Mohon tunggu...
Ika Septi
Ika Septi Mohon Tunggu... Lainnya - Lainnya

Penyuka musik, buku, kuliner, dan film.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Di Bawah Naungan Orion

4 Maret 2016   14:59 Diperbarui: 5 Maret 2016   18:46 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber Gambar: pertanianindonesiaku"][/caption]Rhea menatap langit yang berpendar oleh taburan cahaya bintang. Alnitak, Alnilam, Mitaka dan si bintang tua Betelgeuse yang berwarna kemerahan berkumpul dengan bintang lainnya membentuk Rasi Bintang Orion yang terlihat jelas di ufuk timur.

Ia menghirup udara malam yang dingin dan menghembuskannya perlahan. Aroma pewangi dari pakaian yang baru saja ia jepitkan di kawat jemuran menyapa hidungnya lembut.

Pandangannya menyapu ke segala penjuru. Pot-pot tanah liat yang berisi berbagai macam tanaman berjajar rapi membentuk sebuah pagar yang melindungi tempat itu. Hanya satu pot yang dibiarkan kosong tanpa tanaman di dalamnya. Pot itu seakan melambai ingin disentuh olehnya.

Sebuah bangku kayu bertengger angkuh di antara pohon mawar yang beberapanya telah berbunga. Rhea menatap bangku kayu itu dengan mata yang berkabut.

***

Malam itu begitu cerah bermandikan cahaya purnama lima belas. Rhea menapaki tangga kayu yang bilah-bilahnya terlihat mengilat tergerus tapak kaki. Ember berisi pakaian di tangan kanannya terasa sangat berat, yang membuat langkahnya sedikit terbebani. Bagi Rhea, malam hari adalah waktu yang tepat untuk menjemur pakaian. Ketika semua teman kosnya berleha-leha menikmati waktu istirahat, Rhea memanfaatkan waktu senggangnya untuk membereskan semua pekerjaan cuci jemurnya.

Napasnya sedikit tersenggal ketika Rhea sampai di atas dak berpelur semen itu. Ia meregangkan jemari letihnya. Angin malam membelainya mesra. Rhea merapatkan cardigan hitamnya segera. Ia memandangi bulan yang cahayanya mengalahkan sinar lampu TL. Nini Anteh terlihat bercengkerama dengan kucingnya di atas sana. Keduanya telah memberikan keindahan yang sampai ke muka bumi malam ini.

Tiba-tiba Rhea dikejutkan dengan suara tawa yang lirih. Bulu kuduknya meremang seketika. Siapakah gerangan yang tertawa? Tak mungkin Nini Anteh di atas sana kan? Suara itu kembali terdengar, dengan jantung berdegub kencang, Rhea melayangkan pandangannya ke empat penjuru mata angin dengan segera.

Di antara pot-pot yang tertata rapi ada sebuah sosok yang tengah terduduk lemas di bangku kayunya. Rhea memicingkan matanya memandang sosok yang berdiam di sana. Tetapi sinar bulan mendadak meredup ketika awan menghalanginya. Tanpa pikir panjang Rhea menuruni tangga kayu itu. Berlari untuk menyelamatkan diri.

Rhea mengetuk pintu kamar Miko dengan kencang, napasnya memburu. Seorang pemuda berkacamata keluar dari kamarnya.

"Mik, itu ada orang di sana." Rhea berkata dengan panik.

"Di mana? Di kamar kamu? Sini biar kuhajar." Miko menaikkan lengan kemejanya sambil berlalu di depan Rhea.

"Miko, bukan di kamarku. Tapi di atas sana."

Miko menaikkan kacamatanya yang melorot.

"Heuh kirain ada yang masuk kamar kamu, udah serius gini."

"Ini juga serius Mik, ada orang mencurigakan di tempat jemuran."

"Laah, itu mah gak mencurigakan."

"Kok?"

"Oh iya aku lupa, kamu kan baru pindah." Miko tertawa.

