lagi. Sang pohon sebenernya udah ogah dinaikin Jappar, dalam hatinya pasti ingin jadi pohon dedalu perkasa, biar bisa ngelempar si Jappar kayak nasib Harry Potter, Ronald Weasley sama mobil sedan bokapnya Ron.

Gue penasaran, mau nyanyi lagu apa lagi dia. Sambil bikin jurnal penyesuaian yang gak sesuai sesuai, gue tunggu siarannya, kayak nunggu siaran sandiwara radio Brama Kumbara Satria Madangkara.

Dan lagu menyedihkan itu pun meluncur dari bibirnya yang kering karena puasa senin kamis.

I know someday you'll have a beautiful life

I know you'll be a star

In somebody else's sky, but why

Why, why can't it be, why can't it be mine.

Dengan iringan Orkes melayu jiplakan soneta, Jappar ternyata menyuarakan lagu patah hati. Nangis darah dan bombay jadi satu. Gue gak tega liatnya, serasa nonton film Ari Hanggara.

"Che, ngapain sih tu orang, gak banget deh."

"Eh dia tuh ingin elu tau kalo dia bener-bener suka sama lu. Rela naik pohon sambil teriak-teriak kayak Tarzan. Jadi menurut Jane gimana?" gue pegang kepala Lia supaya gak berpaling dari aksi Si Jappar.

"Menurut Jane, don't care. Menurut Gogon gimana?"

"Menurut Basuki, Timbul, Jujuk, Nunung sampe almarhum Gepeng berilah dia kesempatan."

Lia mencibir.

Sekarang Jappar bertumpu di lututnya, tengadah sambil merentangkan dua tangannya. Aksi yang sangat dramatis, romantis, dan tragis.

Oh, dear Lia, can you see me now

I am myself, love you somehow

I'll wait up in the dark for you to speak to me

I'll open up...please, look at me...

Gue terbahak dalam hati, ternyata Gatot Soenjoto punya saingan dalam gubah-menggubah lagu.

Dan Lia pun mulai gatel-gatel bak ditongkrongin ulat bulu.

Rupanya Pak Djody mulai tergugah hatinya buat merhatiin gue dan Lia yang sebentar-bentar ngeliat ke luar jendela. 

Bukan Pak Djody kalo gak penasaran. Dia ikutan nengok keluar jendela dan shock berat karena mendapati ada seorang mahasiswa yang lagi jungkir balik kayak atlet gulat. 

Salto, backroll, koproll, kayang sampe sikap lilin. Pak Djody langsung buka jendela dan teriak.

"Sedang apa kamu di situ. Berisik. Saya sedang ada kuliah." Kalo giliran percakapan dosen, bahasanya harus baik dan benar.

Jappar nyengir liat ke atas lalu terdengarlah suaranya lagi.

"Pak Djody spoke in class todaayy."

Gue hampir pingsan nahan ketawa, sementara seisi kelas udah kumpul semua di jendela.

"Eeh, sudah sana pergi. Sana ... cepat jalan." Pak Djody ngusir lagi Jappar dengan suaranya yang semirip suara Peter Cetera, tapi langsung di sambar oleh Jappar.

Oooh, I will walk...with my hands bound

I will walk...with my face blood

I will walk...with my shadow flag

Into your garden, garden...oh...

"Garden garden, garden of Eden?" Pak Djody mulai terlihat jengkel.

"Garden of stone, pak." Gue gatel. Pak Djody muntab.

"Che, masih betah dengan huruf C ya?"

"Eeh engga,  Pak." Gue nyesel di belakang, soalnya kalo di depan namanya pendaftaran.

"Hei kamu, pulang sana!"

Dengan santai Jappar membereskan perlengkapan akrobatnya, sambil mengeluarkan suara yang sekarang terdengar serak-serak becek gak ada ojek.

Why go home? 4 x

fade away alias lama-lama bunyinya menghilang.

Pak Djody mengembuskan nafas lega.

Tapi belum sampai beliau ke meja, Pak Djody udah dipaksa untuk berjalan lagi ke jendela.

"Pak, Bapak... " Jappar teriak-teriak.

"Ada apa lagi?" Pak Djody geregetan, poninya yang biasa belah dua, sekarang jadi belah pinggir kayak sang menteri penerangan nan melegenda, Harmoko.

"Dua lagu lagi, Pak, tanggung, biar full satu album." Jappar nyengir, tangannya sibuk metik gitar akustik tanpa merk dan tanpa tanda jasa yang tiba-tiba udah ada di pelukannya.

"Album foto? Sudah sana pergi."

Dengan langkah gontai Jappar pergi. Gue kecewa karena dua lagu gak jadi tayang di konser "Ten" Pearl Jam abal-abalnya Jappar.

Sementara itu gue liat Lia sedangkan sibuk nulis di lembaran loose leafnya, ada senyum simpul di bibirnya.

***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun