Mohon tunggu...
Ika Septi
Ika Septi Mohon Tunggu... Lainnya - Lainnya

Penyuka musik, buku, kuliner, dan film.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Nothing Else Matters

25 Februari 2016   16:36 Diperbarui: 26 Februari 2016   13:29 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jai Guru Deva. Om.
Nothing's gonna change my world.

Suara John Lennon yang membawakan lagu Across the Universe mengalun lembut di telinga Bumi. The Beatles selalu memberi nuansa nyaman pada jam jam istirahat di kamarnya, setelah hampir 7 jam berkutat dengan jadwal perkuliahan yang padat. Telah setahun ini Bumi mendiami kamar kos nya yang tenang, tanpa ada gangguan yang berarti. Tapi sesuatu yang lain kini mulai menyerang ketenangannya. Sesuatu yang membuat telinganya menjadi keriting.

Baru saja Bumi akan memejamkan matanya, ketika tiba tiba dari dinding sebelah kamarnya terdengar suara detuman drum dan lengkingan gitar yang membuat Bumi terlonjak seketika. Ada apa ini, sejak kapan kosan ini menjadi sangat hingar bingar tak karuan seperti sekarang ini. Ia pulang kampung hanya 2 hari, dan apa yang terjadi selama 2 hari ini? Apakah si bapak kos mulai menerima anak buah Marlyn Manson untuk tinggal di tempat ini ?

Bumi bangkit dari pembaringannya, memutar gagang pintu dengan kasar. Suara musik itu kini mulai terdengar jelas, menusuk nusuk telinganya tanpa ampun. Ia bersiap akan mengetuk pintu bercat coklat itu, tapi ia urungkan ketika melihat Tony, tetangga sebelah kamarnya datang dengan langkah gontai.
Tony tengah mengurai tali sneakers buluknya ketika Bumi mulai mencecarnya dengan pertanyaan.
"Ton, tu kamar di pake siapa sih?"
"Orang baru ya?"
"Kamu udah kenal?"
"Cowok mana?"
Tony yang di cecar pertanyaan yang seakan tak berujung itu menatap Bumi tanpa berkedip.

"Ton?"
Tony mengeplak lalat yang menempel di hidungnya yang berjerawat.
"Siapa bilang dia cowok." Hanya itu yang dikatakan Tony sambil ngeloyor pergi ke dalam kamarnya yang acak acakan tiada terperi.
"Cewek?" Bumi duduk di ranjang Tony yang terlihat bagaikan tumpukan baju di keranjang obralan toko pakaian.
"Yaeyalah cewek, lawan kata cowok kan cewek." Tony sewot, ia menjatuhkan dirinya di lantainya yang berkarpet hijau.
"Cewek kok dengerin musiknya kayak gitu? Gak salah?"
"Lha kenapa kamu jadi protes sama aku? Noh, protes sama dia."
"Bukan protes, tapi heran aja."
Sekarang giliran Bumi yang sewot lalu pergi meninggalkan Tony yang telah mendengkur dengan keras.

****

Dua Hari ini, Bumi menjadi sangat penasaran dengan penghuni kamar sebelah. Ia belum pernah melihat penampakannya barang sekilas saja. Keberadaan tetangga kamar kos nya ini hanya di tandai dengan suara musik yang kerap Bumi dengarkan. Untuk sengaja berkenalan, Bumi merasa gengsi. Perasaan ingin tahu nya tidak membuatnya menjadi harus jelalatan tengok sana sini.

****

Pagi itu sinar mentari memasuki kamar Bumi dengan garangnya. Bumi bergegas menyemprotkan parfum ke seluruh tubuhnya alih alih mandi. Hari ini ia bangun kesiangan lagi Setelah semalaman begadang mengerjakan tugas dari Dosen Fisika Tehnik nya. Ia memandangi wajahnya di cermin persegi yang berhias ukiran jepara milik ibunya. Biarpun tidak mandi, ia harus tetap terlihat segar. Ia lalu menyemprotkan spray penyegar wajah milik kakak perempuannya yang beberapa waktu lalu tertinggal di kamarnya. T shirt bergambar The Beatles menempel erat di tubuhnya. Hampir semua Koleksi Tshirt milik Bumi bertema band kesayangan nya itu. Begitu tergila gilanya Bumi kepada band asal Liverpool itu sampai sampai semua barang yang ia punya di tempeli dengan stiker The Beatles.

Bumi tengah mengunci pintu kamarnya ketika dari sudut matanya terlihat pintu kamar sebelah terbuka lebar. Ingin rasanya menengok sejenak untuk melihat penghuninya, tapi semua itu tidak terjadi karena pintu itu tiba tiba di banting dari dalam.

"Busyet, gak musiknya gak kelakuan nya, bikin darting aja." Bumi bergumam sambil ngeloyor pergi.

****

Malam ini begitu damai, tak ada suara berisik dari kamar sebelah. Bumi memandangi poster the Beatles yang tertempel di dinding kamarnya. John, Paul, Ringgo dan George tersenyum ramah kepadanya. Ia urung menekan tombol Play pada componya, ketika ia mendengar suara langkah kaki yang berderap di luar kamar. Bumi bangkit dari ranjangnya, menyibak kan gorden jendela kamarnya dan memeriksa siapa gerangan yang datang. Dari celah sempit gorden yang ia buka, ia melihat beberapa orang berpakaian serba hitam dan berambut panjang duduk di pinggiran teras kamarnya.

Ini pasti rombongan teman teman si tetangga sebelah.

Sejenak ia mulai membayangkan sosok tetangganya itu. Berambut panjang acak acakan, selalu berpakaian hitam, memakai lipstik, eyeliner, kuteks yang semuanya serba hitam, telinga dan hidungnya di piercing, lalu menangkringkan kelelawar di bahunya. Hiiyy, Bumi merinding sendiri dengan gambaran egois yang ia buat di kepalanya.

****
"Kamu tau gak dia lagi muter lagunya siapa?" Tony merebahkan tubuhnya di ranjang Bumi yang rapi.
Bumi menggeleng acuh tak acuh. "Sorry, bukan aliran." Bumi menjawab dengan ketus, matanya sibuk bergerak ke kiri dan ke kanan, memainkan game sepak bola yang ada di layar monitornya.

"Hmm payah, tau nya cuma The Beatles doang sih.",
"The Beatles itu adalah legenda. Kakek moyang dari band band yang sekarang malang melintang di dunia permusikan. Terus lagu siapa ini? Emang tau?"
"Yaeyalah tau. Kamu lupa ya kalo aku kan suka dengerin lagu lagu kayak gini. Kamu aja dulu yang rese, marah marah gak jelas."

Bumi tertawa geli. Tony dulu memang sering ia marahi bila cowok keriting itu sering memutar musik keras dengan volume yang keras pula. Tony pun tidak terima, mereka sempat cekcok sampai melibatkan bapak kos sebagai mediatornya. Akhirnya mereka berdamai dengan di tandai dengan pemberian headphone oleh Bumi untuk Tony.

"Jadi lagu siapa?" Bumi masih tertawa geli.
“Ini kan lagunya Bruce Dickinson, eh Iron Maiden, 2 minutes to midnight."
"Ooo gitu ya, iya deh percaya."
"Iya harus percaya, ngantuk ah, ikut tidur ya."
Bumi melempar Tony dengan diktat yang ada di dekatnya sementara Tony sudah bablas ke alam mimpi.

Bumi kembali menekuri layar monitornya, kini ia memainkan game balapan motor. Gerakan tangannya sangat tangkas, musik dari kamar sebelah seakan memacunya untuk memenangkan balapan itu. Bumi berteriak girang, ketika akhirnya ia memenangkannya setelah sekian lama di kalahkan oleh tokoh di dalam komputernya.

****

Gadis berpakaian hitam itu menyeringai kepadanya. Kuku kuku nya yang hitam terlihat begitu mengancam di jemari tangannya yang terbuka lebar. Bumi terkejut dan jatuh terpelanting ke belakang ketika gadis itu mulai menghampirinya. Tatapan gadis itu menusuk tajam ke arah jantungnya. Sementara itu, beberapa kekelawar berterbangan di sekelilingnya. Bumi melindungi lehernya dengan kedua tangannya. Ia tidak mau bila tiba tiba gadis itu menerkamnya untuk meninggalkan dua tanda gigitan di lehernya. Mulut Bumi komat kamit membaca doa, alih alih mundur, gadis itu malah menyerbu ke arah Bumi dengan ganasnya. Bumi berteriak sambil lari pontang panting, ia tidak melihat ada batu besar menghalangi jalannya. Ia pun terjungkal, jatuh dari ranjangnya.