"Jadi itu beneran orang?"

"Laah iya lah."

"Terus ngapain dia di sana? Bikin kaget aja tau gak."

"Itu Bara. Anak Ibu kos."

"Haah?"

"Gak usah pake kaget gitu lah."

"Lantas ngapain dia di sana?"

"Laah biasa, mencari kesenangan untuk dirinya sendiri. Udah kamu cuek aja, dia gak bakalan ganggu kamu kok."

Rhea menggaruk kepala tak gatalnya.

"Udah deh percaya aja sama aku, sana lanjutin jemurnya. Mau aku temenin?" 

Rhea merengut dan menggeleng.

"Lagian nyuci malem-malem, masuk angin baru tau rasa." Miko ngeloyor masuk ke kamarnya.

Rhea kembali menapaki tangga kayu itu satu per satu. Pelan tapi pasti ia menengok ke arah di mana ia melihat sosok tadi. Dia masih di sana, diam tertunduk lesu. Rhea menjemur pakaiannya dengan waspada. Ia tidak ingin sosok itu tiba-tiba menerkamnya. Akhirnya tugas Rhea selesai juga, dengan mengendap-endap ia tinggalkan tempat itu. Sesekali ia menoleh ke belakang.

Sepanjang malam itu, Rhea tidak dapat nemejamkan matanya. Pikirannya berkelana ke mana-mana.

***

Malam berikutnya, Rhea kembali menemukannya di sana. Kadang bergumam, kadang tertawa. Rhea melihat itu semua dari sudut matanya. Ada apa dengan orang itu? Apakah dia gila? Mengapa ibu kosnya yang tinggal beberapa ratus meter dari tempat ini tidak pernah mencarinya? Banyak sekali pertanyaan yang berkecamuk di pikiran Rhea. Semua teman kosnya hanya tersenyum ketika Rhea mengajukan pertanyaan itu. Mendadak semua menjadi bisu.

***

Purnama telah berlalu, menyisakan bentuknya yang menyabit di atas sana. Rhea melirik pemuda bernama Bara itu. Duduk di atas bangku kayu dengan kepala terkulai lemas. Mendadak Rhea menjadi sangat penasaran. Dalam diam ia memperhatikan Bara. Bara memegangi perutnya, sesekali ia terlihat akan memuntahkan sesuatu dari mulutnya. Rhea terkejut, dengan sigap ia menghampiri pemuda bertubuh kurus itu.

"Kamu gak apa-apa?"

Bara menatapnya dengan tatapan yang menyeramkan. 

"Siapa kamu?" Bara bertanya yang membuat tubuh Rhea menjadi terasa kaku.
"Aku... Aku... Rhea, aku ngekos di sini."

Bara terlihat kepayahan.

"Pergi sana, jangan ganggu aku. Aku gak mau kamu ada di sini."

"Tapi kelihatannya kamu sakit...."

"Gak usah sok perhatian lah, PERGI!"

Rhea terkejut dengan bentakan Bara. Belum pernah ia dibentak seperti itu oleh orang yang tak dikenalnya. Rhea pun pergi meninggalkan pemuda yang penampilannya jauh dari rapi itu.

***

Rhea bergegas menaiki tangga kayu itu. Matahari telah berada di ufuk barat. Rasa lelah telah membuat tidur siangnya melebihi batas. Pakaian di kawat jemuran itu terombang-ambing di tiup angin sore. Rhea melihat beberapa tanaman yang berada di pot. Mereka layu. Diraihnya selang yang terhubung dengan keran air. Rhea mulai menyirami tanaman itu. 

"Kamu boleh menyiram tanaman ini, tapi jangan pernah menyentuhnya." Rhea terlonjak mendengar suara yang datang tiba-tiba di telinganya. Selang air di tangannya menjadi liar tak terkendali.

"Hei, kenapa kamu jadi nyiram aku. Aku kan bilang tanaman ini." Bara menyimpan sebuah pot tanaman di samping bangku kayu.

"Eh maaf, gak sengaja."

Bara meliriknya sekilas dan pergi meninggalkan Rhea.

Rhea menatap tanaman baru itu, baru kali ini ia melihat tanaman berbentuk seperti itu.

***

Malam ini Rhea tidak mencuci tapi tetap saja ia menapaki tangga kayu itu. Bangku itu kosong tanpa penghuni. Rhea pun mendaratkan tubuhnya di sana. Tanaman baru itu bergoyang-goyang ditiup angin malam. Rhea berjongkok, memandangi daun-daun nya yang runcing. Baru saja ia akan membelai daunnya ketika sebuah suara berteriak lantang.

"Jangan sentuh itu. Aku kan sudah bilang, kamu boleh menyentuh semua tanaman di sini kecuali yang satu itu." 

Rhea terlonjak kaget. Ia langsung berdiri dengan kaku dan mundur beberapa langkah.

"Memangnya kenapa aku gak boleh menyentuhnya? Itu tanaman langka?"

"Apakah harus selalu ada alasan untuk sebuah larangan?" 

"Tentu saja."

Bara tersenyum sinis dan duduk di bangkunya.

"Tapi mereka tidak...."

"Mereka? Maksud kamu?"

"Kedua orang tuaku."

"Memangnya mereka melarang apa?"

"Melarangku untuk bertanya ada apa dengan mereka."

"Pasti mereka punya alasan untuk tidak mengatakannya."

"Huh, orang-orang yang egois."

"Mungkin itu demi kebaikan kamu."

"Kebaikan? Ketidakpedulian tepatnya. Tinggalkan aku sendiri. Angin malam gak baik buat kamu."

Rhea pergi dengan langkah yang berat meninggalkan pemuda yang kini duduk santai di bangku kayunya.

***

Hampir setiap malam Rhea bertemu Bara di tempat itu. Seperti biasa kadang Bara tertawa sendiri, tapi terkadang mengajaknya bicara. Rhea kerap menatap matanya yang dingin dan sepi. Mata cokelat yang membuat Rhea selalu ingin menatapnya.

***

Rhea terbelalak mendapati tanaman milik Bara, daun-daunnya terlihat gundul. Rhea sangat panik. Siapa yang berbuat ini? Pasti Bara akan marah besar kepadanya. Selama ini Bara selalu melihat Rhea menyirami semua tanaman ini. Ia pasti akan menuduhnya melakukan ini semua.

***

Malam ini adalah malam kedua Rhea memandangi tanaman milik Bara yang telah gundul. Kini ia tahu mengapa tanaman itu tidak berdaun lagi, Miko akhirnya menceritakan semuanya. Bara datang dan seperti biasa duduk di bangku kayunya. Rhea melirik pemuda itu, penampilannya rapi tidak seperti biasanya. Bara mengeluarkan sebuah kotak yang terlihat seperti kotak rokok dari saku kemeja hijau army-nya. Meletakkan benda itu dengan asal di sampingnya. Rhea menjadi sangat penasaran dibuatnya, ia memandangnya secara diam-diam di antara pakaian yang masih meneteskan air secara berkala.

"Rhe...." Bara memanggilnya.

Rhea membeku, pasti Bara akan bertanya tentang tanamannya.

"Sini." Bara menepuk ruang kosong di sampingnya.

Rhea masih saja diam di tempatnya. Bara bangkit, menarik lengan Rhea untuk duduk bersamanya. Sebuah desiran halus menjalari hatinya.

Bara menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan pelan. 

"Rhe, maukah kamu menolongku?”

“Menolong apa? Tentu saja bila aku bisa.”

“Menolongku untuk menjadi saksi, yang nantinya dapat menceritakan kepada dunia tentang seorang anak yang tidak lagi dipedulikan oleh orang-orang yang dikasihinya."

