Serakah, eksklusif, kikir dan suka menindas pembantunya. Cerita itu menggambarkan watak seorang asing yang hanya ingin datang menjarah kekayaan anak bangsa, tetapi tidak peduli dengan kemakmuran bangsa yang didatanginya.
Nalar yang terbangun akibat kebijakan pembauran yang salah kaprah ini adalah mudahnya kecurigaan dan rasa benci menyulut etnis lainnya atas etnis Tionghoa.Â
Jika ada kasus kriminal yang dilakukan oleh etnis Tionghoa, bisa jadi akan merambat menjadi persoalan rasisme. Demikian halnya jika ada konflik-konflik sosial yang berlangsung, etnis Tionghoa juga akan menjadi korban, meski mereka tidak terlibat dalam konflik tersebut.Â
Ingat kerusuhan yang terjadi di Jakarta menjelang tumbangnya rezim orde baru, berapa banyak orang-orang dari Tionghoa yang menjadi korban?
Situasi ini memaksa kalangan Tionghoa sendiri menanggalkan identitas kebudayaan yang mereka miliki. Agar supaya dianggap Indonesia tulen, nama-nama mereka yang berbau Cina diganti dengan nama berbau Jawa, Makassar, Melayu ataupun bernuansa Islam.Â
Cerita-cerita yang tergambar dalam "Ada Aku di antara orang-orang Tionghoa dan Indonesia" menunjukkan betapa orang Tionghoa ini berusaha keras untuk menunjukkan identitas mereka sebagai orang Indonesia, sekaligus menunjukkan rasa nasionalisme mereka. Ada cerita yang mengharukan di sana, namun tak jarang terlihat naif dan lucu.Â
Beberapa keputusan Menteri muncul, seperti Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia tanggal 31 maret 2000 No 477/805/Sj  yang mencabut surat edaran mendagri no. 477 / 74054 tertanggal 18 November 1978 tentang pembatasan kegiatan Agama, Kepercayaan dan adat istiadat China.Â
Ketetapan Menteri Agama No 13/2001 tentang penetapan Hari Raya Imlek sebagai Hari Libur Fakultatif. Keputusan Presiden RI Megawati Soekarnoputri No 19/2002 tanggal 9 April 2002 tentang penetapan Hari Raya Imlek sebagai Hari libur Nasional. Keputusan Menteri Agama RI , Said Agil  Al Munawar Ma, No 331 tahun 2002,  25 Juni 2002 menindaklanjuti keputusan Hari Raya Imlek sebagai Hari Libur Nasional.  Â
Serta Surat Menteri Sekretariat Negara RI , Yusril Izha Mahendra kepada Menag RI, Mendagri RI, Menhum dan Ham RI, Mendiknas RI no B.398/M.Sesneg/6/2005 tanggal 27 juni 2005 tentang: Mencabut semua peraturan yang mengandung unsur ketidaksetaraan antara warga negara  dan meminta segenap aparatur negara dari pusat hingga daerah agar konsisten menjalankan kebijakan kesetaraan dan menegakkan keadilan dengan sebenarnya.
Sayangnya meski regulasi sudah dibenahi, namun nalar yang memandang Tionghoa sebagai sang lian, kelompok non pribumi, masih bercokol cukup kuat di kepala sementara orang.Â