Bumi bernafas lega, ternyata itu semua hanyalah mimpi buruk di siang hari bolong. Siang? Bumi terperanjat, spontan ia menengok jam di tangannya. Dengan gerakan secepat kilat, ia bangkit, menyambar tas nya dan bergegas keluar kamar. Terbayang di matanya, raut wajah pak Binsar, yang lebih mengerikan dari mimpi buruknya tadi.

Diantara gaya blingsatannya, Bumi bertabrakan dengan seseorang. Bagaikan asteroid dan planet mati yang bertubrukan, menghasilkan sebuah dentuman hebat di jantung Bumi. Gadis itu menatapnya tajam dari balik helaian rambut yang menutupi sebagian wajahnya. Tidak ada senyuman yang tersungging dari bibirnya. Dengan acuh, gadis itu pun berlalu. Bumi menoleh, menatap punggung yang semakin menjauh. Bumi mendengus sambil merapikan kemeja yang melapisi T Shirt nya dengan segera.

Orang yang aneh.

****

Suara musik itu begitu menghentak, menggetarkan gendang telinganya. Konsentrasi Bumi langsung buyar seketika. Emosinya sudah naik ke ubun ubun, ia tutup diktatnya dan mulai beranjak keluar kamar. Tapi baru saja kakinya berada di ambang pintu, musik itu telah berhenti.

Bumi mendengus kesal, ia tak habis pikir ada perempuan yang menyukai musik musik keras yang menurutnya tak berirama itu. Perempuan itu kan identik dengan kelembutan, keteraturan, dan semua hal yang mengikutinya, bukan kehingar bingaran yang tak karuan.

"Kenapa kamu uring uringan terus setiap hari? Udah kayak pak Raden yang ketakutan pohon jambunya di rontokin si unyil aja." Tony lagi lagi telah pasang posisi di ranjang Bumi.
"Kesel sama tetangga sebelah. Dia tu cewek apa alien sih? Bener bener nyebelin dan gak berperasaan. Gak tau apa tetangganya lagi ngerjain tugas."
Tony terbahak.
"Makanya bikin pengumuman sama dia, kalo kamu lagi ngerjain tugas. Atau labrak aja dia sekalian kayak kamu ngelabrak aku dulu, berani gak?" Tony terkikik."Pake gak berani segala."
"Tapi kamu belum lakuin kan? Takut di gigit kelelawar piaran dia ya?" Kini Tony tertawa sampai berguling guling.
"Masalahnya tiap aku mau labrak, musik dia langsung berhenti."
"Itu namanya jodoh, Bum."
"Jodoh? Ngomong sana sama tembok." Bumi sewot.

****

Malam itu begitu dingin, tetes hujan masih jatuh satu persatu. Bumi merapatkan jaket jeansnya dengan segera. Jarum jam di tangannya menunjukkan pukul 11 malam. Kereta yang membawanya kembali ke kota ini mengalami keterlambatan. Gerbang kos an nya telah terlihat di pelupuk matanya. Rasa kantuk menyergapnya tiba tiba, membuatnya berjalan dengan sempoyongan.

Sampai di gerbang, ia melihat seseorang yang sedang terbungkuk bungkuk di depan kamarnya. Bumi bertanya tanya, siapa gerangan yang berada di depan kamarnya itu? Sosoknya tidak ia kenal sama sekali. Orang itu seperti mengangkat sesuatu yang agak berat. Bumi menyipitkan matanya untuk memfokuskan penglihatannya. Sekilas ia melihat huruf huruf yang membentuk kata The Beatles di sana.

Itu kan CPU ku.

“Woi, maling.” Bumi berteriak.

Bagai di komando, sosok itu berlari secepat kilat tanpa mengindahkan teriakan Bumi. Spontan Bumi lari mengikutinya, tapi back pack nya yang berat membatasi ruang geraknya. Tiba tiba Bumi melihat sosok itu jatuh terjungkal, ada seseorang yang telah melumpuhkannya dengan tiba tiba. Bumi menghampiri kedua sosok itu. Sang maling terlihat tak berdaya, tangannya di kunci oleh seseorang yang mendudukinya. Bumi mengerjapkan matanya tak percaya.

“Itu CPU kamu?”
Bumi mengangguk cepat.
“Ini malingnya mau di apain?”

Bumi menggeleng bingung. Sementara sang maling kini menangais tersedu sedu dan meminta ampun berkali kali.
“Lepasin aja ya? Toh CPU kamu gak jadi dia ambil,”
Bumi mengangguk lagi.

“Makasih ya, kalo gak ada kamu, mungkin CPU ku udah raib entah kemana.” Bumi membersihkan CPU nya dari sisa sisa lumpur menempel disana ketika CPU itu mendarat manis di tanah yang becek.
“Ah, hanya kebetulan aja kok. Kebetulan lewat, kebetulan liat orang yang mencurigakan, kebetulan denger teriakan kamu.”
Bumi tersenyum.
“Liburan masih dua hari lagi, kok kamu udah ada di sini?” Bumi basa basi.
“Aku setiap hari di sini kok.”“Loh gak pulang?”
Gadis itu menggeleng.
“Terus kamu dari mana malem malem gini baru pulang?”
“Tiap hari aku pulang jam segini kok.”
Ingatan bumi langsung melayang ke hari hari sebelumnya. Ya, gadis itu selalu pulang malam.
“Aku kerja part time di kedai kopi.”

Bumi menghentikan kegiatan membersihkan CPU nya diantara keremangan lampu teras kamarnya. Ia menatap wajah gadis yang duduk di sampingnya itu.
“Kenapa?” Gadis itu balik menatap Bumi.
“Eh gak pa pa. Eh kita belum kenalan, aku Bumi,” Bumi mengulurkan tangannya yang di sambut dengan uluran tangan gadis itu.
“Aku Kinan.”

“Poster Metallica nya mana? Kok adanya The Beatles semua?” Kinan berdiri di ambang pintu sementara Bumi sedang mengutak atik gagang pintunya yang jebol.”
“Metallica?”
“Aha, Tony bilang kamu itu semacam fans nya Metallica.”
“Tony?”
“Iya, kenapa? Kok kayak bingung gitu?”
Bumi nyengir dengan terpaksa.
“Makanya aku suka puter lagu kesukaan ku keras keras, karena aku pikir kamu pasti gak akan terganggu. Kesukaan kita kan hampir sama.”

Busyet Tony.

“Jadi, lagu Metallica favorit kamu apa?”
“Ehmm, semuanya.” Bumi menjawab asal.
“Keren.” Kinan tersenyum sambil mengerutkan dahinya. “Papiku dulu suka banget sama The Beatles, aku masih menyimpan semua kaset kasetnya. Kadang kalo aku kangen sama papi, aku dengerin lagu kesukaannya, Across the Universe.”

Bumi terperanjat. “Papi kamu kerja di luar kota, luar pulau, luar negeri?”
Kinan menggeleng. “ Papi ku udah ada di surga.”
“Oh maaf.”
“Gapapa, semua orang pasti akan kembali ke sana.”

Malam itu adalah malam dimana Bumi mengetahui banyak hal tentang gadis yang bernama Kinan itu. Kinan tidak seperti yang ia duga sebelumnya. Ia tidak seaneh yang Bumi kira. Kinan adalah sosok gadis mandiri yang bisa melakukan apa saja termasuk memperbaiki gagang pintu kamar Bumi yang baru saja di jebol oleh maling. Bumi merasa kecil di hadapannya. Semua prasangka buruknya tentang Kinan, ia hapus dengan segera.

****

Tony tertawa terbahak bahak, ketika Bumi melabraknya karena telah membuat telinganya menderita beberapa minggu ini.
“Makanya Bum, jadi orang tu jangan rese lah. Suka suka orang dong mau dengerin apa.”
“Kamarku adalah kamarku, kamarmu adalah kamarmu.” Tony memegangi perutnya sambil tertawa terpingkal pingkal.
“Nih, dengerin Metallica, band kesukaan kamu.” Tony menjejalkan kaset Metallica ke genggaman tangan Bumi.

****

Bumi memandangi kaset yang ada di tangannya lalu ia masukan ke dalam componya dan mulai mendengarkan. Jam di dindingnya menunjukkan pukul 10 malam, ia mematikan componya segera. Ia buka pintu kamarnya lebar lebar, sebentar lagi Kinan akan datang. Dan seperti malam malam sebelumnya, mereka akan saling bertukar senyum. Bila beruntung, Bumi dapat bercakap cakap sebentar dengannya. Bila lebih beruntung lagi, Bumi dapat mendengarkan banyak cerita dari gadis itu. Dan semuanya terasa sangat menyenangkan baginya.

