Mohon tunggu...
Ar runadei
Ar runadei Mohon Tunggu... -

life is all about a point of view

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tragedi Cangkir Kembar

23 November 2013   09:58 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:47 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Kamu lihat orangtua kita itu? kalian selalu bersama-sama sejak dulu.. tanpa saya!! Pasti kamu ingin kan bergabung dengan mereka sayang?” Mahpud membelai pipi basah Siti dengan belatinya, lalu tertawa terbahak-bahak. Tangis Siti lantas pecah.

“Diam!!” bentak Mahpud, “Kamu tahu, betapa sakitnya hati saya mengetahui kenyataan ini Siti. Satu kenyataan pahit tentang saya yang dibuang. Dan satu kenyataan lagi bahwa saya mencintai saudara kandung saya sendiri membuat saya hancur Siti....” Mahpud menangis. Siti merasakan belati Mahpud mulai menggores pipinya, menyengatkan perih di antara isak tangisnya.

Siti lantas memberanikan diri menginjak kuat-kuat kaki Mahpud, yang mengerang kesakitan dan tanpa sadar melepaskan Siti.

“Saya tahu apa yang kamu rasakan Mahpud. Karena saya juga mencintai kamu” seru Siti, melangkah mundur menghindari Mahpud yang kembali mendekatinya.

“Kamu nggak tau apa-apa Siti. Bukan kamu yang dibuang tapi saya!!!”

Pintu tiba-tiba menjeblak terbuka, memunculkan sosok Ramon di antaranya, yang terkejut melihat tubuh tak bernyawa orangtua Siti.

“Hentikan Pud! Polisi akan segera kesini dan menangkap kamu”

Ramon berusaha menyergap Mahpud. Namun Mahpud melawannya, mereka lalu bergulat. Hingga tak sengaja belati Mahpud menusuk sang pemilik. Mahpud mengerang kesakitan. Sementara Ramon mendekati Siti. Saat hendak dipeluknya sang pujaan hati, tiba-tiba Siti mendorongnya ke samping dengan keras, tepat pada saat belati Mahpud menancap di dada Siti yang secara bersamaan melemparkan cangkir kembarnya ke kepala Mahpud.

“Sitiiii !!!”

Cangkir kembar itu hancur berkeping-keping, dan menyebar di antara dua saudara kembar yang serentak ambruk menimpanya. Menjadi saksi bisu tragedi yang begitu ngeri dan memilukan. Lantas, sejarah tentangnya pun menutup.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun