Isu pribumi dan non pribumi pernah merebak kembali di khalayak. Gara-garanya  ketika dengan secara terang Anis Baswedan menyebutkan itu dalam pidatonya saat pelantikan gubernur. Pribumi dan non pribumi ini muncul kembali sebagai serpihan-serpihan ingatan tentang adanya para bangsa pendatang dan bangsa asli. Â
Bila dulu kolonialisme menggunakan istilah pribumi dalam pengertian peyoratif, di mana pribumi diidentikan dengan ketertinggalan, kebodohan dan menyandang derajat  yang lebih rendah, maka 'pribumi' yang digaungkan akhir-akhir  ini saat politik identitas makin meruyak, justru bermakna sebaliknya. Pribumi adalah penduduk paling absah di negeri ini, paling berhak menguasai berbagai kekayaan alam dan paling berhak menjadi penguasa.
Bagaimana pun dua makna tersebut, baik yang dilekatkan oleh kalonialisme maupun dalam pengertian sementara orang akhir-akhir ini, sama buruknya.Â
Bila pemaknaan yang pertama terang benderang menunjukkan watak kolonialisme, maka pengertian yang kedua sama artinya ingin menunjukkan siapa yang dianggap paling Indonesia dan yang mana yang tidak murni keindonesiaannya.Â
Sikap seperti itu, meminjam pendapat Dede Utomo, hanya semakin menegaskan bahwa 'nasionalisme' tak lain adalah cara meretakkan kemanusian, Â merengkah antara kita dan mereka.Â
Satu titik pada 'nasionalisme' yang patut dicurigai sebagai "noktah peliyanan" , begitu kata Dede Utomo, Â yang kebetulan memiliki keturunan Tionghoa tersebut.Â
Tionghoa atau Cina dalam istilah yang lebih karib di telinga kita, akan segera muncul ketika perbicangan pribumi dan non pribumi mulai meruyak. Begitu disebut istilah tersebut, Â kita segera sama mengarahkan pandangannya ke komunitas Tionghoa ini sebagai mereka yang non pribumi.Â
Dengan kata lain menyebut pribumi dan non pribumi tak lain adalah menyatakan pribumi versus Tionghoa atau Cina.Â
Kita akui saja secara jujur, bahwa untuk sementara orang masih banyak yang memiliki nalar semacam ini. Itu bukan salah nalar Anda, tapi salahkanlah bagaimana rezim-rezim kekuasaan yang membentuk nalar semacam ini.
Jika kita melacak catatan mengenai asal-usul orang Nusantara, sejatinya ada beberapa yang mengakui bahwa orang-orang pertama yang mendiami beberapa daratan di Kalimantan dan beberapa tempat lainnya adalah orang-orang yang berasal dari Tionghoa. Gusdur pernah menyatakan bahwa beberapa nenek moyangnya juga berasal dari Tionghoa.Â
Sumanto Al-Qurtuby dalam tulisannya Arus Cina Islam Jawa juga menyatakan secara gamblang peran Tionghoa dalam penyebaran Islam di Nusantara. Â
Berdasarkan beberapa pendapat itu saja, sulit untuk menyatakan bahwa orang Tionghoa sendiri bukanlah bagian dari penduduk asli Nusantara.Â
Dalam beberapa naskah tercermin dengan jelas bagaimana orang-orang Tionghoa ini sudah menjadi bagian dari masyarakat Nusantara dan lebur dengan berbagai etnis dan agama yang hidup di Nusantara ini.
Salah satunya termaktub dalam Hikayat Indera Pura pada teks LOR 3170 bahasa Melayu huruf pegon bertahun 1843, Â naskah itu menunjukkan bagaimana berbagai kelompok dan kebangsaan bisa hidup guyub dengan etnis Tionghoa. Uniknya cerita ini muncul dalam naskah pesantren dan ditulis ulang kembali seorang berkebangsaan Tionghoa Baba Ga Hjan Sin. Berikut bunyi naskah itu (Ahmad Baso, 2012) :
Si Baharuddin konon yang empunya
Di Batavia konon rumahnya
Mandor Tong akan mandornya
Nyonya Yang akan istrinya Â
Teks dalam naskah di atas mempertemukan tokoh Baharuddin mewakili Pesantren, dan tokoh Mandor Tong dan Nyonya Yang mewakili etnis Tionghoa.Â
Naskah ini menjelaskan soal akrabnya, tidak hanya naskah Pesantren di kalangan Tionghoa, tapi juga hubungan personal antara mereka. Bahkan secara terang dinyatakan bahwa nyonya Yang yang Tionghoa adalah istri dari Baharuddin yang santri.Â
Ini menjelaskan bahwa saat itu Pesantren tidak mempermasalahkan keberadaan Tionghoa bahkan bergaul dengan rapat. Sebaliknya Tionghoa pun sudah lebur dengan berbagai etnis dan kelompok lainnya.
Dalam naskah lain berjudul Boekoe Sair Tiong Hwa Hwe Kwan: Koetika Boekanja Passar Derma (1905) ditulis oleh Tjia Ki Siang disebutkan (Baso, 2012):
Sekalian Hwe Kwan Poenja alamat
Terpandang Kwi-khi sebagai djimat
Nabi Kong Hoe Tjoe jang kita hormat
Allah Poedjiken dengan slamat
Sekali lagi naskah ini memperlihatkan bagaimana tradisi Islam (Pesantren) bisa bertemu dengan Tionghoa. Â Dalam konteks ini terlihat bahwa Tionghoa sejak dari dulu sudah terbiasa berinteraksi dengan pesantren, demikian sebaliknya.Â
Pesantren tidak risih dengan keyakinan Tionghoa, misalnya meyakini adanya nabi Koen Hoe Tjoe, sebaliknya orang Tionghoapun tidak ragu menyebut Allah sebagai Tuhan yang patut dipuji dan disembah, meski selama ini penyebutan Tuhan mereka adalah T'ien. Â
Apa yang tergambar di atas menunjukkan bahwa Tionghoa selama ini bisa melebur menjadi bagian dari masyarakat Nusantara. Sebaliknya etnis-etnis yang dianggap lokal, juga bisa menerima keberadaan mereka dengan cukup baik.Â
Dengan kata lain, sudah sejak lama Tionghoa bisa merajut keragaman dan peradaban di Nusantara. Tegasnya Tionghoa ini tidak bisa lagi disebut pendatang, tapi tak lain adalah orang asli Nusantara juga.
Situasi hidup guyub antara Tionghoa dan etnis lainnya yang berlangsung cukup lama, sirna setelah rezim orde baru membatasi kiprah Tionghoa dengan segenap kebudayaannya di Indonesia.Â
Saat itu pemerintahan Soeharto mengeluarkan inpres No.14 /1967 mengenai pembatasan Kegiatan Agama, Kepercayaan dan adat istiadat Tionghoa. Konon aturan itu juga diterapkan karena adanya kecurigaan Tionghoa Indonesia ini berhubungan dengan RRC yang dianggap pengusung komunisme.
Lamat-lamat Tionghoa mulai dianggap sebagai etnis lain di Indonesia. Pendatang yang 'sering' kali dicurigai. Narasi yang dibangun mengenai etnis ini pun hampir selalu bernada negatif.Â
Serakah, eksklusif, kikir dan suka menindas pembantunya. Cerita itu menggambarkan watak seorang asing yang hanya ingin datang menjarah kekayaan anak bangsa, tetapi tidak peduli dengan kemakmuran bangsa yang didatanginya.