Rhea mengerutkan keningnya. "Maksud kamu?"

"Ceritakanlah bahwa seorang anak berhak untuk mendapatkan apa yang menjadi haknya."

"Aku...." Rhea masih tidak mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Bara.

"Jangan pergi, temani aku di sini ya."

Bara mengeluarkan sesuatu dari saku celana jeans-nya dan mulai menggerakkan benda kecil itu ke pergelangan tangannya. Rhea terkejut, sebuah cutter menempel di pergelangan tangan Bara. Tanpa pikir panjang, Rhea merebut cutter bergagang hitam itu lalu membuangnya entah ke mana.

"Apa yang kamu lakukan?" Rhea berteriak panik. Setitik darah segar keluar dari luka gores yang sempat Bara buat. Dengan sigap Rhea membuka cardigan-nya dan menjadikan lengan cardigan-nya untuk menutup luka Bara.

"Kenapa kamu gak biarin aku aja Rhe. Bukankah kamu juga gak suka dengan kehadiranku di sini?" Bara menatap Rhea dengan matanya yang mulai memerah.

"Aku lelah Rhe, hidup hanya membuatku menjadi orang yang tak berarti. Tidak ada yang peduli denganku. Lebih baik aku pergi."

"Pergi tidak akan menyelesaikan masalah, Ra. Kepergianmu hanya akan menambah masalah baru bagi orang-orang yang mengasihi kamu."

"Gak ada orang yang peduli denganku, apalagi mengasihi aku. Semua orang membenci kehadiranku, menjauhiku, memandangku bagai anjing kudisan yang tidak layak untuk cintai."

Rhea memandang pemuda yang kini menatap langit malam itu.

"Kamu salah Ra, masih ada seseorang yang peduli dengan kamu, seseorang yang merasa bahagia dengan kehadiran kamu."

Bara mengalihkan pandangannya dari langit ke wajah Rhea.

"Seseorang yang akan mendukung kamu dan menemani kamu. Seseorang yang ingin menggantikan posisi benda ini dalam kehidupan kamu." Rhea mengacungkan kotak yang tadi Bara letakkan di sampingnya.

"Aku peduli dengan kamu Ra. Jangan pernah meragukan gadis yang menjemur pakaiannya di malam hari."
Bara menatap Rhea, jauh ke dalam matanya, tersenyum, tertawa lalu terisak menumpahkan semua perasaan yang selama ini menggumpal dalam hatinya.

***

Rhea duduk di bangku kayu itu, menatap kembali pot tak berpenghuni milik Bara. Tanaman itu telah dicabut oleh pemiliknya sesaat sebelum ia pergi dan tak pernah kembali hingga kini. Lima belas hari telah terlewati, Rhea mendadak menjadi sangat khawatir. Dia tidak pernah tahu apa yang terjadi dengan Bara. Pintu informasi seakan tertutup rapat untuknya. Rhea melayangkan pandangannya ke langit yang luas dan mulai mencari.

“Apakah si tua Betelguese terlihat jelas?" Tiba-tiba Bara telah duduk di samping Rhea.

Jantung Rhea seakan berhenti berdetak. Ia telah kembali. Ada rasa lega yang menyelimuti hatinya.

Rhea tersenyum, "Ya, sebagai tanda agar seseorang dengan mudah menemukan Orion."

"Tapi aku tak ingin lagi mencari si tua untuk menemukan Orion. Karena kini aku telah menemukan bintangku sendiri, bintang yang sinarnya lebih cemerlang dari bintang mana pun. Dan berharap dia bersedia membentuk sebuah rasi baru bersamaku."

Rhea menatap jauh ke dalam mata pemuda itu. Mata itu kini tidak lagi terasa dingin dan sepi. Mata itu memancarkan cahaya kemilau yang menariknya untuk berkata iya.

Di bawah naungan rasi bintang Orion, ada dua bintang yang kini mulai saling menyinari satu sama lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun