Berdasarkan beberapa pendapat itu saja, sulit untuk menyatakan bahwa orang Tionghoa sendiri bukanlah bagian dari penduduk asli Nusantara.Â
Dalam beberapa naskah tercermin dengan jelas bagaimana orang-orang Tionghoa ini sudah menjadi bagian dari masyarakat Nusantara dan lebur dengan berbagai etnis dan agama yang hidup di Nusantara ini.
Salah satunya termaktub dalam Hikayat Indera Pura pada teks LOR 3170 bahasa Melayu huruf pegon bertahun 1843, Â naskah itu menunjukkan bagaimana berbagai kelompok dan kebangsaan bisa hidup guyub dengan etnis Tionghoa. Uniknya cerita ini muncul dalam naskah pesantren dan ditulis ulang kembali seorang berkebangsaan Tionghoa Baba Ga Hjan Sin. Berikut bunyi naskah itu (Ahmad Baso, 2012) :
Si Baharuddin konon yang empunya
Di Batavia konon rumahnya
Mandor Tong akan mandornya
Nyonya Yang akan istrinya Â
Teks dalam naskah di atas mempertemukan tokoh Baharuddin mewakili Pesantren, dan tokoh Mandor Tong dan Nyonya Yang mewakili etnis Tionghoa.Â
Naskah ini menjelaskan soal akrabnya, tidak hanya naskah Pesantren di kalangan Tionghoa, tapi juga hubungan personal antara mereka. Bahkan secara terang dinyatakan bahwa nyonya Yang yang Tionghoa adalah istri dari Baharuddin yang santri.Â
Ini menjelaskan bahwa saat itu Pesantren tidak mempermasalahkan keberadaan Tionghoa bahkan bergaul dengan rapat. Sebaliknya Tionghoa pun sudah lebur dengan berbagai etnis dan kelompok lainnya.
Dalam naskah lain berjudul Boekoe Sair Tiong Hwa Hwe Kwan: Koetika Boekanja Passar Derma (1905) ditulis oleh Tjia Ki Siang disebutkan (Baso, 2012):