Nalar yang terbangun akibat kebijakan pembauran yang salah kaprah ini adalah mudahnya kecurigaan dan rasa benci menyulut etnis lainnya atas etnis Tionghoa.Â
Jika ada kasus kriminal yang dilakukan oleh etnis Tionghoa, bisa jadi akan merambat menjadi persoalan rasisme. Demikian halnya jika ada konflik-konflik sosial yang berlangsung, etnis Tionghoa juga akan menjadi korban, meski mereka tidak terlibat dalam konflik tersebut.Â
Ingat kerusuhan yang terjadi di Jakarta menjelang tumbangnya rezim orde baru, berapa banyak orang-orang dari Tionghoa yang menjadi korban?
Situasi ini memaksa kalangan Tionghoa sendiri menanggalkan identitas kebudayaan yang mereka miliki. Agar supaya dianggap Indonesia tulen, nama-nama mereka yang berbau Cina diganti dengan nama berbau Jawa, Makassar, Melayu ataupun bernuansa Islam.Â
Cerita-cerita yang tergambar dalam "Ada Aku di antara orang-orang Tionghoa dan Indonesia" menunjukkan betapa orang Tionghoa ini berusaha keras untuk menunjukkan identitas mereka sebagai orang Indonesia, sekaligus menunjukkan rasa nasionalisme mereka. Ada cerita yang mengharukan di sana, namun tak jarang terlihat naif dan lucu.Â
Beberapa keputusan Menteri muncul, seperti Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia tanggal 31 maret 2000 No 477/805/Sj  yang mencabut surat edaran mendagri no. 477 / 74054 tertanggal 18 November 1978 tentang pembatasan kegiatan Agama, Kepercayaan dan adat istiadat China.Â
Ketetapan Menteri Agama No 13/2001 tentang penetapan Hari Raya Imlek sebagai Hari Libur Fakultatif. Keputusan Presiden RI Megawati Soekarnoputri No 19/2002 tanggal 9 April 2002 tentang penetapan Hari Raya Imlek sebagai Hari libur Nasional. Keputusan Menteri Agama RI , Said Agil  Al Munawar Ma, No 331 tahun 2002,  25 Juni 2002 menindaklanjuti keputusan Hari Raya Imlek sebagai Hari Libur Nasional.  Â
Serta Surat Menteri Sekretariat Negara RI , Yusril Izha Mahendra kepada Menag RI, Mendagri RI, Menhum dan Ham RI, Mendiknas RI no B.398/M.Sesneg/6/2005 tanggal 27 juni 2005 tentang: Mencabut semua peraturan yang mengandung unsur ketidaksetaraan antara warga negara  dan meminta segenap aparatur negara dari pusat hingga daerah agar konsisten menjalankan kebijakan kesetaraan dan menegakkan keadilan dengan sebenarnya.
Sayangnya meski regulasi sudah dibenahi, namun nalar yang memandang Tionghoa sebagai sang lian, kelompok non pribumi, masih bercokol cukup kuat di kepala sementara orang.Â
Banyak kasus di lapangan yang menunjukkan bahwa pengakuan atas keyakinan Tionghoa yang memilih sebagai Konghuchu belum mendapat pelayanan dengan baik. Mereka masih dianggap berbeda dengan yang lain. Bahkan ketika isu pribumi dan non pribumi mencuat, ingatan orang segera lari ke etnis Tionghoa ini lagi.
Tahun 2019, ketika etnis Tionghoa baru saja memasuki tahun baru mereka, nalar yang melihat Tionghoa sebagai sang lian, sebagai bukan pribumi, sudah harus disingkirkan jauh-jauh. Tembok-tembok pemisah yang selama ini menjulang menghalangi proses pembauran sejati seharusnya sudah ditumbangkan.Â
Salah satu tembok pemisah  yang perlu diruntuhkan itu tak lain adalah isu-isu identitas yang jadi tameng dalam even-even pemilu setiap lima tahun sekali. Tapi apakah kita punya cukup keberanian untuk melakukan itu? Perlu komitmen bersama !
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H