Bumi menengok jam dindingnya kembali, kini jarumnya telah berada di angka 11 tepat. Kinan belum muncul juga. Bumi tidak tahu mengapa tiba tiba hatinya begitu gundah. Malam itu, ia sama sekali tidak bisa memejamkan matanya.

****

Seorang laki laki berambut panjang tengah mengunci pintu kamar Kinan. Ada sebuah tas besar di sampingnya yang ia angkat dengan segera. Bumi terperanjat dan bertanya tanya dalam hati. Siapakah orang itu ? Apakah Kinan akan pindah kos an? Kemana Kinan?
Dengan tergesa Bumi melesat menghampiri lelaki yang terlihat menyeramkan dengan kacamata hitamnya yang mengancam.
“Maaf Om, Om siapa nya Kinan ya?” Bumi bertanya dengan tergesa.

Lelaki itu memelorotkan kacamata hitamnya. Ada sepasang mata ramah yang sedang menatap Bumi.
“Kamu temannya Kinan?”
Bumi mengangguk.
“Saya Bumi Om, tetangga sebelah Kinan.”
“Ahhh, ternyata kamu yang namanya Bumi.”
“Iya Om, ada masalah?”
“Enggak, Kinan sering cerita sama Om tentang kamu.”
Hidung Bumi mengembang seketika.

“Ikut yuk.”
“Kemana Om?”
“Ke rumah sakit, ketemu Kinan.”
“Loh, Kinan sakit?”
“Iya, kena typus. Ayok masuk.” Lelaki itu membuka kan pintu taft nya untuk Bumi.

****

Kamar Kinan di penuhi oleh orang orang berambut panjang dan bersetelan hitam hitam. Mereka semua bubar ketika Om Bimo dan Bumi memasuki kamar itu.
“Ini Bumi sodara sodara … Bumi…”
“Aaah.” Mereka semua berseru kompak dan mulai tersenyum senyum. Bumi ikut tersenyum, walaupun ia tidak tahu, tersenyum untuk apa.
“Hei Kin, Nih Om bawain oleh oleh.”
Kinan menutup wajahnya dengan bantal.“Hei, katanya kangen sama Bumi.”
“Ihh Om apa sih.” Kinan berseru di balik bantal.
Om Bimo mendorong Bumi.
“30 menit.” Seru Om Bimo sambil tertawa.

“Kin.” Bumi menarik bantal yang Kinan gunakan untuk menutupi wajahnya.
Ada rona merah di pipi Kinan ketika tatapan mereka bertemu.
“Ternyata kamu di rawat. Pantes aja, aku tungguin kamu tapi kamu gak muncul muncul dua malam ini.”
“Kamu nungguin aku?” Pipi Kinan kembali merona.

“Iya, rasanya ada yang hilang aja, waktu kamu gak ada di kos an.”
“Hei, cepet sembuh ya.” Bumi tersenyum tulus.
Kinan tersenyum malu dan mengangguk cepat.

“Bum, seminggu ini Om harus mulai kerja lagi, ada tour keliling Jawa.”
Tiba tiba Om Bimo telah berada di samping Bumi.
“Tour?” Bumi mengeryitkan dahinya.
Kinan mengacungkan tiga jarinya.
“Konser Underground.” Seru Kinan.

Bumi manggut manggut.
“Om titip Kinan ya. Tolong jagain dia, Om percaya sama kamu seperti hal nya Kinan mempercayai kamu.”
Bumi menatap Kinan tanpa berkedip.
“Pasti Om. Aku akan jaga dia sebaik baiknya.”

Jangan jangan malah dia yang jagain aku.

****

Bumi menatap John, Paul, Ringgo dan George yang masih saja tersenyum kepadanya. Empat orang Inggris itu kini mempunyai teman baru yaitu James, Lars, Kirk dan Jason yang tengah menatap garang ke arah nya. Bumi melirik jam di pergelangan tangannya, sudah saatnya untuk menjemput Kinan. Ia bergegas keluar kamarnya sambil bersenandung.

Never opened myself this way
Life is ours, we live it our way
All these words I don't just say
And nothing else matters

Trust I seek and I find in you
Every day for us something new
Open mind for a different view
And nothing else matters

[caption caption="sumber : urbanvox"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun